-- Forwarded message --
From: gusti gustin [EMAIL PROTECTED]
Date: Jul 9, 2007 6:28 PM
Subject: Philips J Vermonte : Wacana Jumlah Partai Politik dan Pemilu
To: [EMAIL PROTECTED]
http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=5993c_id=61g_id=95
Senin, Jul 09, 2007 16:15
Philips J Vermonte
Wacana Jumlah Partai Politik dan Pemilu
- Sumber: * Wacana Jumlah Partai Politik dan
Pemiluhttp://pjvermonte.wordpress.com/2007/07/07/wacana-jumlah-partai-politik-dan-pemilu-1/
*
Philips J Vermonte
Akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan perihal pembatasan jumlah
partai-partai politik. Terutama berkaitan dengan proses pembahasan RUU
Politik di DPR. Pada dasarnya saya bersetuju jika jumlah partai politik di
kurangi. Masalahnya, kapan dan bagaimana caranya?
Sebetulnya saya pernah sedikit membahas soal sistem politik dan sistem
pemilu kita di blog ini sebelumnya [ Klik disini jika ingin membaca
lagihttp://pjvermonte.wordpress.com/2007/02/24/diskusi-sistem-politik-dan-pemilu-kita/].
Karena agak panjang, posting kali ini saya bagi menjadi tiga bagian. Bagian
pertama mengurai prinsip umum yang menurut saya penting untuk dikemukakan.
Bagian kedua dan ketiga akan mengurai sedikit aspek teknis soal pemilu dalam
hubungannya dengan wacana pengurangan jumlah partai politik.
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan ketika kita mendiskusikan
sistem politik dan pemilu kita di Indonesia.
Pertama, kita mengadopsi sistem presidensialisme dan dalam pemilu kita
mengadopsi sistem proporsional (PR). Sistem proporsional diadopsi untuk
meningkatkan derajat representativeness (derajat keterwakilan) bagi sebanyak
mungkin kelompok dari masyarakat kita yang majemuk. Studi yang paling
ekstensif mengenai efektifitas sistem pemilu proporsional bagi masyarakat
majemuk, bukan kebetulan, adalah studi mengenai sistem proporsional di
negeri Belanda, terutama studi-studi yang dilakukan oleh ilmuwan politik
terkemuka Arendt Lijphart. Lijphart telah lama mengadvokasi betapa
pentingnya sistem proporsional (PR), terutama karena ia banyak mengkaji (dan
memformulasi) konsep mengenai consociational democracy, yang kurang lebih
mengekedepankan pentingnya ?elite-agreement? dalam masyarakat majemuk agar
tercipta sistem politik yang stabil.
Kedua, berdasarkan pengalaman banyak negara lain di dunia, ada banyak studi
empirik yang menemukan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan
sistem multipartai yang banyak. Yang paling utama adalah kajian dari Scott
Mainwaring (1997). Sistem presidensial mengandaikan bahwa porsi utama
politik diberikan kepada seorang presiden untuk memerintah (govern) dan
mengeksekusi kebijakan. Karena itu, seorang presiden harus diberikan derajat
governability yang tinggi. Jumlah partai yang banyak, memang boleh jadi
mencerminkan representativeness yang tinggi. Sialnya, jumlah partai yang
banyak secara natural juga mengurangi derajat governability presiden dalam
sistem presidensial. Sebabnya sederhana: too many players. Karena itu,
koalisi terlalu cair, kemampuan eksekusi presiden menurun, kemampuan
legislasi parlemen juga melemah karena terlalu banyaknya partai. Saya
sebetulnya tidak terlalu percaya apabila partai-partai di Indonesia itu bisa
membentuk koalisi sungguhan. Koalisi, dalam negara yang sistem politiknya
mapan, terbentuk karena ada kesamaan orientasi ideologis antar partai.
Kalau partai-partai di Indonesia bisa membentuk koalisi sungguhan, artinya
mereka punya kesamaan orientasi ideologis. Bila demikian, sesungguhnya sejak
awal mereka bisa merge-saja. Melihat perilaku koalisi di DPR kita yang
sangat longgar itu (sebentar ada koalisi kebangsaan, besok ada koalisi
kerakyatan, entah lusa apa lagi), sebetulnya bisa diduga bahwa
mempertahankan keberadaan partai yang banyak itu sebetulnya adalah lebih
banyak kepentingan para politisi dari partai-partai bersangkutan belaka.
Walaupun ini adalah hal yang wajar-wajar saja, politisi (dan juga kita
pemilih) sebetulnya lebih mengutamakan self-interest (artinya politisi dan
partai selalu ingin berkuasa dengan beragam motivasi, baik yang altruistik
ataupun yang egoistik).
Masalahnya, partai politik yang terlalu banyak jumlahnya akan menyandera
seorang presiden. Partai politik yang banyak potensial membentuk kartel
partai (studi Katz and Mair 1995), dan telah terjadi juga di Indonesia
(studi Dan Slater 2004). Dalam sistem presidensial, presiden secara sadar
didesain untuk memiliki kekuasaan besar. Namun sedemikian rupa bisa
dikontrol oleh mekanisme hubungan legislatif-eksekutif, misalnya mengenai
aturan veto power terhadap usulan undang-undang. Atau dengan banyak cara
lain yang lebih umum semisal pers yang bebas, tentara yang netral, hukum
yang independen, civil society yang sehat, Ombudsman yang kuat, dan lain
sebagainya.
Yang terjadi di Indonesia, pada hemat saya, partai-partai politik inilah
yang mengontrol kekuasaan presiden, dan bukan DPR sebagai institusi yang
melakukannya. Partai politik yang banyak itu menyandera presiden (siapapun
presidennya, bukan cuma