Berikut tanggapan Pak Bondan Winarno: Fery Susetyo Ekopurnomo <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Rekan2 semua,
Ini saya copy paste kan penjelasan dari Pak Bondan yang di posting di milis Jalansutra --Bondan menulis-- Singkatnya begini: 1. Semua warung/rumah makan/ restoran yang ditampilkan di WK sudah melalui proses screening terlebih dulu. Sudah ada pra-penilaian, baik oleh saya maupun oleh Tim Jalansutra yang dikoordinasikan oleh Irvan Karta. Karena itu, ada semacam jaminan bahwa makanan yang dicicipi juga mak nyus. Kalau tidak pakai prosedur screening, tentu saja kita akan sering kejeblos ke rumah makan yang kurang baik mutunya. 2. WK tidak dibayar oleh warung/rumah makan/restoran yang bersangkutan. WK bahkan tidak bersedia diundang untuk datang ke rumah makan tertentu. Bila ada yang mengusulkan, maka tempat itu akan disurvei dulu. Kalau memenuhi syarat, pada saat yang tepat akan dikunjungi. WK membayar semua makanan/minuman yang dikonsumsi. Tentu saja ada cukup banyak rumah makan yang dengan ramah malah menolak pembayaran kami. Bahkan tak jarang kami dioleh-olehi atau diundang makan sepuasnya. 3. Saya pribadi memang tidak pernah mengatakan atau memberi vonis makanan yang tidak enak. Saya pribadi berpendapat bahwa tidak pernah ada orang yang sengaja membuat masakan tidak enak. Bagi saya, masakan tidak enak adalah sebuah kecelakaan. Kalau ada orang menyebut lidah saya adalah lidah ramah, saya tidak keberatan. Saya bahkan tidak keberatan bila ada orang menuding bahwa lidah saya sebetulnya tidak peka untuk memberi penilaian. Saya bertanggung jawab atas penilaian itu. Tetapi, kalau Anda menyimak, ada beberapa makanan yang saya beri komentar, misalnya: "Sayurnya terlalu lama dimasak." Atau, "Menurut saya ini terlalu asin." Atau, "Wah, ini dagingnya masih melawan." Mungkin Anda juga pernah menyimak satu episode yang sama sekali tidak mengandung masakan yang saya puji dengan sebutan "Mak Nyuss." 4. O ya, tentu saja saya mempromosikan makanan -- khususnya makanan daerah. Itu adalah missi saya, dan juga didukung oleh teman-teman di Jalansutra. Saya menempatkan diri sebagai food promotor, bukan food critics. Tetapi, jangan salah baca. Bukan berarti saya dibayar oleh rumah makan tertentu untuk mempromosikan outlet mereka. Saya mempromosikan makanan dalam lingkup industry-wide. Siapa yang pedulikan mereka kalau bukan kita? Memangnya Pemerintah memperdulikan mereka? Bukankah pedagang makanan adalah pelaku ekonomi/bisnis yang paling banyak di negeri ini? Terima kasih atas perhatian. Salam, Bondan On 7/10/07, elok dyah messwati <[EMAIL PROTECTED]> wrote: kalo saya nyebutnya itu resensi makanan. enak tidak enak itu sangat subyektif. gimana mas Tomi? kalo jurnalisme kok kejauhan ya...:) ----- Original Message ----- From: Tomi Satryatomo To: jurnalisme ; Begundal Salemba ; PJTV PJTV ; Forum Kompas ; AJI INDONESIA ; Prayogo WArtaEkonomi ; merry magdalena sinar harapan ; student EMBA ; pantau ; naratama naratama ; Kincir Angin ; Etalase Indonesia ; technomedia ; warta-lingk ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Tuesday, July 10, 2007 5:43 PM Subject: [pantau-komunitas] Re: Keunikan Jurnalisme Kuliner - Mengapa "Selalu Enak?" Mas Satrio, Saya tergelitik dengan istilah 'jurnalisme' yang mas sematkan pada liputan kuliner ini. Mengapa jurnalisme? Hampir tidak ada elemen-elemen dasar jurnalisme yang dipakai dalam membuat produksi program kuliner ini, apalagi kalau kita melihatnya dalam perspektif kepentingan publik. Mas Satrio sendiri mengatakan bahwa program kuliner seperti ini berpotensi untuk menjadi iklan terselubung --sesuatu yang dipantangkan dalam prinsip jurnalistik. Program kuliner ini --baik enak, tidak enak, dokumenter atau travelogue, studio-based atau on-location production-- lebih tepat dimasukkan dalam kategori 'factual programming' atau dalam bahasa Indonesia lebih populer dengan istilah 'produksi non-drama', karena memang berdasarkan fakta (fact-based) alias bukan fiksi tapi tidak perlu mengandung unsur kebaruan, verifikasi, akurasi atau elemen-elemen jurnalisme lainnya (walaupun kalau ada akan lebih baik). Status Bondan Winarno sebagai wartawan tidak serta merta membuat program yang ia bawakan bisa otomatis disebut sebagai program jurnalistik. Dengan melepaskan diri dari embel-embel jurnalisme, maka program kuliner menjadi punya lebih banyak varian format dan tidak terbebani dengan berbagai prosedur jurnalistik --karena memang tidak perlu. Salam -- Tomi Satryatomo http://www.trekearth.com/members/wisat http://wisat.multiply.com "We shall build good ship here, at a profit if we can, at a loss if we must, but... always a good ship." On 08/07/07, Satrio Arismunandar <[EMAIL PROTECTED]> wrote: KEUNIKAN JURNALISME KULINER - MENGAPA "SELALU ENAK?" Bondan Winarno, ahli kuliner yang ngetop dengan ungkapan "maknyus" itu tampak mengunyah hidangan yang tersaji di depannya. Tetapi mendadak, ia langsung memuntahkannya! "Tidak enak! Betul-betul tidak ada nikmatnya!" ujarnya, menyumpah-nyumpah. Pernahkah Anda menyaksikan tayangan semacam itu di layar televisi? Ya, pasti tidak pernah. Semua yang dimakan Bondan di layar televisi selalu enak, gurih, nikmat, sedap, dan pokoknya "maknyuss!" Sejumlah rekan pernah bertanya kepada saya, mengapa liputan tentang masakan semacam program Wisata Kuliner-- di media televisi hanya menayangkan makanan yang enak-enak saja? Kenapa tidak pernah ada yang meliput restoran yang menyajikan masakan yang tidak "maknyus?" Jawaban saya, liputan semacam Wisata Kuliner itu memang bukan jurnalisme yang bisa kita bandingkan dengan liputan peristiwa kebakaran, kecelakaan, bencana alam, konflik politik, kriminalitas, dan sebagainya. Wisata Kuliner sepatutnya kita masukkan dalam rubrik "pelayanan masyarakat". Sifatnya informatif, seperti info tentang acara bioskop besok sore, atau info-info ringan lain yang dibutuhkan masyarakat. Wisata Kuliner memberi informasi pada pemirsa yang doyan makan enak atau ingin mencoba berbagai jenis masakan di berbagai tempat. Tentu saja, secara logika, tidak ada pemirsa atau konsumen yang sengaja mencari restoran yang hidangannya tidak enak. Mereka hanya mau makan santapan yang lezat, khususnya yang direkomendasikan oleh Bondan Winarno, wartawan atau media massa. Maka "Jurnalisme Kuliner", kalau saya boleh mengatakannya demikian, adalah selalu "berpihak" dan "satu arah." Bahkan (meskipun tidak dimaksudkan demikian), sulit untuk menghindarkan kesan promosi terhadap makanan dan restoran bersangkutan. Dalam tayangan televisi, jelas disebutkan nama restoran dan alamatnya, sehingga pemirsa yang penasaran bisa langsung pergi sendiri ke restoran bersangkuran untuk mencicipi hidangannya. Kalau pun nama restoran dan alamatnya tidak disebutkan, penonton yang penasaran akan menelepon stasiun TV bersangkutan. Dan, sebagai bagian dari upaya melayani audience, tentu saja wartawan akan memberitahukan nama restoran dan alamatnya. Tentu saja, liputan kuliner juga bisa sekaligus dijadikan lahan iklan bagi stasiun TV bersangkutan. Misalnya, bekerjasama dengan produsen produk-produk tertentu (bumbu masak, kecap, bakmi, dan sebagainya). Ini sering dilakukan secara terang-terangan. Semua akhirnya berpulang ke pemirsa sebagai konsumen. Mau percaya penuh, atau skeptis terhadap rekomendasi media. Tapi yang jelas, pasti Bondan Winarno, wartawan dan media juga tidak berani "gambling," dengan merekomendasikan masakan yang tidak enak, karena ini terkait dengan kredibilitasnya. Mohon maaf, jika tulisan saya ini tidak "maknyuss!" *** Satrio Arismunandar Producer - News Division, Trans TV, Floor 3 Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4026, Fax: 79184558, 79184627 e-mail: [EMAIL PROTECTED] blog: http://mediacare.blogspot.com --------------------------------- Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out.