[mediamusliminfo] Fenomena Ibadatul-Autsaan

2012-01-28 Terurut Topik Dedy Iskandar
Fenomena Ibadatul-Autsaan
 
Ibadah
bila dilihat dari sisi lughowi mempunyai arti ketundukan dan kerendahan,
sedangkan menurut makna istilahi ibadah adalah sebutan yang menyeluruh untuk
setiap apa yang dicintai Allah dan diridhoiNya dari ucapan-ucapan dan
amalan-amalan lahir maupun batin. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu'ul
Fatawa: 10/149)


Adapun
al-autsaan diambil dari asal kata al-watsan, yaitu sebuah nama yang digunakan
untuk menyebutkan semua jenis peribadahan, seperti do'a, istighotsah yakni
minta kelapangan dari segala kesempitan hidup, kondisi yang tidak menentu,
kekacauan, ketakutan dan yang lainnya, kemudian isti'anah yakni meminta
pertolongan dalam mendatangkan segala kemaslahatan dan menolak berbagai macam
mudharat, lalu at-tabarruk, yakni dengan istilah orang sekarang: ngalap berkah
dan lain-lainnya dari jenis ibadah yang diperuntukkan kepada selain Allah,
seperti kuburan yang dianggap keramat, batu ajaib, paranormal, khodam setia
atau rijalul ghoib (jin muslim atau kafir) dan seterusnya.


Sebagian
orang barangkali beranggapan kalau watsan atau autsaan adalah patung dan
berhala, sehingga praktek ibadatul autsaan hanyalah ditujukan bagi
mereka-mereka penyembah patung atau berhala. Cara pandang model ini jelas
keliru, sebab Allah telah berfirman dalam Al Qur`an mengenai perkataan Ibrahim
kepada kaumnya, "Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah
autsaan, dan kamu membuat dusta." (QS Al Ankabuut: 17). Allah juga
berfirman, "Mereka menjawab: Kami menyembah berhala-berhala dan kami
senantiasa tekun menyembahnya." (QS Asy Syu'araa: 71). "Ibrahim
berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?" (QS Ash
Shaffaat: 95). Maka, diketahuilah dari sini bahwa watsan atau autsaan digunakan
untuk menyebutkan patung-patung dan selainnya yang diibadahi di samping Allah.
(Fathul Majid: 292, cet. Al Bayaan)


Karena
itu, siapapun orangnya yang berdo'a dan meminta pertolongan dalam mengatasi
problema hidup kepada selain Allah -dalam perkara yang tidak dimampui oleh
seorang pun dari makhluk dan menjadi kekhususan kekuasaan Allah-, maka dia
telah terjerumus dalam praktek ibadatul-autsaan.

Di tengah-tengah sulitnya mencari penghidupan, ekonomi yang morat-marit, status
sosial selalu menjadi ukuran, gaya hidup yang bonafid jadi idaman. Ketika
kelezatan dunia menjadi target utama, maka orang-orang yang lemah keimanannya
dan lemah pendiriannya mulai goyah terseok-seok ke sana ke mari ingin segera
meraih kemudahan dan kelezatan dunia yang sebetulnya tak lebih dari sekedar
fatamorgana.


Namanya
juga memanfaatkan situasi dan kondisi sekaligus nyari rezeki. Paranormal,
orang-orang pintar yang juga serba kesusahan segera bereaksi, seolah kehadiran
mereka sebagai satu-satunya jalan keluar meski harus melakukan praktek syirik
dan mengajak orang berbuat musyrik.


Mereka
membuka layanan praktek ibadatul-autsaan 1x24 jam dengan kata-kata dan
janji-janji manis sebagai daya tarik laris. Praktek yang dibukanya biasanya
berkisar seputar: berhubungan dengan rijalul ghoib (jin muslim atau kafir),
tarik rejeki, penglaris usaha, penolak bala, jauhkan perselingkuhan, tampil
cantik dan menarik, datangkan aura pesona, perjodohan dan banyak lagi yang 
lainnya.


Mendapati
kenyataan yang demikian ini, akan bertambahlah keimanan dan keyakinan serta
kehati-hatian dalam mengarungi kehidupan dan mengaplikasikan nilai-nilai agama
dalam keseharian bagi siapa yang membaca sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam, "Akan ada di antara kalian yang mengikuti tata cara beragama
orang-orang sebelum kalian, sampai-sampai kalau mereka masuk lubang biawak
kalian pun turut memasukinya." Para sahabat bertanya, "Apakah mereka
itu Yahudi dan Nashrani?" Rasulullah menjawab, "Siapa lagi jika bukan
mereka?!" (HR Bukhari Muslim)


Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini bahwa apa yang
pernah dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashrani akan kembali dilakukan oleh
ummat ini, satu peringatan agar kita selaku ummatnya selalu mawas diri jangan
sampai terperangkap ke dalam praktek ibadah mereka. Tak salah bila kemudian
Imam Sufyan ibnu Uyainah memvonis siapa saja yang berilmu namun rusak ada
kemiripan dengan Yahudi dan ahli ibadah namun rusak ada kemiripan dengan
Nashrani.


Ibadatul-autsaan
bila ditelusuri dari awal historinya, jelas bukan bermula dari ummat ini, ia
hanyalah warisan dari ummat-ummat yang menyimpang seperti disinggung dalam
hadits di atas, ironinya justru umat ini yang malah gemar dan semarak 
mempraktekkan.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah bahwa Huyay bin Ahthab dan Ka'ab
ibnul Asyrof datang ke Mekkah, maka berkumpullah orang-orang musyrikin di
sekitarnya dan berkata, "Kalian (berdua) ahli kitab dan ahli ilmu,
kabarkan kepada kami tentang kami dan Muhammad." Huyay dan Ka'ab bertanya,
"Apa bedanya kalian dan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami adalah
orang yang menyambung hubungan silaturrahim, menyediakan makanan dan minuman
(bagi yang membutuhkan), menghilangkan kesusa

[mediamusliminfo] Hukum Mayoritas dalam Syariat Islam

2012-01-28 Terurut Topik Dedy Iskandar
Hukum Mayoritas
dalam Syariat Islam
 
Telah menjadi sunnatullah kalau
kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi,
ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.
 
Apa Itu Hukum Mayoritas?
 
Yang dimaksud dengan hukum
mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah
mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan
yang harus diikuti meski bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
 
Sejauh mana keabsahan hukum
mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu
oknum (pengusung)nya, yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat
dirinya, sikapnya terhadap para rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut
kacamata syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui
pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.
 
Hakikat Jati Diri Manusia
 
Manusia adalah satu-satunya
makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu
dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung.
Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan
jahul (amat bodoh). Allah berfirman:
 
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan
amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”
(al-Ahzab: 72)
 
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di berkata, “Allah mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan
kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat
menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik
dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada
makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan,
bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya ada
pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’ Maka makhluk-makhluk
itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan
karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap
pahala-Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima
amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan kebodohan yang ada
pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya.” (Taisirul
Karimirrahman, hlm. 620)
 
Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia
mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka
Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci
agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah
berfirman:
 
“Sungguh Kami telah mengutus
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta Kami turunkan
bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan.” (al-Hadid: 25)
 
Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
 
Namun, demikianlah umat manusia.
Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan, dan
dihinakan. Allah berfirman:
 
“Yang demikian itu dikarenakan
telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu
mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka.
Sesungguhnya Dia Mahakuat lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (Ghafir: 22)
 
“Jika mereka mendustakan kamu
(Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula).
Mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi
penjelasan yang sempurna.” (Ali ‘Imran: 184)
 
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan
golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan
tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya.
Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran
dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya)
azab-Ku.” (Ghafir: 5)
 
“Dan sungguh telah diperolok-olok
beberapa rasul sebelum kamu. Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para
rasul itu azab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan.” (al-Anbiya: 41)
 
Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
 
Bila kita merujuk kepada
Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia
adalah:
 
1. Tidak beriman
 
Allah berfirman:
 
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu
benar-benar dari Rabbmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Hud: 17)
 
2. Tidak bersyukur
 
Allah berfirman:
 
“Sesungguhnya Allah mempunyai
karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.”
(al-Baqarah: 243)
 
3. Benci kepada kebenaran
 
Allah berfirman:
 
“Sesungguhnya Kami benar-benar
telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci
kebenaran itu.” (az-Zukhruf: 78)
 
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
 
Allah berfirman:
 
“Dan sesungguhny

[mediamusliminfo] Bentuk-Bentuk Sesembahan Yang Harus Dijauhi Oleh Ahlut Tauhid Dan Sepuluh Hal Pembatal Keislaman Kita

2012-01-28 Terurut Topik Dedy Iskandar
Bentuk-Bentuk Sesembahan Yang Harus Dijauhi Oleh Ahlut Tauhid Dan Sepuluh Hal 
Pembatal
Keislaman Kita
 
A. BENTUK-BENTUK
SESEMBAHAN YANG HARUS DIJAUHI OLEH AHLUT TAUHID
 
Di dunia ini banyak sekali
bentuk-bentuk berhala atau sesembahan yang di agungkan dan di puja-puja oleh
umat manusia. Padahal, inilah yang seharusnya diperangi dan di jauhi oleh Ahlut
Tauhid (orang-orang yang benar-benar bertauhid). Adapun bentuk-bentuk berhala
atau sesembahan tersebut adalah :

Pertama :
Al-Ilaahatu min Duunillah (semua bentuk sesembahan atau yang di
pertuhankan selain Allah)
 
Yaitu segala sesuatu
yang diminta tolong untuk mendatangkan manfaat atau menolak bala’ (marabahaya)
selain Allah. Bentuknya banyak sekali, diantaranya : Pohon-pohon yang di
keramatkan, batu-batuan (arca atau patung) yang disembah, jin-jin dan setan,
orang-orang yang telah mati, kuburan-kuburan para wali atau kyai yang di
keramatkan, keris pusaka, cincin akik dan segala jenis jimat, dan lain-lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya orang-orang
yang musyrik itu, apabila di katakan kepada mereka : “(Ucapkanlah) Laa ilaaha
illalloh (tidak ada tuhan yang berhak di sembah selain Allah)”, maka mereka
menyombongkan diri seraya berkata : “Apakah kita harus meninggalkan sesembahan
(tuhan-tuhan) kita (selain Allah), hanya untuk menuruti penyair yang gila ini ?
“ (QS. Ash-Shoffaat : 35-36).

Dalam ayat yang mulia ini, kita tahu bahwa orang-orang musyrik itu memiliki
banyak tuhan. Dan ketika mereka di ajak untuk menjauhi segala bentuk sesembahan
atau tuhan-tuhan selain Allah itu, mereka enggan dan menyombongkan diri, karena
hati mereka telah terpaut dengan sesembahan itu.
 
“Kemudian mereka
mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan
itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa
untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk
mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqaan: 3)
 
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al
Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah
orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang
rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at
yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke
dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami
amalkan?." Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah
lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.” (Al A'raaf: 53)
 
“Dan apabila orang-orang yang mempersekutukan (Allah) melihat
sekutu-sekutu mereka, mereka berkata: "Ya Tuhan kami mereka inilah
sekutu-sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau." Lalu
sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya kamu
benar-benar orang-orang yang dusta.". Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada
Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka
ada-adakan.” (An
Nahl: 86-87)
 
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata:
"Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?". Berkatalah
orang-orang yang telah tetap hukuman atas mereka; "Ya Tuhan kami, mereka
inilah orang-orang yang kami sesatkan itu; kami telah menyesatkan mereka
sebagaimana kami (sendiri) sesat, kami menyatakan berlepas diri (dari mereka)
kepada Engkau, mereka sekali-kali tidak menyembah kami." (Al Qashash: 62-63)
 
Kedua : “At-Thowaaghiit “ (para thoghut)
 
Yakni segala sesuatu
yang di sembah, di ikuti dan di taati melebihi batas kedudukannya sebagai hamba
Allah. Bentuknya banyak sekali, tetapi tokoh – tokoh utamanya ada lima, yakni :

1. Iblis la’natullah ‘alaih ( semoga Allah terus menerus melaknatinya )


2. Orang yang di sembah,
diagungkan dan di puja-puja oleh orang lain dan dia ridha (senang) dengan
perbuatan tersebut, baik orangnya ini masih hidup atau sudah mati.


3. Orang yang mengajak atau
memerintahkan orang lain untuk menyembah dirinya (menyembah orang yang
memerintahnya), baik ajakannya ini disambut / di ikuti oleh orang atau tidak.


4. Orang yang mengaku-ngaku tahu
hal-hal yang ghoib. Namanya banyak sekali, baik itu tukang dukun, tukang ramal,
paranormal, orang pinter, orang yang sakti mandraguna dan yang sejenisnya.


5. Orang yang menghukumi sesuatu
selain dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat
penjelasan tokoh – tokoh utama thoghut ini dalam kitab Syarh Tsalatsatil Ushul,
hal. 153 – 155, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah).

Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “……(karena itu) barang
siapa kufur (ingkar) kepada thoghut, dan hanya beriman kepada Allah saja, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat (yakni
kalimat Laa ilaaha illalloh), yang tidak akan putus …..”(QS. Al-Baqoroh : 256).
 
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah be