[mediamusliminfo] Mengenal Ketinggian Allah

2012-02-19 Terurut Topik Dedy Iskandar
Mengenal
Ketinggian Allah


Allah yang
menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita
dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do'a dan shalat kita. Orang yang tidak
tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana
cara beribadah yang benar. Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas
makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana
yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti
"mendengar", "melihat", "berbicara",
"turun" dan lain-lain.
 
'Aqidah para 'ulama salaf yang shalih dan golongan
yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai keyakinan yang sesuai
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal 
ke makna yang lain), ta'thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat 
Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan 
Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuuraa:11)
 
Sifat-sifat
Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh
karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga
iman kepada Dzat Allah.
 
Al-Imam Malik
ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: "Ar-Rahman (Yang
Maha Pengasih) bersemayam di atas 'Arsy." (Thaahaa:5)
Beliau menjawab: "Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu
"tinggi". Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya
adalah wajib dan menanyakannya adalah bid'ah."
 
Perhatikanlah
jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu
wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya
Allah saja yang mengetahui. Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang
mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat
Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat
tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak 
boleh
diingkari oleh siapa pun.
 
Ada sekelompok
'ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak
'aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan
dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang
sempurna dari Dzat-Nya. Mereka bertentangan dengan metode 'ulama salaf yang
lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya
pendapat yang mengatakan:
segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak 'ulama salaf dan
segala keburukan itu terdapat dalam bid'ahnya orang-orang khalaf (yang
menyelisihi salaf).

Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah
 
Beriman kepada
seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah
wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang
lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada
sifat yang lain. Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha
Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan
mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu
tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah
dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah
sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah
dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang
sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Allah Berada di atas 'Arsy
 
Al-Qur`an,
hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah
dalil-dalil yang qath'i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas
'Arsy. Dalil-dalil tersebut adalah:
 
1. Firman Allah
Ta'ala:
 
"Allah Yang
Maha Pengasih itu beristiwa` di atas 'Arsy." (Thaahaa:5) Keterangan bahwa
Allah bersemayam di atas 'Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A'raaf:54,
Yuunus:3, Ar-Ra'd:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
 
Para tabi'in
menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam
hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan
istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-'Aqiidah Al-Waasithiyyah,
Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma'aarif) 
 
2. "Apakah
kalian merasa aman terhadap "Yang di langit" bahwa Dia akan
menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?" (Al-Mulk:16)
 
Menurut Ibnu
'Abbas yang dimaksud dengan "Yang di langit" adalah Allah seperti
disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.
 
3. "Mereka
takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka." (An-Nahl:50)
 
4. Firman Allah
tentang Nabi 'Isa: "Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya
kepada-Nya." (An-Nisaa:158)
 
Maksudnya Allah
menaikkan Nabi 'Isa ke langit.
 
5. "Dan
Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit mau

[mediamusliminfo] Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas Arsy-Nya dan Bagaimana memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?

2012-02-19 Terurut Topik Dedy Iskandar
Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas
Arsy-Nya dan Bagaimana memahami Kebersamaan Allah dengan makhlukNya?
 
A.
Ahlusunnah mengimani bahwa Allah Ta'ala di atas Arsy-Nya
 
Ayat-ayat
al-Qur'an yang menyatakan bahwa Allah Maha tinggi di atas ‘Arsy-Nya sangat
banyak. Diantaranya firman Allah:


Sesungguhnya
Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia beristiwa’ di atas 'Arsy… (al-A’raaf: 54 dan Yunus: 3)

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia beristiwa’ di atas 'Arsy …. (Ar-Ra'd: 2)

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam
masa, kemudian Dia beristiwa’ di atas Arsy…(al-Furqan: 59)

(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas ‘Arsy. (Thaha: 5)

..Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih
dinaikkan-Nya… (Faathir: 10)

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya
dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian.
(as-Sajdah: 5)

Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan Maha Tingginya Allah di
atas ‘Arsy-Nya.

Dengan banyaknya ayat-ayat yang muhkamat (jelas dan
tidak tersamar) tersebut, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak para Shahabat,
Tabi’in dan para pengikut mereka dari kalangan ahlul hadits mengimani dengan
yakin dan mempersaksikan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Mereka memahami
makna istiwa’ dalam bahasa Arab yaitu “Tinggi, di Atas”. Hanya saja mereka
tetap menyatakan bahwa ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya tidak sama dengan
mahluk-Nya; tidak seperti seorang raja di atas singgasananya dan tidak pula
seperti seseorang di atas kendaraannya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan
bahwa tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya.

Dan mereka tidak mempermasalahkan bagaimana dan seperti apa istiwa’nya Allah di
atas ‘Arsy-Nya. Karena mereka meyakini bahwa dzat Allah tidak sama dengan 
mahluk-Nya,
maka mereka tidak mungkin menerangkan bagaimana istiwa’nya Allah di atas
‘Arsy-Nya. Apalagi tidak ada satu sumberpun dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang
menerangkan tentang kaifiyahnya.
 
Seperti kisah
yang terjadi pada Imam Malik sebagaimana dinukil oleh imam ash-Shabuni dalam
kitabnya Aqidatus Salaf wa ashhabul Hadits. Imam Malik ketika didatangi oleh
seseorang di majlisnya, kemudian bertanya: “Ar-Rahman ‘alal ‘Arsy istawa,
bagaimana istiwa’-Nya?”. Beliau tertunduk dan marah. Dan tidaklah beliau pernah
marah seperti marahnya ketika mendengarkan pertanyaan tersebut. Beliau pun
meneteskan butiran-butiran keringat dari dahinya; sementara para hadirin pun
terdiam dan tertunduk, semuanya menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang
akan dikatakan oleh Imam Malik. Beberapa saat kemudian beliau pun tersadar dan
mengangkat kepalanya, seraya berkata:
 
“Tentang
bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah
diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang 
kaifiyah)
adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.” 


Maka orang
itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul
Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)

Demikianlah sikap keras para ulama ahlus sunnah terhadap pertanyaan takyif yang
tidak mungkin bisa dipikirkan dengan akal, karena masalah dzat Allah dan
sifat-sifat-Nya adalah masalah ghaib yang kita tidak mungkin dapat mengenalinya
kecuali melalui al-Qur’an dan sunnah. 

Dan para ulama ahlus sunnah pun tidak ada yang berselisih tentang istiwa’nya
Allah di atas ‘Arsy-Nya, dan ‘Arsy-Nya di atas langit. Mereka menetapkan hal
ini sesuai dengan apa yang telah Allah tetapkan; mengimani, membenarkan Allah
azza wa jalla dalam berita-berita yang telah disampaikan-Nya dan mengucapkan
sesuai dengan apa yang telah Allah ucapkan tentang istiwa’Nya di atas ‘ArsyNya.
Mereka melangsungkannya atas dhahir (ayat-ayat)nya dan menyerahkan tentang
kaifiyahnya kepada Allah. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin
al-Manshuri, hal.44)

Ahlus sunnah tidak pula berani menarik makna istiwa kepada makna-makna lain
yang sama sekali tidak berkaitan dengan lafadznya, seperti apa yang dilakukan
oleh ahlul bid’ah yang menarik makna “istiwa’” kepada “istaula”. Kalimat ini
bukan tafsir, bukan pula makna istiwa’, karena sama sekali tidak berkaitan
dengan lafadz maupun maknanya. Perbuatan ini termasuk tahrif yaitu mengganti
kalimat al-Qur’an dengan kalimat yang lain yang tidak saling berhubungan, baik
secara lafadz maupun secara makna.

Pantas kalau dikatakan oleh para ulama, bahwa apa yang dilakukan oleh mereka
sama persis seperti yang telah dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap kitab
mereka. Mereka mengganti kalimat 'hithah' menjadi 'hinthah'. 

Sebagaimana Allah kisahkan tentang tahrif mereka ini dalam ayat-Nya:


…dan katakanlah:
Hiththah ("Bebaskanlah kami dari dosa"), niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahan kalian, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
ke