Kalo crita tersebut benar adanya, kok jadi gak jauh beda ya mbah
Pasar Modal kita dijadikan arena judi Jackpot atau judi apa namanya
Dan kok rasanya kaya gak mungkin orang-orang yang kompeten
di bej gak tau, mestinya tau dan mengerti, cuma beliau2 kan juga
manusia yang tdk akan pernah menolak uang he he
apalagi mereka jg masih sekelas tenaga gajian sapa sih  yg gak mau uang
Ampun mbah kalo salah presepsi

Nuwun


----- Pesan Asli ----
Dari: jsx_consultant <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: obrolan-bandar@yahoogroups.com
Terkirim: Kamis, 27 September, 2007 8:32:59
Topik: [obrolan-bandar] Re: Filosofi Pasar Modal

Embah jadi bertanya-tanya, apakah seorang direktur perusahaan
sekuritas TIDAK tahu atau PURA2 tidak tahu kalo sekuritasnya 
dipakai oleh para PENGGORENG saham ?.

--- In obrolan-bandar@ yahoogroups. com, Kancil Cirebon <[EMAIL PROTECTED] ..> 
wrote:
>
> Filisofi Pasar Modal
> Oleh: Lily Widjaja*
> 24/09/2007 01:42:47 WIB 
> JAKARTA, Investor Daily
> Beberapa waktu lalu saya mendapat surat elektronik (e-mail) dari 
seorang konsultan keuangan (lihat artikel di bawah). Menarik, karena 
e-mail tersebut datang dari seorang konsultan keuangan yang 
beraktivitas di pasar modal.
> Judul e-mail tersebut adalah Philisophy of the Stock Market atau 
Filisofi Pasar Saham. Isinya begini: Sekali peristiwa di sebuah desa, 
muncullah seorang tuan yang mengumumkan kepada para penghuni desa 
bahwa dia akan membeli monyet dengan harga 10 Ringgit per ekor. Para 
penghuni desa yang melihat banyak monyet di hutan bersegera keluar 
dan mulai menangkap monyet-monyet itu.
> Tuan itu membeli beribu-ribu ekor monyet dengan harga 10 Ringgit. 
Ketika persediaan monyet mulai menurun dan para penghuni desa mulai 
menghentikan usaha mereka, dia mengumumkan bahwa sekarang dia akan 
membeli monyet pada harga 20 Ringgit per ekor. Para penghuni desa 
tergerak, dan mereka mulai menangkap monyet lagi. Persediaan monyet 
pun semakin menurun dan mereka kembali ke kebun.
> Harga penawaran kemudian dinaikkan menjadi 25 Ringgit per ekor. 
Karena persediaan monyet sedemikian langka maka diperlukan upaya 
lebih keras dari sebelumnya. Tak berapa lama Tuan itu mengumumkan 
bahwa dia akan membeli monyet pada harga 50 Ringgit per ekor. Tapi 
berhubung dia harus ke kota untuk urusan bisnis, maka asistennya 
yang diserahi tugas untuk kepentingannya.
> Ketika Tuan itu sudah pergi, asisten itu berkata kepada para 
penghuni desa: "Lihatlah monyet-monyet di kandang besar yang telah 
dikumpulkan oleh Tuan. Saya akan menjual monyet-monyet kepada Anda 
seharga 35 Ringgit per ekor, dan ketika Tuan kembali, Anda bisa 
menjual kepadanya dengan harga 50 Ringgit per ekor." 
> Terjadilah antre panjang para penghuni desa untuk membeli monyet 
dengan seluruh tabungan yang ada pada mereka. Ternyata setelah itu, 
baik asisten maupun Tuan lenyap tak berbekas, sementara monyet-
monyet ada di mana-mana! 
> 
> 
> Persepsi Jadi Realitas
> Persepsi menjadi kenyataan (perception becomes reality) adalah 
ungkapan paling tepat untuk menggambarkan kisah tersebut di atas. 
Kisah di atas bisa mewakili apa yang sering terjadi di pasar modal. 
> Belum lama ini pasar modal kita dihebohkan dengan kasus gagal bayar 
antarpialang atas transaksi suatu saham dengan nilai lebih dari Rp 
200 miliar. Dalam hitungan bulan, harga saham ini bergerak 
spektakuler, dari di bawah Rp100 menjadi di atas Rp 4.000. Nilai 
transaksi yang terjadi setiap hari pun tidak tanggung-tanggung, 
pernah mencapai di atas Rp 1 triliun. 
> Para pelaku pasar pun berdecak dan senang. Tapi tidak sedikit juga 
yang cemas. Mereka senang, karena dengan pergerakan harga yang naik 
luar biasa mereka akan memperoleh keuntungan yang substansial. Namun, 
mereka cemas kalau-kalau harga keburu turun sementara mereka belum 
sempat menjual kembali apa yang telah mereka beli pada harga tinggi. 
Cemas karena mereka tahu bahwa penurunan harga, cepat atau lambat 
tetap akan terjadi, namun kapan persisnya, semuanya tak bisa 
memperkirakan.
> Apa yang dicemaskan kemudian benar-benar terjadi. Harga saham 
menukik tajam sampai suspensi oleh Otoritas Bursa pada level sekitar 
Rp 2.000. Ada yang memang meraup untung karena sempat menjual di atas 
harga beli, tapi ada juga yang rugi besar, karena telanjur membeli 
pada harga tinggi dan belum sempat menjual kembali.
> 
> 
> "Penggorengan" Saham
> Ada istilah yang populer di pasar modal kita yakni saham gorengan, 
dengan pelakunya disebut penggoreng saham atau tukang goreng saham. 
Menarik, bukan? 
> Ternyata bukan hanya pisang yang bisa digoreng, saham pun bisa. 
Artinya saham bisa diberi "bumbu" dengan berbagai informasi menarik 
dan menjanjikan untuk menciptakan persepsi bahwa saham itu memang 
bagus dan banyak peminat. 
> Lalu harga semakin naik seiring naiknya permintaan dan turunnya 
persediaan. Setelah harga naik tinggi, penggoreng saham mulai menjual 
sahamnya pada harga tinggi tersebut. Akibatnya, pasar mulai dibanjiri 
saham tersebut dan harga mulai turun drastis. Dalam hal ini 
penggoreng saham tidak bekerja sendiri, melainkan memiliki kaki-
tangan yang membantunya. Mirip cerita monyet di atas, bukan?
> Goreng -menggoreng saham sering terjadi di pasar modal kita. Itulah 
yang sering memberi kesan bahwa pasar modal merupakan tempat berjudi. 
Sayangnya, istilah 'main saham' yang telanjur lumrah ini memberi 
konotasi negatif atas suatu aktivitas investasi keuangan.
> Lalu, apakah memang demikian cermin pasar saham yang seharusnya? 
Jawabannya, tentu saja tidak. Contoh di atas menggambarkan 
penyimpangan pada aktivitas pasar modal yang bermartabat. 
> Hakikatnya, investasi pada saham suatu perusahaan memungkinkan sang 
investor memiliki perusahaan tersebut dan berpartisipasi dalam 
pertumbuhan perusahaan yang dipilihnya itu. Investor saham mendapat 
bagian keuntungan dari perusahaan tersebut dalam bentuk dividen. 
Investor juga mendapat keuntungan dalam bentuk capital gain, yaitu 
apresiasi harga pasar terhadap harga beli. Kenaikan harga saham 
ditopang oleh faktor fundamental antara lain kinerja keuangan 
perusahaan yang solid dan pertumbuhan perusahaan yang menjanjikan, 
bukan karena "digoreng" oleh tukang goreng! 
> Mestinya inilah filosofi investasi di pasar saham, yaitu 
partisipasi sebagai pemegang saham lalu mendapatkan keuntungan bersih 
perusahaan dalam bentuk dividen dan apresiasi harga saham dalam 
bentuk capital gain, dan sebaliknya, turut menanggung kerugian 
perusahaan (tidak ada dividen) dan capital loss akibat penurunan 
harga saham. 
> 
> 
> Pasar Bermartabat 
> Nafsu mengambil untung secara tidak wajar dengan mencelakakan orang 
lain menandakan tiadanya etika dalam praktik bisnis. Bercermin dari 
cerita monyet di atas, siapakah yang menikmati keuntungan, 
sebaliknya, siapakah yang mengalami nasib naas? Kisah monyet tersebut 
di atas jelas menggambarkan bahwa si Tuan dengan kaki-tangannya si 
asisten mendapat untung besar, sementara para penghuni desa mendapat 
rugi besar.
> Sahabat saya sering heran kalau saya meminta mereka untuk berhati-
hati berinvestasi di pasar saham. Menurut mereka, sebagai praktisi 
yang turut mempromosikan dan memajukan pasar modal di Indonesia, saya 
mestinya mendorong mereka menyisihkan sebagian tabungan untuk 
investasi di pasar saham. 
> Betul, memajukan pasar modal adalah sebuah kewajiban profesional 
yang melekat, tapi menjauhkan pasar modal dari praktik penggorengan 
saham dalam rangka penciptaan harga semu, adalah sebuah kepedulian 
yang tak bisa saya hindari.
> Alangkah bermartabatnya kalau pasar saham bebas dari praktik 
manipulasi harga lewat penciptaan harga semu. Betapa mulianya jika 
pasar saham bersih dan berwibawa, dan jauh dari stigma "tempat 
berjudi". Hanya dengan demikian masyarakat pemodal dapat beraktivitas 
dengan aman dan nyaman. Semoga!
> 
> 
> ** Lily Widjaja adalah praktisi pasar modal. Saat ini menjabat 
sebagai Direktur Utama Merrill Lynch Indonesia, Komisaris Bursa Efek 
Jakarta, dan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia.
> Copyright © 2007 - 2007 The Investor Group. 
http://www.investor indonesia. com/index. php?
option=com_content& task=view& id=40244& Itemid= 
> 
> 
> Thursday, August 2, 2007
> Philosophy Of the Stock Market
> http://zoomtosumit. blogspot. com/2007/ 08/philosophy- of-stock-
market.html 
> Once upon a time in a village a man appeared who announced to the 
villagers that he would buy monkeys for 10 dollars. The villagers 
seeing that there were many monkeys went out in the forest and 
started catching them. The man bought thousands at 10 and as supply 
started to diminish and villagers started to stop their effort he 
announced that now he would buy at 20 dollars.
> This renewed the efforts of the villagers and they started catching 
monkeys again. Soon the supply diminished even further and people 
started going back to their farms. The offer rate increased to 25 and 
the supply of monkeys became so that it was an effort to even see a 
monkey let alone catch it.
> The man now announced that he would buy monkeys at 50! However, 
since he had to go to the city on some business his assistant would 
now buy on behalf of the man.
> In the absence of the man, the assistant told the villagers, "Look 
at all these monkeys in the big cage that the man has collected. I 
will sell them to you at 35 and when the man comes back you can sell 
it to him for 50."
> The villagers queued up with all their saving to buy the monkeys.
> 
> 
> 
> 
> 
> 
____________ _________ _________ _________ _________ _________ _
____________ __
> Take the Internet to Go: Yahoo!Go puts the Internet in your pocket: 
mail, news, photos & more. 
> http://mobile. yahoo.com/ go?refer= 1GNXIC
>





      
________________________________________________________ 
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! 
http://id.yahoo.com/

Kirim email ke