Oleh : Ahmad Syafii Maarif Republika, Selasa, 22 Agustus 2006
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=261449&kat_id=19 Roda waktu telah bergulir 61 tahun plus lima hari sejak Sukarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia pada 17 Agustus 1945. Di antara bait lagu yang masih terngiang di telinga sebagian kita di awal kemerdekaan itu adalah: “Pemimpin kita Sukarno dengan Hatta. " Terasa sekali kekompakan antara kedua figur itu, perbedaan strategi mereka tahun 1930-an seperti telah lebur ditelan bahana pekik kemerdekaan. Keduanya dielukan sebagai orang yang paling berjasa dan bertanggung jawab bagi terwujudnya impian panjang berupa kemerdekaan. Chairil Anwar dalam “Krawang-Bekasi” mengabadikan bait ini: “Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir.” Seakan-akan suasana serba manis itu akan berlangsung lama. Apalagi bagi Chairil yang wafat muda tahun 1949 tentu tidak pernah membayangkan bahwa beberapa tahun setelah pemulihan kedaulatan, ketiga pemimpin bangsa itu telah berlaku ungkapan ini: “seiring bersimpang jalan”, khususnya antara Sukarno dan Hatta-Sjahrir dengan segala akibat buruknya bagi bangunan Indonesia sebagai bangsa muda. Bahwa kesetiaan rakyat kepada kemerdekaan terlihat pada swainisiatif mereka dalam merayakan hari kemerdekaan ini dengan semangat tinggi, dari kota sampai ke sudut-sudut Tanah Air yang jauh tersuruk di pelosok. Modal sosial ini masih terpelihara dengan baik sampai hari ini. Bendera merah-putih dikibarkan, kampung dibersihkan dan dihiasi. Bermacam perlombaan dipertandingkan, dari anak-anak sampai lansia. Renungan kemerdekaan diadakan di mana-mana. Alangkah dahsyatnya makna proklamasi bagi bangsa ini. Mereka seperti melupakan beban derita yang menghimpit fisik dan jiwa mereka selama puluhan tahun. Tekadnya hanya satu: kemerdekaan wajib disyukuri. Suasana kampung jauh lebih khusyuk dibandingkan dengan upacara-upacara resmi yang digelar pemerintah. Mengapa? Karena rakyat melakukannya dengan kesadaran yang datang dari dalam dirinya, bukan atas perintah. Dari sisi ini kita berhasil luar biasa. Oleh sebab itu, jika Anda ingin menyaksikan dan merasakan apa makna kemerdekaan bagi rakyat banyak, ikutilah kegiatan mereka dari jarak yang dekat di kampung-kampung. Di kampung saya di perumahan Nogotirto, acara perlombaan diadakan pada tingkat RW, sedangkan renungan kemerdekaan dipusatkan pada tingkat RT masing-masing, antara lain, berupa tirakatan (sedikit bernuansa mistik) sebagai bagian dari kekayaan kultur kita. Untuk biaya tidak ada masalah, semua keluarga akan dengan sukarela menggotongnya bersama tanpa ada yang merasa dipaksa. Suasana murni yang semacam inilah yang seharusnya berlaku di tingkat atas. Jauh dari basa-basi, semua merasakan kemerdekaan diri dalam iklim persaudaraan. Dalam penyelenggaraan renungan, penduduk tidak lupa membawa makanan, kecil atau besar, untuk disantap bersama. Alangkah dalam dan agung nilainya kemerdekaan sebuah bangsa bila disikapi secara tulus, gembira, tanpa ada pihak yang ingin mendominasi. Justru nilai-nilai Pancasila itu terasa hidup di tingkat akar rumput. Pesan egalitarian benar-benar terwujud dalam upacara yang serba rileks ini. Pertanyaan kunci saya yang perlu dilontarkan adalah: mengapa pada saat-saat tertentu sebagian kita menjadi beringas dan anarkis? Pasti ada penyebab yang sangat mendasar. Apa itu? Pengabaian dan bahkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila oleh para pemimpin, sebagian rakyat tinggal meniru saja. Keteladanan telah lama menghilang, filosofi mumpung telah menjadi pakaian harian sebagian kita, dimulai dari atas kemudian turun ke bawah dengan berbagai variasinya. Berapa kali saya katakan bahwa “bangsa ini telah dirusak oleh tangan anak-anaknya sendiri sampai batas-batas yang jauh”. Keserakahan global tinggal menumpangi saja kerapuhan moral yang hampir sempurna ini. Akibat fatalnya sangat jelas: harga diri sebagai bangsa telah merosot ke tingkat yang paling bawah. Bagaimana dunia akan menghormati dan menghargai kita sebagai bangsa jika kita sendiri juga tidak menghargai martabat kita sebagai bangsa beradab. Keberingasan, brutalitas, anarkisme adalah musuh sejati dari Pancasila, khususnya sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu belum lagi kita berbicara tentang kebocoran harta negara yang menurut Kwik Kian Gie bisa mencapai Rp 305,5 triliun per tahun. Namun, betapapun banyaknya borok yang dipikulkan ke bahu bangsa ini, kita tidak boleh lupa mengucapkan ini: Dirgahayu kemerdekaan Indonesia. Sekali merdeka, tetap merdeka! -------------------------------------------------------------- Website: http://www.rantaunet.org ========================================================= * Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting * Posting dan membaca email lewat web di http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages dengan tetap harus terdaftar di sini. -------------------------------------------------------------- UNTUK DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply - Besar posting maksimum 100 KB - Mengirim attachment ditolak oleh sistem =========================================================