(sekaligus menjawab postingan Mbak Herni, Mbak Chae dan Mas Ayeye)

--- In [EMAIL PROTECTED], "Mia" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Pak Darwin Bahar tepat sekali mengingatkan bahwa kecenderungan budaya
Minang yang ujung-ujungnya memang toleran, dan setia adat. Karena
itu instruksi walikota nggak diprotes orang Padang sendiri. Sejelek-
jeleknya inilah yang saya harapkan, bahwa formalisasi itu nggak
bakalan melunturkan sifat toleran orang Minang.

Tapi, lepas dari orang Sumbar sendiri nggak protes, orang luar boleh
protes dong - anggap saja urun pendapat.

Darwin

Mbak Mia, ada kearifan orang Minang tntang perlunya perbenturan pendapat
yang tercermin dalam pepatah: “Beradu kayu di tungku, di sana timbulnya
api, untuk memasak nasi yang akan dimakan”, yang mencerminkan bahwa
pergesekan pendapat bukan saja boleh tetapi perlu agar diperoleh
kemanfatan atau nilai tambah bagi semua. Bayangkan apa yang terjadi jika
memasak nasi di atas tungku yang apinya tidak menyala.

Atau dalam bahasa Pak Walikota Padang: “Kontroversi Justru Memperkaya
Wawasan”.

Mia:

Saya setuju dengan pendapat-pendapat beberapa temen disini sbb:
- kalau itu sifatnya memelihara adat, kenapa harus diformalkan?

Darwin:

Sejujurnya saya agak terkejut orang secerdas Mbak Mia bisa keluar dengan
pertanyaan seperti itu. Karena pertanyaan serupa juga bisa diajukan
kepada founding fathers kita yang menetapakan Pancasila, yang dianggap
sebagai pencerminan kepribadian bangsa Indonesia menjadi dasar Negara,
dari mana semua prinsip pertauran perundang-unadangan, atau pertauran
Pemerintah Perancis yang melarang dikenakannya pakaian atau atribut yang
dianggap sebagai symbol dari agama termasuk jilbab di sekolah-sekolah
negeri sesuai dengan prinsip sekularisme yang dianut Pemerintah
Perancis---walaupun kita tahu bahwa dari satu sisi hal tersebut
bertentangan dengan pasal 18 Declaration of Human Right tentang
 “kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan
mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka
umum maupun sendiri”


Mia:

- kalau itu memang dari adat, kenapa jilbab?
- kalau itu seragam, lha kenapa jilbab?

Darwin:

Mbak Mia, di akhir tahun limapuluhan ada sebuah lagu Minang yang
berjudul “Baju Kurung” yang dipopulerkan oleh Orkes “Gumarang” yang
ketika itu merajai blantika musik Nasional, yang saya masih ingat sekali
baitnya yang berbunyi: Baju kurung onde-onde lah si baju kurung /
Basalendang suto nan aluih bamaniek-maniek”.

(basalendang=berselendang; suto=sutera; aluih=halus; maniek=manik)

Baju kurung dan selendang/kerudung memang merupakan pakaian tradisional
yang dikenakan perempuan Minang di Sumatra Barat sejak zaman kuda gigit
besi, baik yang selendangnya sekedar disangkutkan di kepala atau
dilitkan seperti jilbab seperti yang dikenakan siswa “Diniyah Putri” di
Padang Panjang yang dibangun oleh Rahmah El-Yuniah di awal abad ini.

Almarhumah kakak perempuan saya yang tertua Uni Niar (lahir tahun 1932)
malah pernah mengalami kejadian “lucu”. Ketika menikah dan mengikuti
suaminya di Jakarta yang bekerja di DKA (sekarang PT KAI) di awal tahun
50-an beliau ikut bekerja sebagai pegawai sipil di AD. Dan kita tahu
bahwa di Jakarta, perempuan yang mengenakan pakaian “tertutup” seperti
baju kurung dan selendang yang dikenakan kakak saya tersebut di zaman
Orkes “Gumarang” sangat-sangatlah sedikit dibandingkan dengan di zaman
Grup Musik “Dewa” dewasa ini. Mungkin merasa agak aneh, beberapa pria
yang duduk dekat Uni Niar di atas trem listrik “ngerasanin”-nya dalam
bahasa Belanda (maksudnya tentu biar kakak saya tersebut tidak paham apa
yang mereka katakan), yang isinya kira-kira: “orang ini kampungan banget
sich”. Uni Niar yang alumnus “Diniyah Putri” itu dengan tenang menjawab
dalam Bahasa Inggris---saya sudah tidak ingat persis isinya---yang
menyebabkan pria-pria tersebut terpecak peluhnya.

Baju kurung dan selendang/kerudung tersebut berkembang sesuai mode.
Tidak sukar menemukan perempuan asal Sumbar, termasuk yang masih belia
di pasar-pasar tradisional atau modern seperti ITC yang banyak pedagang
Minang tetap menggunakan kerudung atau jilbab, dan sesuai dengan
berkembangnya tren perempuan Indonesia menggunakan pakaian tertutup yang
disebut “busana muslim” pakain tradisional orang Minang tersebut berubah
nama jadi “busana muslim”.

Namun intinya, baju kurung dan selendang/jilbab tidak ada bedanya dengan
kain dan kebaya, baik dengan atau sonder tutup kepala, yang digunakan
oleh perempuan Betawi, Jawa, Sunda dan Daerah lainnya untuk kegiatan
sehari-hari. Bahkan dulu saya juga pernah mendengar lagu Baju Kurung
dalam bahasa Batak, yang saya tidak tahu artinya. Dugaan saya ketika itu
ialah bahwa perempuan Batakpun memakai baju kurung juga.

Dan Mbak Anita baru saja menjelaskan kepada kita bahwa di negeri
persemakmuran Inggris, anak sekolah juga berseragam dengan contoh di
Australia, yang default seragam siswinya adalah rok mini. Apa kalau di
Australia boleh, di Padang tidak boleh? Atau baru boleh apabila default
seragam siswinya adalah rok mini?

Mia:

- kenapa perempuan?

Darwin:

Seperti diberitakan Majalah TEMPO Edisi 16-25 Mei 2005 murid pria
diharuskan bercelana panjang. Jadi aturan pakaian seragam itu tidak
hanya dikenakan kepada murid-murid perempuan saja.

Mia:

Dengan kata lain, jujurlah meliat kemana arahnya instruksi dan
himbauan walikota ini. Ini sikap status quo konservatism yang nggak
sehat dalam beragama. Formalisasi (seragam jilbab di sekolah) itu
akibatnya MENYEMPITKAN pilihan dan ruang bersama kita. Kenapa sih
ingin malah menyempitkan?

Darwin:

Salah satu masalah yang dihadapi oleh umat bergama waktu ini ialah
bagaimana mewariskan nilai-nilai agama yang dianut generasi waktu ini
kepada generasi berikutnya, termasuk di AS yang penganut Islam sampai
hari ini tetap bertambah dengan pesat (Lihat buku-buku Prof Jeffrey
Lang). Saya melihat kebijakan Walikota Padang sebagai bagian dari upaya
itu. Semangat otonomi daerah memang membenarkan bahwa daerah berwenang
untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan adat, budaya dan
nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakatnya. Kebetulan bagi
masyarakat Minang adat, budaya dan nilai-nilai agama berpilin
berkelintan menjadi satu dalam falsafah “Adat Bersandi Syarak, Syarak
Bersandi Kitabullah”. Yang penting tidak ada regulasi yang berlebihan
dan tidak ada pemerkosaan hak-hak minoritas. Dan seperti dijelaskan
Walikota Padang kepada Koran Padang Ekspres Sabtu lalu , “bagi pelajar
putri (non-muslim) menggunakan rok panjang hingga pergelangan kaki, baju
lengan panjang, sopan. Bukan pakaian muslim yang pakai kerudung”.

Adalah hak Mbak Mia untuk punya persepsi bahwa arah instruksi dan
himbauan walikota ini merupakan sikap status quo konservatism yang nggak
sehat dalam beragama. Tetapi Mbak Mia juga harus jujur bahwa persepsi
Mbak Mia juga bisa salah.

Mia:

Belajarlah dari sekeliling kita. Misalnya Mesir. Orang Mesir kan
bukan orang Arab. Sifatnya mirip orang Indonesia, demen ketawa. Tapi
sekularisasi bablas dan konservatism bablas ikut merusak ini.


Darwin:

Seperti saya katakan pada posting saya sebelum ini, orang Minang juga
punya banyak kekurangan dan sifat buruk. Tetapi salah satu sifat buruk
itu bukanlah sifat tidak mau belajar dari sekeliling, yang tercermin
dari adagium: “Alam terkembang menjadi guru”. Selain itu orang Minang
juga suka merantau guna menambah pengetahuan dan memperluas wawasan
(merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum). Pada waktu ini
populasi orang Minang di Sumatra Barat berjumlah ± 5 juta jiwa, dan
lebih kurang sebanyak itu pula yang berada di perantauan, termasuk di
mancanegara. Yang mendirikan milis RantauNet dalam tahun 1993 adalah
orang Minang yang ketika itu bersekolah di Inggris, pada saat masih
orang Indonesia masih belum tahu apa itu internet, bahkan menggunakan
komputer. Moderator Milis Surau sekarang ini sudah lama bermukim di
Kanada Mereka yang merantau itu pada umumnya mempunyai kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan sesuai dengan pepetah: “di mana bumi
dipijak di sana langit dijunjung” tanpa kehilangan akar budayanya, ya,
ABSSBK itu. Berbeda dengan Bung Karno yang hanya bersekolah di
Indonesia, para pemimpin Indonesia di masa-masa sebelum dan awal
kemerdekaan RI yang berasal dari Sumatra Barat seperti Hatta dan Sutan
Syahrir, bersekolah di negeri Belanda. Dan kita tahu, selama sekolah di
negeri Belanda Hatta yang banyak meneyerap ajaran sosialis dan demokrasi
dari Barat itu tidak sekalipun larut dalam kehidupan barat yang bebas
dan hedonik.

Mia:

BTW, saya mau ikutan kontes pilkada.

Darwin:

Saya dukung 200%. Saya juga mendukung dan akan ikut menjadi makmun kalau
Ustazah Mia mau menjadi imam dan khatib salat Jumat.

Asalkan tidak pas di belakang imam.

Soale, mana tahaannn :-)

Wassalam, Darwin
(Kecuali sama-sama punya ayah yang bernama Bahar, tidak punya hubungan
apapun, bertemupun belum pernah dengan Walikota Padang Fauzi Bahar)


Usulanku mewajibkan laki-laki
kantoran pake kupiah dan sarong. Cute kali yak. Bosen aku ngliat dasi
yang nyekek leher itu. Ada yang ngedukung?....:-))

Salam
Mia


--- In [EMAIL PROTECTED], "a ayeye" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Orang Minang tentu saja juga punya banyak kekurangan dan sifat
buruk,
tetapi mungkin tidak berbakat untuk menjadi fasis, seperti yang
dikhawatirkan Mas Ayeye. Hal itu terlihat nyata dari karakter
tokoh-tokoh yang berasal dari Sumbar dari Hatta, Agus Salim,
Syahrir,
Natsir sampai dengan Syafei Maarif dan Ayzumardi Azra.
Mas Darwin, waktu itu saya mengatakan pendapat pribadinya terhadap
kebijaksanaan itu berdasarkan tulisan pertama dari Mbak Yasmina di WM:
(…Awalnya dari instruksi walikota yang katanya merupakan kelanjutan
dari perda tentang baca Al Quran dan perda pencegahan maksiat yang berasal dari pandangan mata, juga kegiatan perang terhadap maksiat seperti judi togel.
Katanya orang baca Quran bajunya harus tertutup dan menyelamatkan
generasi muda dari perkosaan, seks bebas, narkoba dengan jilbab. Walikota juga berpendapat bahwa semua agama menginginkan baju tertutup untuk penganutnya dengan mencontohkan para biarawati…)
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/65965

Sepanjang pendebatan itu, saya tidak pernah menuduh orang Minang
atau walikota sendiri sebagai fasis (atau rasis). Alasannya, saya belum kenal langsung dengan orangnya dan belum ada kepastian informasi, maka belum bisa menghakimi orangnya, tetapi saya sudah mengritik tujuan di balik kebijaksanaan sebagai berikut:
Tanggapan saya:
(…Tetapi yang lebih memprihatkan adalah sikap rasis dan fasis
dibalik
kebijaksanaan ini. Jadi masalah bukan pada jilbabisasi per sich,
tetapi soal ideologi di belakang kebijaksanaan itu…)
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/65967

Mengapa saya mengatakan rasis dan fasis:
Karena alasan-2 yang diberikan di atas seperti mencegah
praktek "maksiat" tidak memadai, karena tidak menyambung (sudah dijelaskan kepada Mas Dadang). Alasan-2 lain seperti ingin mengembalikan kebudayaan Timur dan nilai-2 Islami tidak memadai juga, karena setelah mendapat berita-2/klarifikasi lain, ternyata para perempuan-2 Minang yang beragama Islam sudah dengan sendirinya memakai jilbab/kerudung tanpa mesti disuruh. Oleh karena itu, peraturan itu tidak diperlukan:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/66156

Maka kita harus bertanya tujuan memformalkan suatu nilai keagamaan
atau kebudayaan tertentu sebenarnya untuk apa? Saya sangat sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Mbak Herni di sini. Setelah saya membaca dari berita pertama bagian-2 berikutnya, saya memakai kata rasis dan fasis, karena saya tidak melihat pilihan lain:
(…Walikotanya menantang apa betul berita itu KARENA KATANYA NON
MUSLIM ITU BUKAN PENDUDUK ASLI PADANG, jadi mungkin saja pindah karena memang bukan penduduk asli dan bukan karena urusan jilbab ini…)
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/65965

(…Lalu walikota mencontohkan domba - jika mayoritas domba putih,
dan ada ada sedikit domba biru, maka domba biru harus diputihkan. Hal ini berkaitan dengan mayoritas yang muslim, maka yang non muslim harus mengikuti supaya tidak terkucil…)
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/65965

Nah, komentar pertama menjurus kepada rasisme. Sedangkan komentar
kedua kepada fasisme jika dipaksakan melalui peraturan legal dalam hukum positif. Itu alasan mengapa sampai saya mengunakan kata "rasis" dan "fasis" dalam pendapat saya.
Tambahan:
Ada hal-2 lain yang juga penting disebut. Dalam berita pertama
tidak dikatakan bahwa kebijaksanaan itu hanya mau diberlakukan sebatas sekolah SMP/SMA. Membaca alasan-2 yang diberikan bahwa tujuan adalah untuk menyerangi praktek-2 seperti perkosaan, seks bebas dan narkoba, maka saya menimpulkan itu berlaku untuk di semua tempat umum.
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/65965

Tetapi dalam berita lain disebutkan bahwa kebijaksanaan itu hanya
direncanakan untuk diterapkan dalam batas sekolah SMP/SMA.
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/66156

Sedangkan pendapat saya didasarkan atas apa yang pernah dibicarakan
dalam berita pertama. Karena waktu itu berita lain belum muncul di WM.
Karena itu Mas Ayeye tidak usah "memboikot" masakan Padang, karena
saya akan kehilangan seorang pelanggan potensial :D. Soalnya saya
dan
isteri merencanakan akan membuka restoran Padang kecil-kecilan di
Pondok Pinang, Jaksel bulan depan (mohon doa).
Wassalam, Darwin
Aduh, jangan sampai menyamakan "selera lagi turun" dengan
niat "memboikot" :-D
Jadi kalau Mas Darwin mau mengundang saya untuk mencicipi masakan
Padang di rumah makan baru, saya tentu akan terima :-) Bulan depan, bahkan minggu depan, saya akan ada di Jakarta.
Salam,
ayeye


--
_______________________________________________
NEW! Lycos Dating Search. The only place to search multiple dating
sites at once.
http://datingsearch.lycos.com
--- End forwarded message ---











_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke