Dalam hidup kita sering terpaksa melihat yang sangat tidak ingin kita
lihat atau mendengar yang sangat tidak ingin kita dengar atau mengetahui
bahwa apa yang dikhawatirkan terjadi kemudian terjadi, yang menyebabkan
kita menjadi sangat sedih dan gusar.
Itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan berita seputar serangan bom
teroris di London yang menewaskan banyak orang tidak bersalah pekan
lalu, dan kemudian sebuah peristiwa yang diberitakan Liputan 6 SCTV pagi
dan Nuansa Pagi hari Minggu yang lalu, yaitu ketika segerombolan orang
yang mengaku dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian (LPPI) dan Front
Pembela Islam (FPI), sebagian masih belia menyerang, merusak dan
berusaha membubarkan ‘Jalsah Salanah’ (pertemuan tahunan) ke 46 Jemaah
Ahmadiah Indonesia di kampus gerakan tersebut di Parung, Bogor, hari
Jumat lalu, dengan alasan “bertentangan dengan ajaran Islam”. Terdengar
jelas ada yang berpekik: “Bakar…….bakar!”
“Mereka tidak mengakui Nabi Muhammad dan tidak berkitabkan Al-Quran,”
demikian kurang lebih ucapan salah seorang penyerang seperti dikutip SCTV.
Memang seperti itu anggapan mayoritas kaum muslimin tentang Jemaah
Ahmadiah. Dan seperti itu pula anggapan saya dulu, ketika ikut
mengusulkan untuk “mengusir” Nadri Saadudin alias Wan Nadri, seorang
mubalih Jemaah Ahmadiah---yang rajin mendakwahkan doktrin-doktrin mereka
di sejumlah milis---dari Palanta sekitar 5 tahun yang lalu.
Dan setelah itu saya masih sempat “menyerang” Wan Nadri dan Ahmadiah di
Milis FID. Namun setelah masuk ke Prol dan menyaksikan kegigihan dan
ketangguhan intelektual Ahmadiah MA Suryawan dan Febrina dalam menangkis
distorsi terhadap Islam dan serangan kepada pribadi Nabi, saya secara
brangsur menyadari kekeliruan pandangan saya kepada Jemaah Ahmadiah
selama ini.
Sekitar satu setengah tahun yang lalu Wan Nadri yang rupanya tidak
dendam kepada saya, menjapri saya memberi tahu bahwa beliau dan
isterinya merencanakan untuk menunaikan ibadah haji pada musim haji
2004, dan minta dikirimi catatan lengkap perjalanan haji yang saya
kirimkan secara bersambung ke sejumlah milis beberapa bulan sebelumnya,
karena catatan yang dikoleksinya tidak lengkap. Permintaannya tersebut
segera saya penuhi disertai catatan, semoga Wan Nadri dan isteri
mendapat haji mabrur.
Tadinya saya akan mengucapkan selamat di milis-milis Wan Nadri biasa
mangkal, tetapi saya urungkan. Kenapa? Karena saya khawatir Wan Nadri
nanti kenapa-kenapa di Tanah Suci, karena saya tahu para Ulama dan
Pemerintah KSA, tidak membenarkan Jemaah Ahmadiah Qadiani untuk
menunaikan ibadah haji, dengan kata lain, memasuki teritori KSA [1]
Memang, kebanyakan ulama, termasuk ulama-ulama besar, termasuk Dr Yusuf
Qaradhawi yang sangat berpengaruh dan dihormati kaum muslimin
‘mainstream’ termasuk saya, berpendapat bahwa Jemaah Ahmadiah Qadiani
sudah menyimpang dari ajaran Islam, karena mereka mengimani Mirza Gulam
Ahmad (MGA) sebagai Nabi, walaupun menurut Jemaah Ahmadiah sendiri Nabi
yang tidak membawa syariat sendiri tetapi meneruskan syariat Nabi
Muhammad SAW, dan ini berdasarkan penfasiran mereka terhadap Al-Quran
bahwa Nabi yang tidak membawa syariat sendiri tidak berakhir sesudah
Nabi Muhammad SAW.
Sebagian lain---nampaknya waktu ini minoritas---termasuk saya, tidak
berpendapat mereka bukan Islam, karena pada kenyataannya mereka salat,
berpuasa, berzakat dan berhaji tidak berbeda berbeda dengan kaum
muslimin lainnya, yang secara eksplisit menyatakan bahwa mereka
menjalankan syariat---dengan kata lain mengakui dan mencintai---Nabi
Muhammad SAW, tidak berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Demikian pula
Al-Quran yang mereka gunakan sebagai sumber keimanan dan amalan mereka,
juga tidak berbeda dengan Al-Quran kaum muslimin lainnya, yaitu Al-Quran
Rashm Usmani. Soal apakah paham mereka yang mengimani MGA itu seorang
Nabi itu diterima Allah SWT atau tidak, tentunya hanya Allah Yang Maha
Bijaksana sendiri yang mengetahuinya.
Selain itu itu Jemaah Ahmadiah juga dikenal antikekerasan dan sangat
giat melakukan dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Baitul Futuh,
masjid megah yang terletak di jantung Kota London berkapsitas 10 ribu
jemaah, terbesar di Eropah, yang diresmikan tahun 2003 lalu, dibangun
oleh Jemaah Ahmadiah. Tentu saja kiblatnya menghadap ke arah Ka’bah di
Makkah Al-Mukarramah. Dengan kapsitas sebesar itu, mustahil kalau yang
salat berjamaah di sana, termasuk Salat Jumat, terbatas hanya dari
kalangan kaum muslimin Jemaah Ahmadiah saja.
Persoalannya sebenarnya sederhana saja. Kelompok pertama cenderung
mengemukakan perbedaan, sedangkan kelompok kedua cenderung melihat
persamaannya. Namun seperti saya kemukakan di atas, di kalangan kelompok
pertama jelas tidak sedikit memiliki pandangan yang terdistorsi terhadap
Ahmadiah.
Dengan demikian bagi kelompok pertama yang tetap berpendapat bahwa
Jemaah Ahmadiah menyimpang tentunya sah-sah saja. Apalagi pendapat ini
didukung jumhur ulama termasuk MUI, walaupun boleh ikut bangga bahwa ada
orang Islam yang memperoleh hadiah Nobel untuk fisika, yaitu Prof
Abusalam yang notabene seorang muslim Ahmadiah. Kalau mau disanggah,
seyogyanya sanggah saja penfasirannya.
Persoalannya, mengapa harus melakukan serangan fisik, merusak dan
berusaha membubarkan acara yang telah mendapat izin aparat keamanan?
Tindakan premanisme dan main hakim sendiri ini tidak saja harus dikutuk,
tetapi harus ditindak tegas dan tuntas oleh aparat penegak hukum, dan
para pelaku, utamanya mereka-mereka yang bertanggung jawab harus dihukum
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sekali ini dibiarkan, maka jangan
terkejut nanti akan ada korban-korban tindakan anarkis berikutnya dengan
dalih yang mereka ditetapkan sendiri.
Karena itu sikap Jemaah Ahmadiah Indonesia untuk tidak menyerah dan
melakukan perlawanan hukum terhadap tindakan main hakim sendiri ini
sangat tepat dan patut didukung. Apalagi penzaliman terhadap Jemaah
Ahmadiah di Republik tercinta ini bukan yang pertama kalinya.
Namun yang lebih gawat, tindakan-tindakan seperti ini hanya akan semakin
mencoreng wajah Islam dari sudut pandang orang-orang di luar Islam
sebagai agama yang cuma mengemukakan violent, ketidakrukunan dan
kebencian, bahkan sesama muslim sendiri. Belum kering rasanya tinta
Koran menulis konflik berdarah antara kelompok Sunni dan Syiah di
Pakistan muncul pula hal seperti di atas di Indonesia. Sepertinya
bencana tsunami dan berbegai kemelut dan derita tak tertahankan yang
dihadapi bangsa ini masih dianggap kurang apa?
Karena itu tidak mengherankan, ketika terjadi tragedi pemboman di
London, banyak orang---termasuk saya---yang secara otomatis berfikir,
ini pasti ulah jaringan Al-Qaidah.
Lalu akbibatnya tidak sulit diduga. Walaupun tudingan keterlibatan
Al-Qaidah masih harus diuji kebenarannya, mayoritas kaum muslimin di
Inggris atau di negara-negara barat lainnya yang tidak tidak punya
sangkut paut dengan terorisme dan berusaha untuk hidup damai sesuai
dengan tuntunan Islam yang bersumber dari---meminjam seorang netter di
milis Apakabar---‘authentic teaching of the Alquran’ akan kena getahnya.
Dan memang ternyata demikian seperti pemebakaran masjid di Inggris dan
serangan terhadap pusat-pusat Islam di Selandia Baru. Belum tahu lagi
serangan seperti apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya.
Dan ini hendaknya menjadi perhatian sungguh-sungguh dari seluruh umat
Islam utamanya para ulama dan tokoh-tokoh umat, terutama Bapak-Bapak di
MUI agar lebih mengemukakan kebersamaan serta bersikap tegas terhadap
tindakan-tindakan premanisme atas nama Islam yang justru mencemongi Islam.
Akhirnya saya berharap pendapat saya di atas tidak dijadikan polemik
---dan kalau ada nilainya---menjadi refleksi kita bersama.
Ya, apalah awak ini.
Wassalam, Darwin
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________