Seyogyanya kota Bukittinggi dikembalikan ke asal, yaitu menjadi bagian dari
wilayah Agam dan menjadi pusat perdagangan bagi Agam, dan trade-hub sumbar.





-----Original Message-----
From: Herman Jambak [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, February 15, 2005 7:59 PM
To: Mochtar Naim; Urangawak Milis; Surau; Forum Pembaca Kompas; Aktivis
Minang; Ranah Minang; Garuda Group Milis
Cc: Tularji Kontributor BI; Fasli KontributorPadek; RedakturPelaksana
PadangEkspres; Bisnis Indonesia; Fahmi Achmad Bisnis Indonesia; Ikhsan
Rosan; Yulhasnir; Venny Fetra; Yon Imron; Yose Kadrin; Timy S. Pulungan;
Suherman; Sutan Mantiko; Rudy Chatab; Oyong Muzammil; Nasrul Azwar; Mas Don;
Melda ZorraSurabaya; Lenggo; Lina Marlina Azwar; Ivan Minang; Ichwan Zahar;
Imelda Sari; Fauzi Djamaludin; Febrira Ghalib; Firman RM; Emmy30; Eva
Yunizar; didie chaniago; Daan Achmad; Beauty Vanderosa; Ali Akbar; AG
Chaniago
Subject: [GA-Groups] Re: Dirjen PUM Bermain Api





Dan alangkah feodalnya Dirjend. PUM yang memaksakan kehendak tanpa dasar,
dan lebih dari untuk kepentingan pihak-pihak tertentu nampaknya.

Ranah Minang yang saat ini bernama Sumatera Barat jangan sampai diacak-acak
oleh pihak luar, apalagi sampai terjual, cukup pengalaman pahit yang kita
alami pada semen padang.



Wassalam,

HeRMan Jambak

Jl.Nipah III No.2 Petogogan, Jakarta 12170

Mochtar Naim <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

DIRJEN PUM BERMAIN API

Mochtar Naim
Anggota DPD-RI dari Sumbar


SUDAH lama Bukittinggi sebagai kota perjuangan dan
kota pendidikan dan pariwisata sekarang ini ingin
hendak dimekarkan. Dari arealnya yang hanya sekitar 25
KM2 sekarang ini, dengan jumlah penduduk di bawah 100
ribu, dan kepadatan sekitar 70 orang/km2, oleh
pemerintah kota ingin hendak diluaskan sampai lima
kali lipatnya; yaitu dengan cara memasukkan
nagari-nagari sekitarnya ke dalam wilayah kota. Jika
itu terjadi maka persyaratan administratif kota
menurut aturan konvensional Depdagri terpenuhi kendati
kepadatan penduduk menurun dari 70 sampai hanya
sekitar 12 orang/km2.

Sebagai kota belanja, wisata dan pendidikan,
Bukittinggi menggelembung di siang hari, mengempis di
malam hari. Dua hari seminggu, Sabtu dan Rabu,
pasar-pasar membengkak, karena orang-orang dari daerah
sekitar membawa hasil bumi, berdagang dan berbelanja
ke Bukittinggi. Siklus pasar yang berputar terus dalam
seminggu-seminggunya dengan daerah-daerah pasar
sekitarnya menyebabkan hubungan sosial-ekonomi dengan
daerah-daerah sekitarnya itu merupakan mata-rantai
yang tak putus-putusnya, dan menjadikan Bukittinggi,
Payakumbuh, Padang Panjang, Batu Sangkar, dsb, sebagai
pusat jentera dari sistem pasar yang bersifat siklus
itu.

Seperti selama ini, di Bukittinggi berlaku adagium:
Bukittinggi koto rang Agam. Artinya, yang punya dan
menikmati Bukittinggi itu bukan hanya yang tinggal di
wilayah kota saja tetapi juga yang di sekitarnya.
Mereka yang tinggal di luar kota memanfaatkan kota
untuk mencari kehidupan, bersekolah, berbelanja,
pesiar, dsb. Pasar Bukittinggi yang ada sekarang ini
dulunya memang adalah pasar-serikat, milik bersama
orang Kurai (penduduk autokton Bukittinggi yang adalah
orang Agam) dan orang Agam dari daerah sekitar lainnya
itu.

Bagaimanapun, masa berubah. Di zaman di mana
semua-semua serba dipaksakan dari atas, khususnya
selama masa Orde Baru, tidak ada dari antara warga
yang bisa berkutik. Sabda ingkang-sinuhun pendita-ratu
dari pusat tidak boleh ditampik. Tetapi begitu situasi
berubah, nafiri Reformasi dibunyikan, rakyat dari 15
Nagari yang akan dimasukkan ke dalam kota itu pada
menyuarakan suara hatinya: Kami tidak mau masuk kota!
Maunya lalu apa? Maunya: Partnership! Kemitraan dan
kerjasama yang saling menguntungkan! Polanya,
katakanlah, mengikuti cara Yogya dan Sleman atau cara
Jabotabek. Dan pola itupun secara naluriah-alamiah
juga ada dalam tatanan adat dan budaya Minang sendiri
yang sangat menekankan kepada kebersamaan dan semangat
solidaritas sosial yang tinggi, seperti yang tercermin
dari siklus pasar itu; dan bukan individualisme dan
egosentrisme yang tinggi yang ditiupkan dari pusat
seperti sekarang ini.

Di Yogya tidak ada orang yang mempertanyakan apakah
kampus besar UGM dan bandara Adisucipto di Maguwo itu
letaknya di wilayah adminstratif kota Yogya, atau di
Sleman. Di Jakarta juga, apakah kampus besar UI di
Depok dan UIN di Ciputat serta bandara internasional
Sukarno-Hatta di Cengkareng, dsb, itu ada di Jakarta,
atau di wilayah kota Depok, dan di Kabupaten Tangerang
di Provinsi Banten, dsb. Tanpa perluasan wilayah
administratif kota, kegiatan kota boleh saja melimpah
dan mengembang keluar ke wilayah-wilayah sekitar
sambil ikut menikmati pemekaran kegiatan kota itu.
Yang terjadi lalu adalah: win-win solution, berbagi
rasa dan berbagi keuntungan maupun kerugian, antara
kota dan daerah sekitarnya.


Sekarangpun, di Bukittinggi sendiri, kegiatan kota
dan kehidupan yang bercorak kota telah melimpah dan
menjalar keluar kota; khususnya di sepanjang jalan
raya yang menghubungkan Bukittinggi dengan Padang
Panjang dan ke sananya ke Payakumbuh. Bahkan
belakangan, jalur Gadut yang menuju ke arah Medan pun,
juga mulai berkembang. Ini adalah pertumbuhan alami,
tanda kota hidup dan berkembang. Kendaraan publik
berupa taksi, oplet, dan bis tidak hanya ada di kota,
tetapi juga berseliweran ke luar kota. Malah
bank-bank, ruko-ruko, toserba, diler mobil, restoran,
kios kerupuk Sanjai dan makanan lokal terkenal lainnya
untuk dibawa jauh ke rantau, dan pusat pasar industri
konveksi Amor, yang semua terletak di luar batas kota,
di Kabupaten Agam, pada bertebaran, dan menjamur.
Malah rumah-rumah penduduk sampai jauh ke luar kota
sekalipun, terutama yang baru-baru, bentuk dan
kualitasnya tak jauh berbeda dengan yang di kota-kota,
yang sebagian besar adalah hasil jerih payah dari
rantau.


Bukittinggi sendiri, yang terletak di tengah-tengah
dataran tinggi Agam Tuo yang cantik-permai, dan
dikelilingi oleh bukit-bukit barisan dan disangga oleh
dua gunung pujaan: Merapi dan Singgalang, satu waktu
sudah bisa dibayangkan dari sekarang, seluruhnya akan
menjadi kota dalam artian moderen. Siapapun yang
berdiri di tempat ketinggian, di pinggang Merapi
ataupun Singgalang, akan melihat ke bawah, ke
Bukittinggi dan ke sekitar kuali dataran tinggi Agam
Tuo itu, adalah sebuah kota, yang di malam hari
bertaburan dengan lampu-lampu warna-warni bagaikan
galaksi bintang-bintang yang turun merayap ke bumi.

Adakah orang waktu itu masih mengimpikan bahwa
Bukittinggi akan seluas dataran tinggi Agam Tuo itu?
Secara sosio-kultural ya, dan pasti, tetapi secara
administratif pemerintahan, tidak. Orang-orang politik
dan pemerintahan, dan orang-orang yang hanya melihat
kota sebagai obyek rekayasa planologi perkotaan dalam
artian fisik dan obyek untuk mengaut pajak dan
retribusi bagi kepentingan kekuasaan dan kekayaan para
pejabat akan kecele bahwa konsep-konsep yang mereka
pakai sebenarnya telah ketinggalan jaman. Konsep
seperti itu tidak lagi diikuti di wilayah manapun di
dunia ini  kecuali di negara-negara totaliter seperti
di bawah rezim Suharto di masa Orde Baru lalu yang
secara sentripetal ingin hendak memaksakan kehendaknya
bagi sebuah kebesaran kota dan pemusatan kekuasaan dan
kekayaan bagi yang berkuasa. Di belahan dunia manapun
di dunia sekarang ini yang berlaku adalah hukum mata
rantai dari kota-kota yang menjurus ke arah
megalopolis, bukan pada pencaplokan wilayah sekitar
untuk diraup oleh kota-kota besar secara
administratif-pewilayahan.

Sebagaimana orang sekarang melihat mata rantai
megalopolis Boston-New York-Philadelphia-Washington,
ataupun Tokyo-Nagoya-Kyoto-Osaka-Kobe-Hiroshima, yang
tak putus-putusnya, demikian juga satu waktu orang
akan melihat mata rantai megalopolis Padang-Lubuk
Alung-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh, yang
kemudian juga bertali ke Batu Sangkar-Solok-Sawah
Lunto, dst.

Oleh karena itu konsep Orde Baru yang bersifat
sentripetal dan memaksakan, yaitu dengan mencaplok
daerah sekitar untuk dipaksa masuk ke dalam wilayah
kota, menjadi sangat kuno, ketinggalan jaman, dan
arkaik. Konsep PP 84 th 1999 mengenai perluasan kota
Bukittinggi yang konon ditandatangani oleh Habibie
sambil berada di atas mobil ketika ia sudah demisioner
dan hendak memberikan pertanggung-jawabannya di muka
MPR-RI di Senayan  dan yang payung hukumnya adalah UU
No. 22 th 1999 yang sekarang sudah dicabut --, PP 84
th 1999 itu sendirinya adalah cacad hukum, dan tidak
bisa dipakai lagi; sementara payung hukum pengganti
berupa UU no. 32 th 2004 itu PP penggantinya belum ada
dan masih harus dibuatkan.

Alangkah ceroboh dan tidak bijaksananya sang Dirjen
PUM dari Depdagri yang sekarang tahu-tahu ingin hendak
memaksakan kehendaknya untuk mempercepat terlaksananya
PP 84 th 1999 yang tidak lagi punya payung hukum dan
bahkan cacad hukum itu. Apalagi dengan dalih bahwa
Pilkada akan diadakan, di mana Walikota Bukittinggi
dan Bupati Agam dua-duanya juga akan diganti,
kelihatannya seperti mengada-ada. Sementara, Mendagri,
Dirjen PUOD dan Gubernur Sumbar sendiri sebelumnya
telah mengeluarkan amar bahwa tidak akan ada
pelaksanaan PP84 sampai waktu yang tidak ditentukan.
Ini dengan mengingat bahwa dalam masyarakat sendiri
telah timbul perpecahan dan perbedaan pendapat yang
cukup gawat dan menggelisahkan. Protes-protes berupa
demonstrasi, unjuk rasa, pernyataan politik di
surat-surat kabar, dan melalui seminar dan
pertemuan-pertemuan, dsb, dari penduduk dari ke 15
Nagari yang semuanya tidak menginginkan masuk kota,
baik yang berada di kampung maupun di perantauan,
telah santer disuarakan.

Sikap yang ceroboh dan tidak bijaksana dari Dirjen
PUM itu hanya akan mengingatkan orang pada politik
membelah betung tetapi dengan tujuan sesungguhnya
untuk membuktikan kepada publik bahwa daerah
sebenarnya belum matang untuk berotonomi, dan
karenanya pusat harus turun tangan untuk mengambil
alih persoalan. Pusat melalui campur tangan Dirjen PUM
ini kelihatannya ingin bermain api. Bupati Agam bahkan
dipaksa untuk membubuhkan tandatangannya pada Notulen
acara pertemuan beberapa saat yl di Depdagri, Jakarta,
dengan diberi waktu dalam waktu seminggu. Acara itu
diadakan dengan fokus tunggal satu-satunya, yaitu
dalam rangka mempercepat pelaksanaan PP84 th 1999,
yang sandarannya adalah pada UU No. 22 th 1999 yang
telah almarhum itu. Hal ini pasti ada apa-apanya;
berudang di balik batu.

Pada hal Bupati sendiri tidak hadir dalam pertemuan
itu, karena pada waktu yang sama Bupati harus
menghadiri penyerahan sertifikat penghargaan di istana
negara. Notulen yang isinya konon berbeda dengan
jalannya pembicaraan di persidangan ditandatangani
oleh semua yang hadir kecuali oleh Wakil Bupati Agam
yang hadir mewakili Bupati.

Sebagai rentetan akibatnya, begitu sampai kembali
di Lubuk Basung (ibukota Kabupaten Agam), Bupati dan
jejerannya, pimpinan DPRD Agam dan seluruh anggota,
lalu para Wali Nagari dan pemuka masyarakat dari ke 15
Nagari yang seluruhnya menolak masuk kota itu, semua
pada menyatakan kebulatan tekad untuk tetap menolak
masuk kota. Sebaliknya, mereka menerima konsep
membangun kota dan nagari-nagari sekitar secara
bersama-sama tanpa ada batu sepadan yang dialih.

Apakah artinya ini? Dan inikah sesungguhnya yang
dimaui oleh Dirjen PUM, di mana api yang sudah mulai
redup lalu mau dimarakkan kembali? Yang jelas, dengan
perubahan UU No. 22 th 1999 ke UU No. 32 th 2004,
makin terlihat kecenderungan involusioner dari pusat
untuk kembali memperlakukan daerah berada di bawah
ketiak pusat dan memperlakukan otonomi daerah dengan
setengah hati. ***



Balik Papan, 12 Februari 2005


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

  _____

Do you Yahoo!?
Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'
<http://us.rd.yahoo.com/evt=30648/*http://movies.yahoo.com/movies/feature/ji
bjabinaugural.html>

____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke