Re: [Re: Kisah Haji Ong Keng Heng]

1999-10-22 Terurut Topik Hadi Wijaja

 maafkan pengetahuan saya yang dangkal.  Kalau enggak salah RRCina
mempunyai
 400 juta jiwa penduduk beragama Islam (2xjumlah penduduk Indonesia).  Jadi
 memang di RRCina itu agama Islam mempunyai peranan yang sanagat kuat.

maafkan juga, kalau yang saya tau, muslim di china ada 5%, jadi belum sampai
100 juta.
Kebanyakan muslim adalah penduduk di Uighur, dan daerah-daerah lain yang
berbatasan dengan negara islam.

regards
HADI



Re: [Re: [Re: Kisah Haji Ong Keng Heng]]

1999-10-22 Terurut Topik Rizal Az

ralat:
sunan yang tersebut di bawah, dan beberapa lagi, MEMANG bukan orang indonesia,
mereka asli dari china atau kamboja

ichal

Rizal Az [EMAIL PROTECTED] wrote:
Tapi para sunan yang tersebut di bawah memang bukan orang cina dan kamboja
(daerah seperti itulah)

ichal

Faransyah Jaya [EMAIL PROTECTED] wrote:
Nah kalo begini sumber mana yang lebih dipercaya.
dari daerah saya sendiri, diceritakan bahwa penyebaran agama islam dilakukan
oleh pedagang2 arab.

Faran
--

On Wed, 20 Oct 1999 16:57:40   Jeffrey Anjasmara wrote:
Saya kecewa dengan pernyataan Bung Budi dari UCLA. Masih banyak keluarga
yang memegang track record silsilah keluarga. Jadi berlebihan kalau anda
mengesankan hal seperti ini adalah isapan jempol (dg mengaitkan dg Koo Ping
Hoo).

Dari catatan sejarah, Sunan Giri dan Sunan Ampel adalah asli dari Cina.
Selain Raden Patah, saya pernah baca bahwa Sultan Trenggono juga separuh
Cina.

Di bawah ini saya ambil dari simpanan saya (harian Suara Merdeka).


'-
Kisah Haji Ong Keng Heng

KEBERADAAN orang Tionghoa atau hwa kiauw(orang-orang Tionghoa yang merantau)
di Indonesia, ternyata tidak hanya untuk berdagang. Tetapi juga ada yang
melakukan pembauran dan kegiatan penyebaran agama. Seperti yang dituturkan
oleh pengamat budaya Tionghoa, Budi Haliman
Halim, hwa kiau berada di Nusantara mungkin sudah sejak abad ke-1.

"Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya ukiran batu zaman Han Wu Ti (104 -
117 SM) oleh seorang antropolog Belanda, Heine Geldern, di daerah Pasemah
(Sumatera Selatan). Kemudian ditemukan lagi oleh seorang Belanda bernama
Orsey Deflines barang keramik yang juga dibuat
pada zaman Han Wu Ti, di daerah Banten, Jawa Barat,'' tutur Budi Haliman.

Pengamat budaya Tionghoa itu lantas menceritakan peran orang-orang Tionghoa
dalam perkembangan Islam di Indonesia, yang dinilainya sangat penting untuk
diketahui generasi muda sekarang. Sebab, sejarah peran Tionghoa dalam
perkembangan Islam di Indonesia berkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah masa
lampau.

Ia memberikan sekelumit contoh dari peran orang-orang Tionghoa dalam
perkembangan Islam di negeri ini. Diungkapkannya, setelah Kaisar Ming Dai
Tju (Tju Gwan Tjiang) meninggal pada tahun 1398 M dan diganti cucunya, Hwie
yang bertahta dari tahun 1399-1402 M. Kemudian tahun
1403 diteruskan kakak keponakan Tju Tie dengan gelar Kaisar Ming Djen Tju
pada Yong Lok, tahun pertama itu pemerintahnya mengadakan hubungan ke luar.

Pada tahun Yong Lok ketiga, tahun 1405-1433 M, dalam waktu 28 tahun Ce Hoo
(Sampoo Tay Jien/Dampo Awang) diperintahkan berlayar
dengan membawa barang dagangan serta mengadakan hubungan diplomatik ke-32
negara.

Lawatan pertama, memakai 62 kapal. Setelah hubungannya bertambah luas, alat
transportasinya ditambah hingga 100-200 kapal yang dapat memuat
27.000-28.000 orang. Penumpangnya terdiri atas dokter, penulis, dan
prajurit.

Sampoo Tay Jien berlayar sebanyak tujuh kali. Yaitu, pada tahun
1405-1407 datang di Palembang dan Jawa Timur. Pada tahun 1407-1409 juga
datang di Pelembang dan Jawa Timur.

Pelayarannya yang ketiga tahun 1411, dan keempat menuju ke Persia serta
Afrika Timur.

Selanjutnya, tahun 1416-1417 menuju Semarang, dan yang keenam, tahun 1421.
Pada pelayarannya keenam, saat dia pulang dari kegiatan melakukan hubungan
dengan negara luar, Kaisar Ming Jen Cu meninggal (1424).

Haji Gan Eng Dju

Akibat kegiatannya yang begitu padat, Sampoo Tay Jien tidak menghiraukan
kesehatannya, dan meninggal pada usia 61 tahun,
yaitu tahun 1433. Hingga sekarang belum ada yang tahu di mana makam Sampoo
Tay Jien. Setelah Sampoo Tay Jien meninggal, tahun 1433 atau 1434, para
tokoh dari Tiongkok atau hwa kiauw aktif menyebarkan agama Islam dan
melakukan pembauran. Mereka terdiri atas sejumlah orang yang telah naik
haji.

Di antaranya Haji Gan Eng Dju, Pang Swie Hoo, Pang Tek Geng, dan
Sun Liong. Salah satu di antaranya, Sun Liong, merupakan ayah angkat Tan Bun
atau yang dikenal dengan nama Raden Patah.

Menurut Sanusi Pane dalam bukunya Sejarah Indonesia, ayah Raden
Patah adalah Raja Brawijaya. Ibu kandungnya yang asli Tiongkok
bermarga Tan, karena itu nama depan Raden Patah diawali dengan Tan.

Setelah dewasa, tahun 1520, oleh ayahnya dia diangkat menjadi
bupati di Demak. Dan saat Kerajaan Majapahit runtuh, pada tahun
1575 Raden Patah mendirikan negara Islam di Demak. Selanjutnya
bergabung dengan Jawa Timur.

Melalui berbagai pengamatan, dikatakan, Islam masuk Indonesia
pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Waktu itu, jumlah
penganut agama Islam masih sedikit. Setelah Sampoo Tay Jien
datang, pada abad 15 dan 16 perkembangan agama Islam maju pesat
dan menyebar secara luas.

Islam di Semarang

Pada pelayaran kelima, tahun 1416 (ada yang mengatakan tahun 1417), Cen Hoo
atau Sampoo Tay Jien datang ke Semarang lewat pelabuhan Mangkang atau
Simongan, dan mendarat di Gedung Batu, bersama Kiai Juru Mudi (Ong Keng
Heng).

Setelah Sampoo Tay Jien meninggal, Ong Keng Heng diperintahkan melakukan
misinya ke Sumatera. Namun,