*Gaji Guru Masuk Anggaran Pendidikan
Putusan MK:
*[20/2/08] *http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18593&cl=Berita*
**
*Hakim Konstitusi Prof. Mukhtie Fadjar menganggapnya sebagai siasat
konstitusional yang menyesatkan.*

 Upaya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memenuhi perintah
alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD semakin mudah.
Kalau selama ini, gaji tenaga pendidik dikecualikan dari prosentase anggaran
tersebut, kini berlaku sebaliknya. Dalam putusan yang final dan mengikat,
Mahkamah Konstitusi memutuskan gaji pendidik harus dihitung sebagai bagian
dari anggaran pendidikan.



Putusan itu diambil dalam sidang Mahkamah Konstitusi yang berlangsung Rabu
(20/2). Mahkamah memutuskan frase 'gaji pendidik dan' dalam Pasal 49 ayat
(1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal yang diuji
menyebutkan: *"Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)"*.



Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Natabaya, Mahkamah
mengatakan UU Sisdiknas, Pasal 1 angka 3, menentukan bahwa sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk
gaji pendidik. Ketentuan Pasal 49 ayat (1) yang memisahkan gaji guru dari
anggaran pendidikan dinilai membuat tak konsistennya UU Sisdiknas.



Selain itu, lanjut Natabaya, rumusan Pasal 49 ayat (1) telah mempersempit
makna filosofis Pasal 31 ayat (4) UUD'45, yang seharusnya tidak boleh
dilakukan. "Mengingat UUD'45 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan
negara," ujarnya.



Sekedar mengingatkan, Pasal 31 ayat (4) itu menyatakan *"Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".*

* *

"Tanpa meragukan maksud baik pembentuk UU yang berniat mendorong peningkatan
anggaran pendidikan. Namun, maksud tersebut seharusnya tidak dirumuskan
dalam rumusan kaidah yang justru memuat penafsiran yang mengandung
pengingkaran terhadap hakikat pendidikan karena dikeluarkannya salah satu
komponen utama pendidikan yakni pendidik," jelas Natabaya.



Ketua PB PGRI Aziz Husein merasa kecewa atas putusan Mahkamah. Masuknya gaji
pendidik ke dalam anggaran pendidikan, dikhawatirkan pemerintah tak akan
lagi terdesak untuk memikirkan pendidikan di Indonesia. Sebagai gambaran,
saat ini, anggaran pendidikan di luar gaji pendidik masih berkisar 11,8%.
Kslsu gaji pendidik atau guru dimasukkan berarti anggaran pendidikan sudah
mencapai 18%. Pemerintah tinggal menambah 2% saja. "Lalu bagaimana dengan
sekolah yang rusak serta anak-anak yang putus sekolah?" tanyanya.



Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof. Sudiarto berpendapat
senada dengan Aziz. Sudiarto menilai tak adanya kemauan politik pemerintah
untuk melaksanakan ketentuan UUD'45 secara jujur. "Dengan putusan ini,
kualitas pendidikan Indonesia akan tetap status quo," ujarnya. "Anak yang
tak sekolah akan tetap tak sekolah. Dan sekolah yang rusak akan tetap
rusak," tambahnya.



Elsa Syarif, selaku kuasa hukum pemohon, mengkritik cara berpikir seperti
itu. "Mereka memikirkan komponen fisik seperti gedunng. Tapi, manusia
(pendidik,red) tak makan mereka tak pikirkan," ujarnya. "Dalam kondisi
negara seperti ini, mana yang harus kita dahulukan, pilih fisik atau
manusianya," tegasnya.



Harapan dua orang pemohon, Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai, yang
berprofesi sebagai pendidik memang dengan dimasukannya komponen gaji
pendidik ke dalam anggaran pendidikan akan menguntungkan pemohon.
"Kesejahteraan guru akan naik," harapan mereka.



Sayangnya, Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar tak melihat demikian. Menurutnya,
profesi guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah berlaku seperti Pegawai
Negeri Sipil (PNS) pada umumnya. "Gajinya diatur tersendiri dalam Peraturan
Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS)," tambahnya.



Putusan ini pun akan semakin rancu bila dikaitkan dengan UU No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Bila mengacu pada putusan itu, maka seluruh gaji
pendidik baik PNS maupun guru swasta akan ditanggung APBN atau APBD. "UU
Guru dan Dosen menyatakan gaji pendidik dari lembaga pendidikan yang
didirikan oleh masyarakat dibayar oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Bukan dari APBN atau APBD," jelas Mukhtie.



Karenanya, Mukhtie menilai tidak ada satu pun hak konstitusional pemohon
yang dilanggar. Ia pun seperti tak habis pikir dengan apa yang dilakukan
oleh dua pemohon yang berprofesi sebagai guru dan dosen. "Entah bisikan apa
yang menggelitik telinga dua guru selaku pemohon," katanya.



*Dissenting opinion yang emosional*

Mukhtie bersama dengan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Harjono
merupakan tiga hakim yang mengeluarkan *dissenting opinion *atau pendapat
berbeda dalam putusan ini. Namun, *dissenting opinion* Mukhtie terasa lebih
emosional. Kata pembukaan *dissenting opinion*nya pun tersirat kekecewaan
mendalam terkait putusan ini.



"Guru yang tidak memihak nasib guru" demikian kata pembukanya. Entah, apa
yang dimaksud oleh pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini terkait
pernyataan tersebut. Apakah itu menggambarkan dirinya, yang tak setuju
dengan isi permohonan dua orang guru tersebut. Atau Mukhtie ingin mengkritik
koleganya di MK, yang mayoritas juga sebagai dosen, yang telah memutus
perkara yang sangat mengecewakan PGRI.



Apapun maksudnya, tampaknya Mukhtie kecewa dengan putusan ini. Ia bahkan
secara tegas mengkritik pertimbangan hukum pendapat mayoritas hakim. Majelis
hakim konstitusi  berpendapat dengan dimasukan gaji pendidik ke dalam
anggaran pendidikan, pemenuhan alokasi minimal 20% dari APBN akan segera
terpenuhi. Tak ada lagi pelanggaran konstitusi oleh pemerintah dan DPR dalam
menetapkan UU APBN.



"Bahwa pengabulan permohonan ini dengan dalih agar ketentuan Pasal 31 ayat
(4) UUD 1945 terpenuhi, sungguh suatu 'penyesatan' konstitusional yang
menyesatkan," kritiknya. "Maka, bersiaplah para pendidik untuk meneteskan
air mata dan lagu 'himne guru' sekedar sebuah nyanyian yang mengharu biru,"
ujarnya emosional.



*Dua perspektif berbeda*

Berdasarkan penelusuran *hukumonline*, peluang dikabulkannya permohonan ini
memang cukup besar. Ketua MK Jimly Asshiddiqie sempat mengeluarkan wacana
seperti apa yang diajukan dalam permohonan pemohon. Kala
itu<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16659&cl=Berita>,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah baru akan mampu memenuhi
anggaran pendidikan 20% lima sampai enam tahun ke depan. Jimly pun meminta
pemerintah untuk mencari formula baru.



Formula baru, yang dimaksud Jimly adalah dengan memasukan gaji pendidik dan
pendidikan kedinasan ke dalam anggaran pendidikan. Memang, saran Jimly
tersebut lebih kepada revisi UU Sisdiknas. "Kesetiaan kepada kesepakatan
tertinggi jauh lebih penting daripada persoalaan angka," ucap Jimly yang
menggunakan perspektif hukum tata negara.



Sedangkan, rekannya, Mukhtie jelas lebih mengedepankan kepentingan
pendidikan. Toh, selama ini yang melanggar konstitusi dengan menetapkan
anggaran pendidikan dibawah 20% adalah pemerintah dan DPR, bukan MK.





*(Ali)*


-- 
Best regards,
Sulistiono Kertawacana

Kirim email ke