Mungkin pengadilan ada benarnya juga. Penulis tidak harus hati-hati juga, asal
opini diungkakan dengan bahasa yang santun, analisis berdasarkan fakta obyektif
dan analisis yang argumentatif. Demokrasi atau kebebasan pers juga ada etika
dan aturan main. Kalau tidak akan jadi demo-crazy.
dendi
Sulistiono Kertawacana [EMAIL PROTECTED] wrote:
hati2 kalo menulis di media massa.hehhee
Penulis Opini di Media Massa Bisa Dikriminalisasi
[20/2/08]
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18591cl=Berita
Hakim menyatakan si penulis opini terbukti menghina institusi Kejaksaan. Tak
ubahnya seperti iklan yang menyesatkan konsumen.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menghukum wartawan senior Bersihar
Lubis satu bulan penjara dan membayar biaya perkara. Namun, Bersihar tidak
perlu menjalani hukuman itu kecuali dalam waktu tiga bulan ke depan melakukan
tindak pidana yang sama.
Putusan tersebut dibacakan majelis hakim dipimpin Suwidya dalam sidang yang
dipadati pengunjung, Rabu (20/2) siang. Penulis opini tetap punya tanggung
jawab secara pribadi atas tulisannya, papar majelis.
Dalam pandangan majelis, penulisan opini berbeda dengan penulisan berita
biasa. Kalau dalam berita biasa, seorang wartawan harus cover both sides dan
harus memenuhi kaedah jurnalistik. Sementara dalam penulisan kolom si penulis
bisa menuangkan apa saja. Sekalipun sebuah kolom opini atau artikel ditulis
seorang wartawan dan pemuatannya tergantung kebijakan redaksi surat kabar, si
penulis tetap tak bisa melepaskan tanggung jawab. Apalagi nama dan identitas
penulis kolom tercantum dengan jelas.
Majelis hakim membandingkan dengan iklan di koran yang merugikan konsumen.
Dalam kasus semacam ini, bukan media tempat pemuatan iklan itu yang
dipersalahkan, melainkan pihak yang membuat iklan menyesatkan tersebut. Atas
dasar pemikiran itulah antara lain yang membuat majelis sepakat memvonis
Bersihar Lubis satu bulan penjara.
Bersihar dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan menghina suatu penguasa umum,
dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ia dijerat dengan pasal 207 KUHP. Perkara yang
menyeret Bersihar adalah kolomya di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Di
sana ia menulis kolom berjudul 'Kisah Interogator yang Dungu'.
Kolom itu pada dasarnya merupakan kritik penulis terhadap kebijakan Kejaksaan
Agung yang melarang peredaran buku-buku sejarah. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan
memang melarang edar buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI dalam uraian
peristiwa pemberontakan komunias 1965, yang kemudian dikenal sebagai G.30.S.
Dalam tulisannya, Bersihar merujuk pidato Yusuf Isak dalam acara Hari Sastra
Indonesia di Paris pada Oktober 2004. Dalam pidatonya, Yusuf menguraikan saat
dirinya diperiksa aparat Kejaksaan terkait penerbitan buku-buku sastrawan
Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya berbahasa Inggris, Yusuf menyebutkan
kata-kata idiot. Dari situlah Bersihar menggunakan kata dungu. Yusuf sendiri
menjadi saksi dalam perkara ini. Dalam kesaksiannya, Yusuf membenarkan pernah
diinterogasi aparat Kejaksaan, tetapi membantah telah dianiaya. Ia juga tidak
ingat apakah pernah mengucapkan kata-kata interogator dungu untuk menyebut
interogator yang tidak tahu buku-bukunya Pramoedya.
Kata 'dungu' menurut majelis lebih berat artinya dari sekedar bodoh. Tidak
tahu buku-buku Pramoedya bukan berarti bisa disebut dungu. Menurut majelis,
Bersihar bukan saja mengutip kata-kata Yusuf Ishak tetapi sudah menambahkan
dengan kata-kata baru. Karena itu, unsur dengan sengaja dan unsur menghina
suatu penguasa umum terbukti. Majelis juga berpendapat, UU No. 40/1999 tentang
Pers tidak bisa diterapkan dalam perkara ini.
Bersihar dan tim kuasa hukumnya dari LBH Pers mengecam putusan majelis. Abu
Said Pelu, anggota tim pengacara, sempat interupsi sebelum hakim Suwidya
mengetok palu akhir sidang. Abu Said menilai vonis majelis telah merobek-robek
rasa keadilan dan kebebasan pers. Olah karena itu, mereka memastikan mengajukan
banding.
Pengamat pers Abdullah Alamudi juga ikut mengecam. Sebab, putusan majelis
menjadi ancaman bagi kebebasan menyampaikan pendapat. Orang yang ikut
menuangkan pikiran ke dalam kolom atau artikel di media massa akan berpikir dua
kali karena bisa saja terancam kriminalisasi, seperti yang dialami Bersihar.
Agenda sidang pembacaan vonis itu diwarnai aksi damai sejumlah wartawan dan
pemerhati pers. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, berharap Bersihar
dibebaskan. Jangan sampai vonis majelis hakim menabrak Konstitusi.
(Mys)
--
Best regards,
Sulistiono Kertawacana
-
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.