[proletar] Biarkan Tuhan Beristirahat dalam Damai oleh: Audifax

2006-01-02 Terurut Topik Vincent Liong
BIARKAN TUHAN BERISTIRAHAT DALAM DAMAI
 
OLEH:
AUDIFAX
Penulis buku “Mite Harry Potter” (2005, Jalasutra)
 
 
There is no good and evil,
 there is only power,
and those too weak to seek it.
(Lord Voldemort)
 
Jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi
kesempatan beristirahat dalam kedamaian, maka sosok
itu tak lain adalah Tuhan. Ya! Tuhan, entah sejak
berapa ribu tahun lampau telah diseret kesana kemari
untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan,
pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai
pengadilan dan hal-hal nirhumanitas dalam kehidupan
manusia. Bahkan, Tuhan tak hanya banyak diseret-seret
dalam peristiwa skala besar seperti pengeboman,
peperangan antar bangsa, perang agama, namun juga
dalam peristiwa keseharian seperti relasi perkawinan,
pertemanan, politik kampus, diskusi di milis, atau
lebih sederhana lagi seperti memberi ucapan Selamat
Hari Raya antara satu umat dengan umat lain. Betapa
melelahkan diseret kesana kemari selama ribuan tahun
untuk berbagai persoalan yang semestinya bukan Dia
yang bertanggungjawab. Lebih penting lagi, betapa
rendahnya mahkluk yang menyeret Tuhan kesana kemari
sekedar untuk menutupi ketakberanian bertanggungjawab
atas hidup sendiri.
 
Dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan banalitas
kepentingan yang diatasnamakan Tuhan. Padahal jika
semua selimut berlogo Tuhan itu disingkap, maka akan
tampak bahwa semuanya bermuara pada pemuasan hasrat
manusia. Berbagai macam hasrat: hasrat menguasai,
hasrat seksual, hasrat dihormati, hasrat dikenal orang
banyak, hasrat membenarkan diri, dan hasrat-hasrat
lain. Inilah titik di mana metafisika Cartesian dengan
Cogito ergo sum-nya, meregang nyawa. Manusia sama
sekali bukan mahkluk berakal budi seperti
digembar-gemborkan dalam berbagai ajaran filsafat,
agama atau pelajaran-pelajaran sekolah. Manusia adalah
mahkluk berhasrat. Hasrat, meski idiosinkretis namun
mampu mengambil bentuk pertama kausalitas perilaku
manusia. Karena sifabta yang nomotetis, akal budi
membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus untuk
menentukan kehendak manusia, sedangkan hasrat yang
idiosinkretis tidak.
 
Ironisnya, sebelum Nietzche, hasrat tak pernah
disentuh dalam penjelasan-penjelasan baik dalam
filsafat maupun agama, yang justru didominasi
penjelasan iman, akal budi (rasio) sebagai causa prima
perilaku manusia. Beberapa pemikiran bahwa ikut
menyeret-nyeret Tuhan sebagai causa prima perilaku
manusia. Sejak awal hasrat tak pernah disayang oleh
filsafat dan agama. Sejak Plato, hasrat senantiasa
dicurigai sebagai fakultas minor yang mengakibatkan
kesesatan berpikir yang bermuara distorsi
epistemologis serta kesesatan bertindak yang bermuara
pada distorsi etis. Agama, menganggap hasrat sebagai
sumber dosa yang harus dijauhi. Oleh karenanya,
filsafat sejak semula menempatkan akal budi di tempat
yang paling mulia sementara agama mengagungkan iman
sebagai yang paling berharga dalam hidup manusia. Akal
budi dan iman, dalam perkembangannya bergantain
menempati fakultas kudus yang bisa menembus kemayaan
dan menemukan logos. Hasrat dianggap hanya
menghasilkan tipuan. Dalam sebuah tulisannya. Donny
Gahral Adian mengatakan bahwa layaknya Buddhisme,
filsafat pun bersabda, “tanggalkan hasrat dan temukan
kebenaran!”
 
Hingga kemudian muncullah Friedrich Nietzche yang
mengobrak-abrik segala bentuk logosentrisme yang
membuat manusia tak menyadari peran besar hasrat dalam
hidupnya. Nietzsche datang membawa kabar buruk bagi
pecinta akal budi dan iman. Baginya, akal budi dan
iman adalah jejadian dari sentimen manusia yang
namanya kecemasan. Manusia cemas bersemayam di dunia
ketakpastian. Ia memerlukan pegangan. Segala prinsip
utama adalah wujud hasrat untuk berkuasa yang
mengambil bentuk lebih tajam dalam kehendak. Bagi
Nietzche, hasrat adalah daya pendorong dalam diri
manusia. Hal-hal yang mengatasnamakan Tuhan hanyalah
lapisan atas untuk menutupi hidup manusia yang
hasrati. Dalam banyak konteks, keduanya saling
bertentangan. Segala hasrat yang ditutupi, akhirnya
akan menampilkan diri sebagai bayangan, karena menjadi
terlalu lemah untuk memeroleh pemuasannya. Bayangan
inilah yang kemudian menyertai hidup manusia.
 
Berdasarkan pandangan itu, Nietzche mengajarkan adanya
dua moral, yaitu: moral tuan dan moral budak.
Pengertian kata “baik” mempunyai dua arti yang
berlainan sama sekali. Bagi sang Tuan “baik” adalah
perasaan jiwa yang tinggi, bangga, megah dan hal lain
yang senada; sedangkan bagi sang budak “baik” adalah
apa yang damai, yang tidak merugikan, yang menaruh
belas kasihan, dan hal sejenisnya. Yang disebut
“jahat” oleh Sang Tuan adalah apa yang berlaku umum,
biasa, tak bernilai; sedangkan bagi budak “jahat”
adalah segala sesuatu yang menonjol, melebihi kawanan
seluruhnya, yang menjadi luar biasa, yang tidak dapat
diperhitungkan, yang berbahaya dan hal lain
sejenisnya.
 
Pemberontakan moral budak dimulai dari bangsa Yahudi.
Para Nabi Yahudi telah meluluhkan pengertian:
kekayaan, kekuasaan, nafsu, hasrat dan sejenisnya.
Semua pengertian itu telah 

[proletar] Biarkan Tuhan Beristirahat dalam Damai oleh: Audifax

2006-01-02 Terurut Topik Vincent Liong
BIARKAN TUHAN BERISTIRAHAT DALAM DAMAI
 
OLEH:
AUDIFAX
Penulis buku “Mite Harry Potter” (2005, Jalasutra)
 
 
There is no good and evil,
 there is only power,
and those too weak to seek it.
(Lord Voldemort)
 
Jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi
kesempatan beristirahat dalam kedamaian, maka sosok
itu tak lain adalah Tuhan. Ya! Tuhan, entah sejak
berapa ribu tahun lampau telah diseret kesana kemari
untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan,
pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai
pengadilan dan hal-hal nirhumanitas dalam kehidupan
manusia. Bahkan, Tuhan tak hanya banyak diseret-seret
dalam peristiwa skala besar seperti pengeboman,
peperangan antar bangsa, perang agama, namun juga
dalam peristiwa keseharian seperti relasi perkawinan,
pertemanan, politik kampus, diskusi di milis, atau
lebih sederhana lagi seperti memberi ucapan Selamat
Hari Raya antara satu umat dengan umat lain. Betapa
melelahkan diseret kesana kemari selama ribuan tahun
untuk berbagai persoalan yang semestinya bukan Dia
yang bertanggungjawab. Lebih penting lagi, betapa
rendahnya mahkluk yang menyeret Tuhan kesana kemari
sekedar untuk menutupi ketakberanian bertanggungjawab
atas hidup sendiri.
 
Dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan banalitas
kepentingan yang diatasnamakan Tuhan. Padahal jika
semua selimut berlogo Tuhan itu disingkap, maka akan
tampak bahwa semuanya bermuara pada pemuasan hasrat
manusia. Berbagai macam hasrat: hasrat menguasai,
hasrat seksual, hasrat dihormati, hasrat dikenal orang
banyak, hasrat membenarkan diri, dan hasrat-hasrat
lain. Inilah titik di mana metafisika Cartesian dengan
Cogito ergo sum-nya, meregang nyawa. Manusia sama
sekali bukan mahkluk berakal budi seperti
digembar-gemborkan dalam berbagai ajaran filsafat,
agama atau pelajaran-pelajaran sekolah. Manusia adalah
mahkluk berhasrat. Hasrat, meski idiosinkretis namun
mampu mengambil bentuk pertama kausalitas perilaku
manusia. Karena sifabta yang nomotetis, akal budi
membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus untuk
menentukan kehendak manusia, sedangkan hasrat yang
idiosinkretis tidak.
 
Ironisnya, sebelum Nietzche, hasrat tak pernah
disentuh dalam penjelasan-penjelasan baik dalam
filsafat maupun agama, yang justru didominasi
penjelasan iman, akal budi (rasio) sebagai causa prima
perilaku manusia. Beberapa pemikiran bahwa ikut
menyeret-nyeret Tuhan sebagai causa prima perilaku
manusia. Sejak awal hasrat tak pernah disayang oleh
filsafat dan agama. Sejak Plato, hasrat senantiasa
dicurigai sebagai fakultas minor yang mengakibatkan
kesesatan berpikir yang bermuara distorsi
epistemologis serta kesesatan bertindak yang bermuara
pada distorsi etis. Agama, menganggap hasrat sebagai
sumber dosa yang harus dijauhi. Oleh karenanya,
filsafat sejak semula menempatkan akal budi di tempat
yang paling mulia sementara agama mengagungkan iman
sebagai yang paling berharga dalam hidup manusia. Akal
budi dan iman, dalam perkembangannya bergantain
menempati fakultas kudus yang bisa menembus kemayaan
dan menemukan logos. Hasrat dianggap hanya
menghasilkan tipuan. Dalam sebuah tulisannya. Donny
Gahral Adian mengatakan bahwa layaknya Buddhisme,
filsafat pun bersabda, “tanggalkan hasrat dan temukan
kebenaran!”
 
Hingga kemudian muncullah Friedrich Nietzche yang
mengobrak-abrik segala bentuk logosentrisme yang
membuat manusia tak menyadari peran besar hasrat dalam
hidupnya. Nietzsche datang membawa kabar buruk bagi
pecinta akal budi dan iman. Baginya, akal budi dan
iman adalah jejadian dari sentimen manusia yang
namanya kecemasan. Manusia cemas bersemayam di dunia
ketakpastian. Ia memerlukan pegangan. Segala prinsip
utama adalah wujud hasrat untuk berkuasa yang
mengambil bentuk lebih tajam dalam kehendak. Bagi
Nietzche, hasrat adalah daya pendorong dalam diri
manusia. Hal-hal yang mengatasnamakan Tuhan hanyalah
lapisan atas untuk menutupi hidup manusia yang
hasrati. Dalam banyak konteks, keduanya saling
bertentangan. Segala hasrat yang ditutupi, akhirnya
akan menampilkan diri sebagai bayangan, karena menjadi
terlalu lemah untuk memeroleh pemuasannya. Bayangan
inilah yang kemudian menyertai hidup manusia.
 
Berdasarkan pandangan itu, Nietzche mengajarkan adanya
dua moral, yaitu: moral tuan dan moral budak.
Pengertian kata “baik” mempunyai dua arti yang
berlainan sama sekali. Bagi sang Tuan “baik” adalah
perasaan jiwa yang tinggi, bangga, megah dan hal lain
yang senada; sedangkan bagi sang budak “baik” adalah
apa yang damai, yang tidak merugikan, yang menaruh
belas kasihan, dan hal sejenisnya. Yang disebut
“jahat” oleh Sang Tuan adalah apa yang berlaku umum,
biasa, tak bernilai; sedangkan bagi budak “jahat”
adalah segala sesuatu yang menonjol, melebihi kawanan
seluruhnya, yang menjadi luar biasa, yang tidak dapat
diperhitungkan, yang berbahaya dan hal lain
sejenisnya.
 
Pemberontakan moral budak dimulai dari bangsa Yahudi.
Para Nabi Yahudi telah meluluhkan pengertian:
kekayaan, kekuasaan, nafsu, hasrat dan sejenisnya.
Semua pengertian itu telah