[proletar] Biarkan Tuhan Beristirahat dalam Damai oleh: Audifax
BIARKAN TUHAN BERISTIRAHAT DALAM DAMAI OLEH: AUDIFAX Penulis buku Mite Harry Potter (2005, Jalasutra) There is no good and evil, there is only power, and those too weak to seek it. (Lord Voldemort) Jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi kesempatan beristirahat dalam kedamaian, maka sosok itu tak lain adalah Tuhan. Ya! Tuhan, entah sejak berapa ribu tahun lampau telah diseret kesana kemari untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan, pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai pengadilan dan hal-hal nirhumanitas dalam kehidupan manusia. Bahkan, Tuhan tak hanya banyak diseret-seret dalam peristiwa skala besar seperti pengeboman, peperangan antar bangsa, perang agama, namun juga dalam peristiwa keseharian seperti relasi perkawinan, pertemanan, politik kampus, diskusi di milis, atau lebih sederhana lagi seperti memberi ucapan Selamat Hari Raya antara satu umat dengan umat lain. Betapa melelahkan diseret kesana kemari selama ribuan tahun untuk berbagai persoalan yang semestinya bukan Dia yang bertanggungjawab. Lebih penting lagi, betapa rendahnya mahkluk yang menyeret Tuhan kesana kemari sekedar untuk menutupi ketakberanian bertanggungjawab atas hidup sendiri. Dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan banalitas kepentingan yang diatasnamakan Tuhan. Padahal jika semua selimut berlogo Tuhan itu disingkap, maka akan tampak bahwa semuanya bermuara pada pemuasan hasrat manusia. Berbagai macam hasrat: hasrat menguasai, hasrat seksual, hasrat dihormati, hasrat dikenal orang banyak, hasrat membenarkan diri, dan hasrat-hasrat lain. Inilah titik di mana metafisika Cartesian dengan Cogito ergo sum-nya, meregang nyawa. Manusia sama sekali bukan mahkluk berakal budi seperti digembar-gemborkan dalam berbagai ajaran filsafat, agama atau pelajaran-pelajaran sekolah. Manusia adalah mahkluk berhasrat. Hasrat, meski idiosinkretis namun mampu mengambil bentuk pertama kausalitas perilaku manusia. Karena sifabta yang nomotetis, akal budi membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus untuk menentukan kehendak manusia, sedangkan hasrat yang idiosinkretis tidak. Ironisnya, sebelum Nietzche, hasrat tak pernah disentuh dalam penjelasan-penjelasan baik dalam filsafat maupun agama, yang justru didominasi penjelasan iman, akal budi (rasio) sebagai causa prima perilaku manusia. Beberapa pemikiran bahwa ikut menyeret-nyeret Tuhan sebagai causa prima perilaku manusia. Sejak awal hasrat tak pernah disayang oleh filsafat dan agama. Sejak Plato, hasrat senantiasa dicurigai sebagai fakultas minor yang mengakibatkan kesesatan berpikir yang bermuara distorsi epistemologis serta kesesatan bertindak yang bermuara pada distorsi etis. Agama, menganggap hasrat sebagai sumber dosa yang harus dijauhi. Oleh karenanya, filsafat sejak semula menempatkan akal budi di tempat yang paling mulia sementara agama mengagungkan iman sebagai yang paling berharga dalam hidup manusia. Akal budi dan iman, dalam perkembangannya bergantain menempati fakultas kudus yang bisa menembus kemayaan dan menemukan logos. Hasrat dianggap hanya menghasilkan tipuan. Dalam sebuah tulisannya. Donny Gahral Adian mengatakan bahwa layaknya Buddhisme, filsafat pun bersabda, tanggalkan hasrat dan temukan kebenaran! Hingga kemudian muncullah Friedrich Nietzche yang mengobrak-abrik segala bentuk logosentrisme yang membuat manusia tak menyadari peran besar hasrat dalam hidupnya. Nietzsche datang membawa kabar buruk bagi pecinta akal budi dan iman. Baginya, akal budi dan iman adalah jejadian dari sentimen manusia yang namanya kecemasan. Manusia cemas bersemayam di dunia ketakpastian. Ia memerlukan pegangan. Segala prinsip utama adalah wujud hasrat untuk berkuasa yang mengambil bentuk lebih tajam dalam kehendak. Bagi Nietzche, hasrat adalah daya pendorong dalam diri manusia. Hal-hal yang mengatasnamakan Tuhan hanyalah lapisan atas untuk menutupi hidup manusia yang hasrati. Dalam banyak konteks, keduanya saling bertentangan. Segala hasrat yang ditutupi, akhirnya akan menampilkan diri sebagai bayangan, karena menjadi terlalu lemah untuk memeroleh pemuasannya. Bayangan inilah yang kemudian menyertai hidup manusia. Berdasarkan pandangan itu, Nietzche mengajarkan adanya dua moral, yaitu: moral tuan dan moral budak. Pengertian kata baik mempunyai dua arti yang berlainan sama sekali. Bagi sang Tuan baik adalah perasaan jiwa yang tinggi, bangga, megah dan hal lain yang senada; sedangkan bagi sang budak baik adalah apa yang damai, yang tidak merugikan, yang menaruh belas kasihan, dan hal sejenisnya. Yang disebut jahat oleh Sang Tuan adalah apa yang berlaku umum, biasa, tak bernilai; sedangkan bagi budak jahat adalah segala sesuatu yang menonjol, melebihi kawanan seluruhnya, yang menjadi luar biasa, yang tidak dapat diperhitungkan, yang berbahaya dan hal lain sejenisnya. Pemberontakan moral budak dimulai dari bangsa Yahudi. Para Nabi Yahudi telah meluluhkan pengertian: kekayaan, kekuasaan, nafsu, hasrat dan sejenisnya. Semua pengertian itu telah
[proletar] Biarkan Tuhan Beristirahat dalam Damai oleh: Audifax
BIARKAN TUHAN BERISTIRAHAT DALAM DAMAI OLEH: AUDIFAX Penulis buku Mite Harry Potter (2005, Jalasutra) There is no good and evil, there is only power, and those too weak to seek it. (Lord Voldemort) Jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi kesempatan beristirahat dalam kedamaian, maka sosok itu tak lain adalah Tuhan. Ya! Tuhan, entah sejak berapa ribu tahun lampau telah diseret kesana kemari untuk membenarkan kebencian, peperangan, perpecahan, pembunuhan, penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai pengadilan dan hal-hal nirhumanitas dalam kehidupan manusia. Bahkan, Tuhan tak hanya banyak diseret-seret dalam peristiwa skala besar seperti pengeboman, peperangan antar bangsa, perang agama, namun juga dalam peristiwa keseharian seperti relasi perkawinan, pertemanan, politik kampus, diskusi di milis, atau lebih sederhana lagi seperti memberi ucapan Selamat Hari Raya antara satu umat dengan umat lain. Betapa melelahkan diseret kesana kemari selama ribuan tahun untuk berbagai persoalan yang semestinya bukan Dia yang bertanggungjawab. Lebih penting lagi, betapa rendahnya mahkluk yang menyeret Tuhan kesana kemari sekedar untuk menutupi ketakberanian bertanggungjawab atas hidup sendiri. Dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan banalitas kepentingan yang diatasnamakan Tuhan. Padahal jika semua selimut berlogo Tuhan itu disingkap, maka akan tampak bahwa semuanya bermuara pada pemuasan hasrat manusia. Berbagai macam hasrat: hasrat menguasai, hasrat seksual, hasrat dihormati, hasrat dikenal orang banyak, hasrat membenarkan diri, dan hasrat-hasrat lain. Inilah titik di mana metafisika Cartesian dengan Cogito ergo sum-nya, meregang nyawa. Manusia sama sekali bukan mahkluk berakal budi seperti digembar-gemborkan dalam berbagai ajaran filsafat, agama atau pelajaran-pelajaran sekolah. Manusia adalah mahkluk berhasrat. Hasrat, meski idiosinkretis namun mampu mengambil bentuk pertama kausalitas perilaku manusia. Karena sifabta yang nomotetis, akal budi membutuhkan suatu kondisi ceteris paribus untuk menentukan kehendak manusia, sedangkan hasrat yang idiosinkretis tidak. Ironisnya, sebelum Nietzche, hasrat tak pernah disentuh dalam penjelasan-penjelasan baik dalam filsafat maupun agama, yang justru didominasi penjelasan iman, akal budi (rasio) sebagai causa prima perilaku manusia. Beberapa pemikiran bahwa ikut menyeret-nyeret Tuhan sebagai causa prima perilaku manusia. Sejak awal hasrat tak pernah disayang oleh filsafat dan agama. Sejak Plato, hasrat senantiasa dicurigai sebagai fakultas minor yang mengakibatkan kesesatan berpikir yang bermuara distorsi epistemologis serta kesesatan bertindak yang bermuara pada distorsi etis. Agama, menganggap hasrat sebagai sumber dosa yang harus dijauhi. Oleh karenanya, filsafat sejak semula menempatkan akal budi di tempat yang paling mulia sementara agama mengagungkan iman sebagai yang paling berharga dalam hidup manusia. Akal budi dan iman, dalam perkembangannya bergantain menempati fakultas kudus yang bisa menembus kemayaan dan menemukan logos. Hasrat dianggap hanya menghasilkan tipuan. Dalam sebuah tulisannya. Donny Gahral Adian mengatakan bahwa layaknya Buddhisme, filsafat pun bersabda, tanggalkan hasrat dan temukan kebenaran! Hingga kemudian muncullah Friedrich Nietzche yang mengobrak-abrik segala bentuk logosentrisme yang membuat manusia tak menyadari peran besar hasrat dalam hidupnya. Nietzsche datang membawa kabar buruk bagi pecinta akal budi dan iman. Baginya, akal budi dan iman adalah jejadian dari sentimen manusia yang namanya kecemasan. Manusia cemas bersemayam di dunia ketakpastian. Ia memerlukan pegangan. Segala prinsip utama adalah wujud hasrat untuk berkuasa yang mengambil bentuk lebih tajam dalam kehendak. Bagi Nietzche, hasrat adalah daya pendorong dalam diri manusia. Hal-hal yang mengatasnamakan Tuhan hanyalah lapisan atas untuk menutupi hidup manusia yang hasrati. Dalam banyak konteks, keduanya saling bertentangan. Segala hasrat yang ditutupi, akhirnya akan menampilkan diri sebagai bayangan, karena menjadi terlalu lemah untuk memeroleh pemuasannya. Bayangan inilah yang kemudian menyertai hidup manusia. Berdasarkan pandangan itu, Nietzche mengajarkan adanya dua moral, yaitu: moral tuan dan moral budak. Pengertian kata baik mempunyai dua arti yang berlainan sama sekali. Bagi sang Tuan baik adalah perasaan jiwa yang tinggi, bangga, megah dan hal lain yang senada; sedangkan bagi sang budak baik adalah apa yang damai, yang tidak merugikan, yang menaruh belas kasihan, dan hal sejenisnya. Yang disebut jahat oleh Sang Tuan adalah apa yang berlaku umum, biasa, tak bernilai; sedangkan bagi budak jahat adalah segala sesuatu yang menonjol, melebihi kawanan seluruhnya, yang menjadi luar biasa, yang tidak dapat diperhitungkan, yang berbahaya dan hal lain sejenisnya. Pemberontakan moral budak dimulai dari bangsa Yahudi. Para Nabi Yahudi telah meluluhkan pengertian: kekayaan, kekuasaan, nafsu, hasrat dan sejenisnya. Semua pengertian itu telah