[R@ntau-Net] Di Kota Padang PKS menang

2004-04-14 Terurut Topik Rinaldi Munir
Meskipun Partai Golkar unggul secara umum di Sumbar, namun khususnya di kota
Padang PKS yang juara pertama. Simak laporan koran di bawah ini.

=

DPRD Padang Terisi 32 Kursi
* Golkar dan PAN Kejar PKS
By padangekspres
Kamis, 15-April-2004, 03:39:47 WIB21 klik


Padang, Padek—Memasuki hari ketujuh perhitungan suara 
hasil Pemilu 5 April lalu, perolehan kursi untuk DPRD 
Padang kian bertambah seiring terus meningkatnya jumlah 
suara yang masuk ke Komisi Pemilahan Umum (KPU). 


Dari 254.935 suara pemilih yang masuk ke KPU hingga pukul 
17:00 WIB kemarin, kursi DPRD telah terisi sebanyak 32 kursi 
atau bertambah satu kursi dari perolehan sebelumnya, Selasa 
(13/4). 

Kursi yang masih tersisa di DPRD Kota Padang masih ada 13 
kursi menyusul bertambahnya perolehan kursi Partai Golkar 
menjadi delapan kursi. Partai Golkar menambah perbendaharaan 
kursinya di daerah pemilihan Padang III (Kuranji dan Pauh) 
dengan meraup 39.047 suara. 

Partai berlambang pohon beringin yang mendapat suara sebanyak 
47.494 atau 18,63 persen suara, bersama Partai Amanat Nasional 
(PAN) yang saat ini juga memperoleh delapan kursi dengan 
jumlah suara 44. 635 mengejar posisi Partai Keadilan Sejahtera 
(PKS) yang berhasil menggondol sembilan kursi dengan meraup 
51.526 suara (20,21 persen). 

Sementara itu, Partai Demokrat yang meraih total suara 28.548 
atau 11, 20 persen dari total suara yang telah masuk ke KPU 
kemarin mendapat jatah 4 kursi. Kursi diperoleh dari besarnya 
perolehan suara di empat DP yakni DP I, II, IV dan V. Disusul 
Partai Persatuan Pembangaunan (PPP) yang baru meraih satu 
kursi di Koto Tangah dan Nanggalo dengan perolehan sebesar 
7,28 persen atau 18,551 suara. (mg2)


Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net



[R@ntau-Net] Kampung Tuo-Ampe Angke tak Bergeming Sejak 1947

2004-02-15 Terurut Topik Rinaldi Munir
Buek nan taragak carito kampuang halaman, Hari Minggu 15/2 lalu ado tulisan di
koran Pikiran Rakyat Bandung, dari Dra. Noerhayati Amir, Apt. Ado saketek
ralat, seharusnya namo nagari tu "Ampek Angkek", bukan "Ampe Angke". Tapi
baitulah, tulisan tu dibuek parantau nan lamo gadang di Bandung, jadi ado
kesalahan manauliskan namo nagari.

Wassalam
Rinaldi Munir
Bandung

=== 

Kampung Tuo-Ampe Angke tak Bergeming Sejak 1947
(Pikiran Rakyat 15 Februari 2004)

SEJAK kuliah di Technischee Hoegeschool (sekarang ITB) tahun 1950-an, penulis
sudah menjadi penduduk Bandung. Maka, acara napak tilas ke rumah mendiang kakek
nenek saya di Ampe-Angke (kelurahan), Desa Cangkiang-Kampung Tuo, Bukittinggi,
membuat benak saya bergetar.

Desa penuh kenangan

Kala menginjakkan kaki di Bukittinggi (setelah 56 tahun tak ke sana), semilir
angin pegunungan dan kehijauan nyaris membuat air mata kerinduan mengalir. Hari
itu, tepat di ujung kemarau panjang, bulan "September Ceria" (meminjam
tembangnya Vina Panduwinata). Seperti tak ada perubahan, tak bergeming dari
bentuk lamanya.

Inilah tanah yang berduyun-duyun ditinggalkan penghuninya. Banyak orang Minang
merantau terutama ke Pulau Jawa. Bahkan, di Bandung, saya akui jumlah pendatang
asal Minang sangatlah besar.

Kesejukan dan keramahan penduduk asli Bandung, serta lahan mencari nafkah yang
menjanjikan memang menjadi magnet tersendiri untuk mendatangkan kaum urban ini.
Tempat menimba ilmu yang bagus seperti ITB, Unpad, dan UPI serta PTS terbaik
juga menebar di sini. Juga katanya sih, hidup di Bandung, makan dan belanja,
relatif murah meriah. Belum lagi dulunya Bandung memberikan atmosfer sejuk,
segar dan nyaman. Banyak pula pemuda Minang yang kesengsem dan menikahi gadis
Priangan yang terkenal lembut, peka, cantik, dan santun.

Tapi kala penulis menyaksikan kokohnya Jam Gadang bersejarah, Ngarai Sianok di
Ranah Minang yang bergumpal kabut, serta sawah yang hijau di kampung leluhur
saya, jiwa pun merenung. Ini bukan tanah tandus yang pantas ditinggalkan begitu
saja.

Perkantoran di sana menampilkan arsitektur setempat yang kental. Di mana-mana
bangunan berbentuk rumah gonjong, dengan atap yang mencuatkan tanduk kerbau,
bukankah ini merupakan atraksi wisata yang potensial? Apalagi masih banyak sisa
bangunan tua berdiri tanpa perubahan sejak lebih dari seabad. Khususnya di
areal pedesaan.

Pohon-pohon singkong menjadi tanaman yang digemari petani. Tak heran kalau
keripik pedas singkong asal Ranah Minang digemari di seantero negeri ini.
Singkong dari tangan petani, dikelola lewat industri setempat, ada juga yang
lebih profesional (pabrik), jadilah keripik singkong renyah. Lalu sambal balado
racikan tradisi Padang yang terkenal gurih dan disukai lidah Asia umumnya, akan
membuatnya semakin lezat. Jadilah keripik sanjai yang tersebar di pasaran,
kerap menjadi buah tangan bagi para pelancong.

Di Ampe Angke, waktu kecil dulu penulis senang bermain di bantaran Sungai Batang
Anai, airnya jernih mengalir. Penulis ingat, mata airnya mungkin berasal dari
Gunung Merapi Singgalang yang menjulang di sini.

Nenek Sofia, istri terakhir kakek, yang wafat tahun 1954, dan meninggalkan 5
anak, dulunya bukan cuma bertani dan berladang. Tapi juga memelihara banyak
unggas, seperti bebek dan ayam. Ia juga sering tampak menumbuk padi, beras yang
dihasilkan dikenal sebagai beras Solok.

Tangan-tangan wanita di desa ini sejak dulu kala terkenal piawai membuat
sulaman-sulaman cantik. Sampai saat ini masih tersisa kaum wanita sepuh yang
terus menggeluti tradisi menyulam. Di pasaran sulaman ini sangat dikenal
publik. Meski belakangan terkalahkan oleh keberadaan mesin bordir yang dapat
menyulam dengan cara instan.

Terakhir saya mengunjungi nenek Sofia tahun 1947, di saat usia saya 13 tahun.
Tapi setelah begitu lama, entah kenapa desa tersebut seperti tak bergeming dari
bentuk lamanya. Pembangunan seperti kurang menyentuhnya. Namun kelebihannya,
banyak bangunan bersejarah masih utuh seperti bentuk aslinya.

Saya terpesona menyaksikan rumah gonjong mendiang kakek nenek masih kokoh
berdiri. Rumah yang dibangun oleh mendiang kakek tahun 1901 dengan menggunakan
kayu ulin. Sementara atapnya menggunakan seng produk zaman kolonial Belanda.
Seng tersebut tak hancur. Tetap seperti dulu, hanya lebih kusam. Juga
penampilan rumahnya tampak suram. Mungkin tak tersentuh perawatan, apalagi
pengecatan rutin. Usia rumah tersebut sudah hampir 102 tahun. Pemerintah
setempat menetapkan bangunan tersebut termasuk bangunan yang dilestarikan.

Kentalnya sejarah, kuatnya tradisi

Ahli waris rumah tersebut kini sudah berkeluarga di Jakarta, bekerja di sebuah
BUMN, dan menikah dengan pria Sunda. Namun menurut adat setempat, jika anak
perempuan menikahi lelaki bukan berasal dari orang Minang, ia tetap berhak
menerima hak waris. Sebaliknya, jika anak lelaki Minang menikahi wanita yang
bukan orang Minang seperti ayah saya, maka hak waris dan gelarnya harus
dihilangkan. Maka, banyak lelaki Minang di m