Dari SUARA PEMBARUAN DAILY kita baca

Mohammad Natsir (1908-1993)

Konflik Terjadi bila Gunakan
Kata "Kami" dan "Kamu"

Oleh Wartawan "Pembaruan"

WALL PARAGOAN

        ari ini 92 tahun yang lalu. Ketika sedang berkecamuk Perang
        Belasting (pajak) di Kamang, dekat Bukittinggi, seorang bayi
lahir dari rahim Khadijah di desa terpencil Alahan Panjang. Hasil
perkawinannya dengan Sutan Saripado. Alahan Panjang -- kini kota
kecamatan di Kabupaten Solok, Sumatra Barat-- terletak di dataran
tinggi (1.300 meter di atas permukaan laut) dekat dua danau yang
indah, Danau Di Atas dan Danau Di Bawah.

Tidak ada yang mengira seorang anak desa yang lahir di rantau
(Alahan Panjang) itu dan anak seorang pegawai rendahan Belanda,
kemudian menjadi menteri, anggota parlemen dan Perdana Menteri.
Menjadi tokoh yang disegani kawan dan lawan. Selain sebagai
politisi, dunia mengakuinya pula sebagai tokoh Islam, sehingga
dipilih sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress dan ditunjuk
menjadi Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London. Dan
di akhir hayatnya, ia tetap hidup sederhana sebagai Ketua Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, dan menikmati pensiunan sebagai
mantan pejabat negara dari pemerintah sebesar Rp 500.000/bulan.

Dia adalah Mohammad Natsir bergelar Sutan Saripado. Kampung
asalnya adalah Maninjau, desa di pinggir Danau Maninjau, dekat
Bukittinggi. Di sanalah dia dilahirkan 17 Juli 1908. Kini dia telah
tiada, meninggal tanggal 3 Februari 1993 lalu di Jakarta dan
dimakamkan di pekuburan umum Karet, Kuningan Jakarta.

Ia meninggal ketika rezim Orde Baru mengkategorikannya sebagai
tokoh dissident yang masih tercekal, meski Soeharto sempat
mengirimkan karangan bunga ke rumah duka. Dia dicekal sejak tahun
1980 bersama sejumlah tokoh penanda tangan Petisi 50 yang
mengkritisi rezim Orde Baru. Nasibnya mungkin hanya agak lebih baik
dari kawan seperjuangannya, Sutan Sjahrir, Ketua Umum PSI, yang
meninggal di Swiss tanggal 9 April 1966, ketika berstatus tahanan
politik rezim Demokrasi Terpimpin.

Sebuah Refleksi

Sebuah pertanyaan mungkin akan muncul, apa gunanya mengingat
Natsir? Tokoh masa lalu, sementara kini teori politik dan kekuasaan
sudah mengglobal? Jawabannya mungkin juga sederhana. Ketika
bangsa ini sedang dilanda kemelut moral (termasuk dalam politik),
ekonomi dan sosial, ada yang bisa direfleksikan dari Natsir.

Tidak ada yang bisa membantah bahwa Natsir adalah tokoh inklusif,
bisa bergaul dan semeja dengan siapa saja meski berbeda pandangan,
berbeda agama dan keyakinan, berbeda asal-usul. Pergaulan
politiknya lintas ideologi dan agama, meski dia seorang pemimpin
Masyumi, partai Islam yang monumental di tahun 1950-an, pemenang
kedua Pemilu 1955 setelah PNI.

Natsir menjadi fenomenal karena dia akrab dengan tokoh partai
Katolik seperti Ignatius J Kasimo, dengan tokoh Parkindo J.Leimena
dan Mr.AM Tambunan, dengan tokoh sosialis dan nasional lainnya.

Ketika dipercaya membentuk kabinet Negara Kesatuan September
1950 oleh Presiden Soekarno, Natsir agak risau. Sebab, PNI sebagai
partai besar selain PSI-- tidak bersedia duduk di kabinet, karena PNI
menganggap mereka lebih tepat memimpin pemerintahan. Tetapi,
Soekarno--juga pendiri PNI-- tetap bersikeras meminta Natsir
membentuk kabinet.''Tanpa PNI?, tanya Natsir.''Ya, tanpa PNI,'' jawab
Bung Karno tegas.

Dari 18 portofolio kabinet, termasuk jabatan perdana menteri yang
dipegang Natsir, hanya 4 orang dari Masyumi (22,22 persen).
Selebihnya dari PSI, PIR, Parindra, Katolik, Parkindo, PSII dan tokoh
nonpartai seperti Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Wakil Perdana
Menteri, Ir.Juanda, Mr.Asaat, Dr.A.Halim dan dr.Bahder Djohan.
Kabinet itu dianggap sebagai kabinet zaken. Sedangkan PNI menjadi
partai oposisi.

Indonesia menjadi anggota PBB ke-60 di masa pemerintahan Natsir.
Untuk menjadi Wakil Tetap RI pertama di lembaga bangsa-bangsa itu
Natsir menunjuk Lambertus Nicodemus Palar, seorang tokoh
Minahasa, mantan anggota Tweede Kamer di Den Haag dari PvDA
(Partai Buruh).

Sabam Sirait, mantan Sekjen Parkindo pernah menyatakan, ''Saya
hormat kepada beliau yang saya saksikan berdebat dengan Dr.TB
Simatupang di awal Orde Baru dalam rangka 'Kebersamaan dan
Kerukunan Antarumat Beragama'. Natsir menerima rumusan
Simatupang, yaitu 'Bersama-sama membangun masa depan bersama'."
Ketika Simatupang meninggal dunia, kata Sabam, Natsir datang ke
rumah duka Jalan Diponegoro.''Saya sendiri yang menyambutnya,''
kata Sabam. (Suara Pembaruan, 7/2/1993).

Natsir juga pernah menceritakan suasana multipartai dulu--ada
Islam, Kristen, Nasional dan Komunis. Yang bertengkar itu, katanya,
bukan orang tetapi materi dan pikiran. Kadang-kadang bertempur seru
sampai voting. Tetapi setelah itu makan-makan dan minum-minum di
tempat yang sama.''Saya sebagai tokoh Masyumi biasa minum teh
bersama tokoh-tokoh PKI. Jadi kita memusatkan diri kepada masalah,
bukan kepada person,'' katanya (Editor,23/7/1988). Beberapa
masalah penting, malah diselesaikan melalui pertemuan informal,
ujar Natsir.

Ia juga mengisahkan watak politisi ketika itu. Kalau ada musuh di
depan mudah bersatu, semuanya serba "kita:. Tetapi kalau musuh
tidak tampak lagi perkataan kita diganti "kami". Tegasnya, mana
bagian saya dan mana bagian kamu. "Perpecahan timbul karena soal
"kami dan "kamu" itu.

Baju Dinas yang Robek

Natsir negarawan yang sederhana, yang tidak meninggalkan kekayaan
kepada anak-anaknya. Sejarawan AS George Mc Turnan Kahin
(meninggal tahun lalu) menilai Natsir sebagai pemimpin yang
sederhana dan rendah hati. Tentang kesederhanaan ini, dia lukiskan
dalam tulisannya di Media Dakwah (1995). Kahin menceritakan
pertemuannya dengan Natsir pertama kali di Yogyakarta tahun 1948
(ketika itu masih menjadi ibu kota negara). Ketika, katanya, Natsir
menjabat menteri penerangan di bawah Kabinet Hatta. Ia melihat
Natsir tidak malu menjahit baju dinas yang robek, karena itulah
satu-satunya baju dinasnya.

Beberapa minggu kemudian, kata Kahin, para pegawai Kementerian
Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan baju agar "boss"
mereka tampak seperti menteri sungguhan. Kahin adalah seorang
ilmuwan yang amat dekat dengan Natsir sebagaimana kedekatannya
dengan Hatta, Sjahrir dan Bung Karno.

Kesederhanaan Natsir dan juga pimpinan lainnya dan gaya hidupnya
memang bertolak belakang dengan gaya hidup dan kemaruk harta
serta kekuasaan pimpinan saat ini? Mereka bukan tidak bisa menjadi
kaya, tetapi mereka tidak mempergunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka untuk kepentingan pribadi, keluarga dan
kroni.

Negara Kesatuan

Natsir yang keluaran AMS 2 Bandung, kakak kelas Sjahrir, merupakan
pelobi yang andal dan memiliki kemampuan meyakinkan pihak lain.
Adalah berkat lobi yang dia lakukan lahirnya Mosi Integral Natsir
tahun 1950 untuk kembali ke Negara Kesatuan. Mosi itu diterima
secara aklamasi di DPR-RIS-- karena Natsir melobi tokoh-tokoh
mulai dari B Sahetapy Engel yang paling kanan dan Sakirman yang
paling kiri.

Karena perannya dalam Mosi Integral itu dia dipercaya Bung Karno
membentuk Kabinet Negara Kesatuan. Hatta sendiri pada mulanya
agak ragu Bung Karno akan menunjuk Natsir. Sebab, meski Natsir
selama menjadi menpen banyak mengonsep pernyataan-pernyataan
Bung Karno, secara pribadi keduanya berbeda sikap. Ketika ditanya
Bung Hatta soal siapa yang akan menjadi formatur kabinet, Bung
Karno menyatakan, ''Siapa lagi kalau bukan Natsir?''.

Natsir memang politisi ulung, tetapi tetap berjalan pada etik politik
dan konsisten. Bila disebutkan bahwa Masyumi kaku berpolitik,
Natsir menjawab tenang. ''Kami berpolitik dengan prinsip. Kalau kami
tidak setuju, ya terus terang saja kita katakan dengan segala
konsekuensinya.'' Menurut Natsir, "partai politik itu mempunyai
fungsi: fungsi pendidikan politik kepada umat untuk tahu caranya
mengatur negara. Kadang-kadang kita mendapat rugi sebagai partai
lantaran itu. Tapi tak apa.''(Editor, 23/7/1988).

Natsir dengan Bung Karno sudah berbeda pendapat sejak polemik soal
agama dan negara tahun 1930-an. ''Saya tidak benci kepada Soekarno.
Ketika menghadapi Belanda dan diperlukan tenaga untuk perjuangan,
oleh Bung Karno saya diminta menjadi menteri penerangan,'' katanya
(Editor,23/7/1988).

Dia pernah ditahan Soekarno selama 6 tahun karena keterlibatannya
dengan PRRI, 2 tahun di Batu Malang dan 4 tahun di Rumah Tahanan
Militer Keagungan 62 Jakarta. Tetapi dia menyatakan tidak dendam
kepada Bung Karno. Dia malah menyatakan, Soekarno lebih gentle
dari Soeharto.

Nasionalisme

Nasionalisme Natsir diperlihatkan ketika terlibat PRRI yang dia
anggap sebagai perlawanan politik atas sentralisme kekuasaan dan
pelanggaran konstitusi oleh Soekarno. Meski dalam terminologi
pemerintahan ketika itu PRRI disebut pemberontakan. Bila Natsir
tidak memiliki nasionalisme, dia dengan mudah bisa pergi ke luar
negeri dan mengasingkan diri di banyak negara di mana tokoh-tokoh
di negara-negara itu akan menyambutnya dengan gembira. Tetapi,
ketika dia merasa tidak aman oleh teror PKI di Jakarta mulai tahun
1958-- yang diikuti penangkapan sejumlah tokoh oleh militer, dia
lari ke Padang dan dilindungi Kolonel Ahmad Husen, tokoh utama
PRRI, sehingga dia bergabung dengan aksi perlawanannya itu.

Natsir bukan Karl Marx (1818-1883) yang melarikan diri ke Inggris
ketika berhadapan dengan teror di negaranya atau seperti
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) yang terpaksa mengasingkan
diri sementara ke daerah kelahirannya Jenewa, karena akan
ditangkap pemerintah kerajaan Prancis dengan tuduhan antinegara
dan antiagama.

''Kalau Soekarno tidak menyimpang dari konstitusi ketika itu, tidak
akan ada PRRI,'' kata Natsir pada suatu kesempatan.

Ketika keluar penjara Orde Lama, Natsir pun tetap dipinggirkan rezim
Orde Baru. Namun demikian, dia juga tidak menaruh dendam.
Nasionalismenya ditunjukkan ketika memberi surat rekomendasi
kepada tim perunding rujuk Indonesia-Malaysia untuk menemui PM
Tengku Abdul Rahman.

Begitu pula, mulusnya bantuan Jepang kepada Indonesia tidak
terlepas dari peran Natsir. Ini diakui sendiri oleh mantan PM Jepang
Takeo Fukuda. Dalam surat bela sungkawanya untuk Natsir tahun
1993, Fukuda menulis,'' Saya banyak belajar dari beliau (Natsir),
ketika beliau berkunjung ke Jepang--di saat saya menjabat menteri
keuangan. Beliau yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa
depan Pemerintahan Orde Baru Indonesia yang bersih dan sejahtera
dengan cita-cita beliau menciptakan dunia Islam yang stabil, adil
dan sejahtera dengan kerja sama Jepang.''

Itulah Natsir. Sosok dirinya memang harus dilihat secara lengkap.
Pola hidup sederhana sebagai pejabat tinggi negara, sikap dan cara
dia berpolitik-sebagaimana juga diperlihatkan tokoh-tokoh masa
lalu. Berbeda, berdebat, tetapi tidak bermusuhan dan saling dendam.

Barangkali sosok teladan demikian bisa dijadikan renungan bagi elite
politik bangsa ini, yang kini sedang bertarung dan malah mulai saling
membongkar aib lawan. Sehingga seperti dikatakan Natsir,
seharusnya tokoh bangsa berbicara dalam terminologi "kita", bukan
"kami" dan "kamu". Karena bila "kami" dan "kamu" yang menonjol,
ujung-ujungnya adalah mana bagian "kami" dan mana pula bagian
"kamu". Di situlah perpecahan terjadi, kata Natsir. u


Last modified: 17/7/00



LAPAU RantauNet di http://lapau.rantaunet.web.id
Isi Database ke anggotaan RantauNet:
http://www.egroups.com/database/rantaunet?method=addRecord&tbl=1
=================================================
WEB-EMAIL GRATIS ... @rantaunet.web.id ---> http://mail.rantaunet.web.id
=================================================
Subscribe - Mendaftar RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages: subscribe rantau-net email_anda

Unsubscribe - Berhenti menerima RantauNet Mailing List, kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi emai / Messages: unsubscribe rantau-net email_anda
=================================================
WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet
adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=================================================

Kirim email ke