Hatta dan Kepemimpinan yang Hilang 

SEANDAINYA Mohammad Hatta masih hidup, kita sedang
merayakan hari ulang tahunnya yang ke-99 pekan ini.
Boleh dibayangkan tak akan ada pesta meriah dengan
musik dan dansa-dansi, tapi barangkali sebuah seminar
atau peluncuran buku dengan topik yang berat.
Peminatnya pasti meluap, karena tema serius yang
menjadi obsesi Hatta sangat relevan dengan keadaan
sekarang: tentang demokrasi kita. 

Dan Hatta akan tampil dengan pembawaannya yang tenang,
bahkan—bagi sebagian orang—mungkin terasa membosankan.
Ia memang bukan seorang orator yang membakar semangat
pendengarnya. Hatta bukan penggerak revolusi massa, ia
pencerah alam pemikiran. Khalayak akan diajaknya untuk
merenungkan persoalan yang dihadapi, mengambil
kesimpulan, dan menjalankan apa yang harus dilakukan
dengan keyakinan dan sekaligus kesabaran tinggi. 

Sejak dulu Hatta memang seperti telah berbagi tugas
dengan kawan seperjuangannya. Sukarno adalah penyeru
rakyat untuk menjebol kolonialisme, sedangkan dirinya
adalah pengajak orang ramai untuk membangun institusi
demokrasi. Sebab, tanpa demokrasi, penjajahan yang
diusir melalui pengorbanan darah dan air mata akan
kembali ke Tanah Air. Memang tidak lagi berbentuk
pemerintahan dari negara asing, tetapi tirani saudara
sebangsa dan setanah air. 

Diktum ini telah terbukti di Indonesia. Setidaknya,
terjadi pada kurun Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Itulah saat nasib Indonesia sangat ditentukan oleh
pribadi sang pemimpin yang begitu kuat: Sukarno dan
Soeharto. Kepemimpinan yang dilahirkan dari dukungan
populer namun berakhir dalam suasana ke-kecewaan
publik yang begitu tinggi. 
Sepertinya ada yang salah di sistem kepemimpinan
Indonesia. 

Pendapat di atas, seandainya Hatta masih hidup, akan
dibantah sang tokoh proklamator. Ia akan mengatakan,
yang keliru bukanlah sistemnya, melainkan arah
masyarakat menengok. Prinsip demokrasi meniscayakan
khalayak untuk tidak mencari pemimpin yang berupa
manusia sempurna, atau si Ratu Adil. Yang dipilih
adalah yang paling mampu menjalankan aspirasi orang
ramai saat itu, kendati ia mungkin banyak—bahkan
sangat banyak—kekurangan di segi lainnya. 
Tentu tak asal aspirasi. Prinsip demokrasi juga
mewajibkan bahwa setiap warga mempunyai kedudukan yang
sama di mata hukum. Selain itu, kemerdekaan setiap
orang untuk menyalurkan aspirasinya adalah fondasi
yang tak boleh diganti. Sebab, perubahan aspirasi
masyarakat adalah sebuah kepastian. Karena itu, sistem
demokrasi mau tak mau akan menuntut pula perubahan
pemimpin sebagai bagian dari dinamika normalnya. 
Dalam kerangka berpikir seperti ini, Indonesia jelas
terlihat tidak normal. Setelah 56 tahun merdeka,
dengan lima presiden, belum sekalipun terjadi suksesi
pucuk pimpinan nasional secara wajar. Sukarno dihantam
krisis politik, Soeharto krisis moneter, Habibie
dijungkalkan krisis legitimasi, dan Abdurrahman Wahid
terjerembap oleh krisis konstitusi. Sekarang, kata
banyak pengamat, Indonesia terserang krisis
kepemimpinan. 
Tapi benarkah pengamatan ini? Hatta mungkin akan
menjawab tidak. Keluhan krisis kepemimpinan datang
dari kalangan yang merindukan kehadiran seorang Ratu
Adil. Mereka yang mencermati karya-karya Mohammad
Hatta akan menuding keluhan itu sebagai sebuah
kecengengan dan kemanjaan kaum yang terbiasa hidup
terjajah. Sebab, tujuan kemerdekaan bukanlah untuk
mengganti pemerintahan kolonial asing dengan seorang
tiran, sekalipun sang Ratu Adil, melainkan dengan
kedaulatan rakyat. 
Dalam sistem demokrasi, Ratu Adil bukanlah seorang
pemimpin sempurna tetapi sebuah sistem pengaturan
kekuasaan. Karena itu, siapa pun yang muncul menjadi
pemimpin, ia hanya menjadi Ratu Adil selama didukung
oleh rakyatnya yang bebas. Begitu dukungan hilang,
berarti goodbye dan peluang munculnya pengganti yang
dianggap lebih baik. 
Lantas bagaimana mencari sang pengganti? Barangkali
dari sisi ini sistem kepemimpinan nasional boleh
dibilang terkena krisis. Gaya pemerintahan Orde Baru
harus diakui telah melemahkan kemampuan orang ramai
memilih para pemimpinnya. Penekanan yang berlebihan
pada kebutuhan menciptakan stabilitas politik melalui
tatanan masyarakat yang "harmonis, selaras, dan
berkesinambungan", telah memacetkan kompetisi
kepemimpinan alamiah selama lebih dari tiga dekade. 
Pemaksaan penerapan sistem pemerintahan yang seragam
di seluruh penjuru negeri, tanpa mempertimbangkan
keanekaragaman nusantara, telah melemahkan mekanisme
tradisional setempat dalam menjaring para pemimpin
lokal. Kemampuan partai politik dan organisasi massa
sebagai lahan kompetisi kader pemimpin dikerdilkan
melalui kebijakan politik massa mengambang yang
berlebihan dan berbagai intervensi represif seperti
keharusan wadah tunggal bagi organisasi profesi dan
kemasyarakatan. 
Pengerdilan itu semakin berdaya rusak dengan
diterapkannya budaya restu. Setiap kali terjadi
pemilihan ketua di organisasi politik ataupun
kemasyarakatan, aparat pemerintah melakukan operasi
untuk memastikan hanya calon yang "direstui" yang akan
terpilih. Akibatnya, masa pemerintahan Orde Baru
tercatat sebagai periode subur lahirnya para pemimpin
kader jenggot alias tidak berakar ke bawah tapi ke
atas. 
Para pemimpin hasil kader jenggot tak harus berarti
buruk. Setidaknya, dari segi kompetensi teknis banyak
yang piawai. Hanya untuk kepentingan politik,
legitimasi dukungan dari bawah jauh lebih penting
ketimbang kemampuan profesi. Barangkali sosok B.J.
Habibie adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan
persoalan ini. Tak ada yang meragukan kemampuan dan
kecerdasan pribadi Habibie, tapi ia jatuh karena
krisis legitimasi. 
Nasib yang sama mungkin akan dihadapi para kader
jenggot yang lain. Namun, bukan berarti tak ada jalan
keluar. Kebebasan untuk membuat partai politik serta
organisasi kemasyarakatan telah melahirkan banyak
lahan subur bagi kompetisi kepemimpinan di Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah juga diperkirakan akan
menciptakan arena kompetisi para pemimpin lokal. 
Jelas perlu waktu, tapi tak ada pilihan lain. Tokoh
seperti Hatta tak dilahirkan dalam tempo sehari. 

( kutipan dari majalah tempo edisi tengah Agustus
2001)





__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Make international calls for as low as $.04/minute with Yahoo! Messenger
http://phonecard.yahoo.com/

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke