Precedence: bulk RAKYAT KEHENDAKI UU ANTI-KETIDAKADILAN, BUKAN ANTI-KOMUNISME Oleh: Sulangkang Suwalu Sosiolog Ignas Kleden menulis tentang "Legislasi anti komunisme, atau anti ketidakadilan" (Kompas, 21/4). Tulisannya itu dimulai dengan kata-kata "Menurut Media Massa (siaran), pemerintah tengah menyiapkan RUU perubahan KUHP. RUU tsb yang isinya hanya 6 pasal, mengandung 4 pasal, yang dimaksudkan untuk menindak usaha yang bertujuan menyebarkan Marxisme-Leninisme dan Komunisme dan setiap percobaan untuk mendirikan organisasi (DR/5-10 April 1999). Ancaman hukuman atas pelanggarannya maksimal 20 tahun penjara." Kalaulah benar berita itu, maka rencana itu sebaiknya mempertimbangkan beberapa pendapat lain, juga pendapat bukan dari kalangan ahli hukum. Pertanyaan pertama apa ada relevansinya menyusun suatu UU yang dimaksudkan untuk menentang suatu ideologi yang pada dasarnya tidak punya kekuatan dan aktualitas lagi setelah negara-negara Blok Timur meninggalkan sosialisme dan membuka dirinya pada kapitalisme. Jawaban atas pertanyaannya itu diberikan sendiri Ignas Kleden. Mari kita cermati. TAK AKAN EFEKTIF Menurut Ignas Kleden bahwa sasaran utama yang diserang komunisme adalah ketidakadilan sosial dan ketidakmerataan ekonomi yang diakibatkan oleh kapitalisme, yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi makro dan keuntungan ekonomi mikro. Perlawanan terhadap komunisme tidak akan efektif kalau hanya dilakukan melalui perundang-undangan, tanpa dukungan tindakan dan kabijaksanaan ekonomi politik, yang sanggup mengurangi baik ketidakmerataan ekonomi maupun ketak-adilan sosial. Selama penerapan sistem kapitalisme hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil menimbulkan marginalisasi dan mengerasnya perbedaan kaya dan miskin, maka selama itu pulalah komunisme tetap akan memperlihatkan daya tariknya yang muncul dari appealnya kepada simpati moral, untuk orang-orang yang tersingkir dan tertindas. Secara praktis ini artinya, kalau pun ada bahaya untuk kebangkitan kembali komunisme, potensi itu tidak terutama disebabkan ada atau tidaknya orang-orang yang secara diam-diam atau terang-terangan masih membela faham itu, tapi sangat tergantung pada pertanyaan: apakah ketidakmerataan ekonomi dan ketidakadilan sosial mendapat perhatian untuk di atasi atau dibiarkan. Dengan demikian latennya bahaya komunigme, kata Ignas Kleden, sebagaimana yang dicemaskan sementara kalangan pejabat pemerintah kita, bahkan kekuatiran tentang kemungkinan munculnya kembali faham itu kepermukaan politik, bukannya oleh langkah legislasi. MARXISME ADALAH TEORI TENTANG KAPITALISME Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Ignas Kleden mengemukakan secara singkat dan atas cara yang sangat dangkal dapat dikatakan sepintas lalu di sini bahwa Marxisme adalah teori tentang kapitalisme sebagai sistem, yang secara niscaya menciptakan kelas-kelas dengan kepentingan yang bertentangan. Leninisme memberikan legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam konflik kelas, di samping menunjukkan hubungan yang erat antara kapitalisme dan imperialisme, yang menjadi tahap perkembangan mutakhir. Sedang komunisme adalah teori tentang masyarakat tanpa kelas yang muncul berkat kemenangan kelas proletariat. Yang sama dalam ketiga paham tersebut adalah bahwa ketiganya lebih mempercayai perwakilan rakyat dalam kelas daripada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen. Meskipun Ignas Kleden tidak memberikan contoh mengenai ketiga-tiga faham di atas (Marxisme-Leninisme-Komunisme) "lebih mempercayai perwakilan rakyat dalam kelas daripada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen", tentu yang dimaksudnya rakyat dalam sebuah partai politik, misalnya PKB yang didirikan NU, mungkin di dalamnya terdapat dari unsur tuan tanah, tani kaya, tani sedang, buruh tani, tani miskin dan sebagainya. Tidak dari satu kelas. Atau misalnya dalam PDI Perjuangan, PAN, mungkin di dalamnya terdapat unsur burjuasi besar, burjuasi sedang, burjuasi kecil, buruh, miskin kota dan sebagainya. Juga dari berbagai kelas. Pada suatu ketika karena berbeda kepentingan sosial dan politiknya, konflik kelas bisa terjadi dalam partai politik yang bersangkutan. Tentu berbeda dengan partai proletar, yang hanya terdiri dari satu kelas dan bersama sekutunya kaum tani. Jelas kiranya katanya Ignas Kleden bahwa teori-teori tsb bukan saja memberi tantangan kepada kapitalisme, tapi juga kepada demokrasi yang percaya pada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen. Maka pertanyaan selanjutnya: apakah demokrasi cukup ampuh untuk mengendalikan dan membatasi ketidak adilan, sehingga orang tidak perlu lagi berpaling kepada faham komunisme untuk mencapai maksud tersebut. Itulah sebabnya, UU tentang demokrasi politik dan demokrasi mungkin yang lebih mendesak daripada UU anti-komunisme. SELALU ADA POTENSI KONFLIK KELAS Lebih lanjut, Ignas Kleden mengemukakan bahwa sudah umum diketahui bahwa Marxisme khususnya, bukan hanya merupakan sebuah isu politik, tapi juga isu akademik. Dia bukan saja menjadi ideologi politik, tetapi juga teori dan metode ilmu sosial. Adanya pelanggaran oleh UU akan menyebabkan bahwa ilmu-ilmu sosial di Indonesia juga akan kehilangan kemungkinan mempelajari suatu kelompok teori dan metode yang sangat berbeda dari teori dan metode dalam ilmu-ilmu sosial liberal. Tanpa bantuan teori dan metode yang berinduk pada Marxisme ilmiah, banyak masalah ketidak adilan akan sangat sulit di deteksi dan dianalisis. Pilihan lain adalah mengandaikan saja bahwa potensi untuk konflik kelas tidak ada dan tidak akan ada di Indonesia. Pilihan ini boleh saja diambil, tetapi dengan resiko yang besar. Selama pemerintahan Suharto kita juga diminta dan disuruh percaya bahwa konflik yang bersifat komunal, seperti konflik antar etnik, antar agama, atau antar golongan, tidak ada dan kalaupun ada tidak boleh dibicarakan karena didoktrin SARA. Selama seperempat abad konflik ini tidak muncul karena selalu ditekan oleh represi negara. Sekarang pada saat dominasi negara menjadi goyah oleh guncangan reformasi dan represi negara yang menurun, sambung Ignas Kleden, konflik komunal ini muncul dalam bentuk kekerasan yang meluas secara tak terkendali, dan kita ternyata tak berpengalaman apapun menanganinya, baik secara politis maupun yuridis. Mungkin lebih realis untuk mengandaikan bahwa dalam masyarakat manapun, dengan kesejahteraan yang belum merata, selalu ada potensi konflik kelas dalam berbagai bentuknya. Konflik semacam itu hanya dapat dideteksi dan dianalisis dengan memadai, kalau kita menggunakan metode dan teori kelas yang memang didesain untuk keperluan tersebut. Melarang penggunaan teori dan metode analisis kelas, dan berpretensi bahwa konflik kelas tidak pernah ada, hanya akan memberi kesempatan untuk akumulasi dan mengerasnya konflik tersebut, yang pada suatu waktu nanti akan meledak, barangkali dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari kekerasan komunal sekarang ini, yang ternyata membuat masyarakat kewalahan, rakyat bingung dan mati sia-sia, dan pemerintah sendiri tak banyak berdaya, serta hanya bolak balik berbicara tentang bahaya disintegrasi bangsa, tanpa dapat menghentikan proses yang sedang menuju ke sana. KESIMPULAN Bertolak dari analisis Ignas Kleden itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menghendaki adanya "UU anti-komunisme" ialah orang-orang yang menentang adanya keadilan baik di bidang ekonomi maupun politik. Orang-orang yang berdaya mempertahankan supaya ia tetap diperbolehkan menghisap manusia yang lain; tetap diperbolehkan memonopili sesuatu; diperbolehkan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme; diperbolehkan melakukan diskriminasi, melakukan intimidasi politik, melecehkan HAM, melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dan berbagai kezaliman lainnya. Sebaliknya rakyat banyak, rakyat lapisan bawah, yang tersingkir dan tertindas seperti dikatakan Ignas Kleden menghendaki disusunnya UU yang secara langsung mencegah praktek ketidak adilan, baik dalam ekonomi maupun dalam politik. Buat lah UU anti-monopoli, UU anti-korupsi, UU anti-kolusi, UU anti-polusi, UU anti-diskriminasi, UU anti-intimidasi politik, UU anti-pelecehan HAM, UU anti-pelecehan seksual, UU perlindungan Anak, UU anti-kekerasan terhadap perempuan. Dan masih banyak lagi. Mereka ini memerlukan Marxisme sebagai senjata moral untuk menganalisis keadaan. Seperti dikatakan Ignas Kleden: tanpa bantuan teori dan metode yang berinduk pada Marxisme ilmiah, banyak masalah ketidak adilan akan sangat sulit dideteksi dan dianalisis.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html