Sahabat silat,
  dalam rangka diskusi bulanan tentang Silau Macan dari Condet, berikut kami 
posting-kan ulang tulisan sahabat yanweka mengenai aliran betawi ini..
   
  oh iya inga inga diskusi bulanan "Iposi Silau Macan dari Condet", sabtu, 8 
desember 2007, Pukul 14.00-16.00 di Gedung Hidro, Jl Dewi Sartika 199B, Cawang, 
Jaktim..
   
  Datang ya..
   
  salam 
  Ian 
  ==
   
   
   
  IPOSI - Silat Silau Macan dari tanah Condet
        
http://silatindonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=162 
        Tulisan ini hasil penelusuran kami saat berkunjung ke daerah condet, 
kawasan ini pernah menjadi daerah konservasi budaya betawi, oleh Gubernur Ali 
Sadikin pada tahun 1975, melihat kehijaun dan udaranya yang sejuk, daerah ini 
memang dikenal sebagai daerah penghasil buah salak dan duku hingga saat ini. 

Condet yang terbagi dalam tiga kelurahan Bale Kambang, Batu Ampar, dan Kampung 
Gedung gagal menjadi cagar budaya dan kini telah dipindahkan ke Setu Babakan 
oleh pemerintah DKI Jakarta, namun bila melihat sejarah panjang daerah ini, 
sejak 3.000 sampai 4.000 tahun lalu di kawasan yang berbatasan dengan 
Kramatjati ini sudah ada kehidupan. Ditemukan kapak batu, gerabah, dan lampu 
perunggu di sini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budayawan Ridwan Saidi 
(Koran Republika-red) bahwa dahulu condet pernah menjadi pusat pemerintahan 
kerajaan Salaksana pada tahun 120M, nama-nama yang menjadi sejarah seperti 
seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah tempat pesanggrahan 
raja-raja, sedangkan Batu Ampar merupakan batu besar tempat meletakkan sesaji 
(sesajen). 

Namun ada catatan yang tertinggal disana, bahwa condet tidak hanya sebuah 
kawasan yang memiliki ciri khas betawi namun juga budaya yang masih tertinggal 
dan tetap dijaga oleh penduduk asli betawi disana. 

Sore itu kami bertiga ( Saya dan kedua teman dari milis pendaki) berniat 
bersilaturahmi dengan salah satu tokoh dari condet yang sudah tidak asing lagi, 
selain sebagai pemerhati budaya betawi, tokoh kita ini juga pandai bersilat, 
itulah Entong H. Sapri salah satu cucu dari Entong Gendut dirumah kediamannya. 
Kami bertiga diterimanya dengan baik, usianya memang sudah 75 tahun namun 
semangatnya terpancar dari wajahnya. Beberapa penghargaan dari pemerintah DKI 
Jakarta terpampang di dinding rumahnya yang sederhana, dengan halaman rumah 
yang ditumbuhi oleh pohon yang rimbun 

Karena malam itu H. Sapri cukup lelah akhirnya kami pamit dan beliau mengajak 
kami untuk hadir pada malam rabu untuk melihat latihan silatnya, sayangnya 
undangan tersebut batal kami laksanakan karena ada kesibukan lain yang tidak 
bisa dihindari. 

Satu tahun kemudian ada rasa kangen dengan H. Entong Sapri, dan bersama Mas 
Faried dari milis pendaki, saya dan Mas Ezra dari Milis Silatbogor akhirnya 
sepakat kembali menemuinya di rumahnya. Namun kabar duka mengurungkan niat kami 
bertiga, H. Entong Sapri sudah meninggal dunia satu tahun yang lalu tepatnya 
sebelum bulan puasa tahun 2005. ujur keluarga H.Sapri 

Rasa duka yang mendalam menyelimuti kami, rasanya pertemuan waktu itu adalah 
pertemuan terakhir dengannya, hanya doa yang bisa kami berikan padanya agar 
Amal Ibadahnya diterima oleh Allah SWT. 

Memang ada rasa kecewa karena tidak bisa lagi bertemu dengan Babeh Sapri, tapi 
rasa tersebut dapat terobati dengan hadirnya mas Didi (Ahmad Zainudin ) salah 
satu putra H. Entong Sapri, saat ini ia masih kuliah di salah satu Universitas 
di Jakarta, sebagai orang betawi ia paham betul arti sebuah pendidikan, karena 
melalui pendidikan inilah kami warga betawi bisa membangun citra pada orang 
betawi lainnya. 

Mas didi cukup terbuka dan nampaknya ia pun menyadari arti sebuah pelestarian 
budaya, hingga iapun kini masih merintis sebuah buku tentang H. Entong Sapri 
baik sebagai pribadi maupun dalam organisasinya di pesilatan. IPOSI (Ikatan 
Pencak Silat Olahraga dan Silaturahmi) itulah nama perkumpulan silat H. Entong 
Sapri. 

Ia pun tak segan-segan memperagakan sedikit ciri khas jurus dari pencak silat 
yang ia pelajari, apalagi kami sebelumnya telah mengetahui aliran silat IPOSI 
ini, kadang-kadang mas didi sempat bertanya dari mana kalian bisa tahu..? ya 
tentunya dari babeh anda sendiri waktu itu. 

Melihat gerakannya IPOSI memang khas betawi dengan kuda-kuda yang rendah dan 
gerakan tangan yang cepat memberikan penekanan pada penyerangan dan juga 
bertahan, menurut H. Entong Sapri semasa Hidup kepada penulis bahwa silat ini 
punya maenan Cikalong seperti Suliwa, Silau macan, dan cimande. Gerakan jurus 
cikalongnya halus namun bertenaga dan sewaktu diperagakan jurus silau macan 
oleh mas didi, saya sempat teringat dengan salah satu perguruan silat betawi di 
acara festival silat betawi di Cibubur tahun 2006 lalu. Silau macan itulah 
jurus yang sering disebut – sebut oleh H. Entong sapri, dan malalui mas didi 
jelas sekali bahwa gerakan Silau macan layaknya macan yang akan menerkan 
musuhnya. 

“Silat ini bertujuan untuk silaturahmi, babeh diusia tuanya masih melatih ke 
Tanah Abang hingga ke Cibinong, “ ujur Mas Didi. Sepeninggal babeh, kakak 
lelaki saya yang mewarisi dan menjaganya, dan tentunya kelaurga kami juga turut 
menjaga warisan ini. 

Belajar silat IPOSI unsure agama Islam juga cukup kental terasa dimana, 
seseorang wajib menjalankan syariat islam dengan benar, bukan bertujuan mencari 
kesaktian tapi mencari iman melalui silat. Karena tujuan kita hidup ini untuk 
beribadah jadi ya berlatih silat juga Ibadah karena mensyukuri nikmat sehat. 

Diceritakan juga bahwa condet merupakan basisnya pendekar dan juga alim ulama, 
dan salah satu pendekar yang cukup tersohor namanya adalah ayah kakeknya 
sendiri yaitu Entong Gendut, sepak terjangnya kepada Kompani belanda menjadi 
cerita sendiri yang menjadi sejarah daerah ini. 

Untuk itu, sebaiknya kita kembali dulu pada keadaan ratusan tahun sebelumnya. 
Di ujung Jl Condet Raya terdapat sebuah gedung tua yang kini tinggal kerangka 
di bagian depannya karena terbakar pada 1985. Gedung yang terletak di Jl 
Tanjung Timur (Tanjung Oost) yang kala itu dinamakan gedung Grooneveld 
merupakan rumah tuan tanah terbesar yang pernah dibangun di Batavia (1756) yang 
letaknya jauh di luar kota. Waktu itu, untuk mencapai gedung megah ini 
diperlukan lima jam dari pusat kota (Pasar Ikan) dengan kereta kuda. Adanya 
gedung ini menjadikan kawasan tersebut hingga sekarang dinamakan Kampung 
Gedung. 

Gedung ini dibangun oleh Vincent Riemsdijk, anggota Dewan Hindia, sebagai 
perkebunan dan sekaligus peristirahatan. Setelah kematiannya, putranya Daniel 
van Riemsdijk, seorang petani andal, benar-benar mengurus perkebunan Tanjung 
Timur dan mengelolanya dengan baik. Pada waktu itu, 6.000 ekor sapi 
digembalakan di perkebunan ini, tempat yang sekarang berdiri gedung-gedung 
megah dan jalan raya dari Tanjung Timur ke Terminal Kampung Rambutan. 

Di gedung ini pada 1749 pernah berlangsung pertemuan antara Gubernur Jenderal 
Von Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah, wanita 
terdidik dan cerdas, pada 1720 menjadi istri Pangeran Mahkota Banten, Zainul 
Arifin. Ia sangat berpengaruh terhadap suaminya ketika menjadi sultan Banten 
(1733). Tapi, Syarifah sendiri meninggal dengan merana karena dibuang ke Pulau 
Edam di Kepulauan Seribu, akibat pemberontakan Kyai Tapa (1750). Ia ditangkap 
akibat ambisinya untuk mengangkat Syarif Abdullah, yang menikah dengan 
keponakannya, untuk dijadikan pangeran mahkota Kesultanan Banten. 

Gedung yang juga dikenal dengan Vila Nova itu telah beberapa kali berganti 
pemilik. Menurut Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi tiap penggantian 
tuan tanah ini, diadakan peraturan baru yang memberatkan rakyat Condet. 
Terhadap tiap pemuda Condet yang telah menginjak dewasa dikeluarkan kompenian 
atau pajak kepala sebesar 25 sen (nilainya kira-kira 10 liter beras). Karena 
banyak petani yang tidak sanggup membayar blasting (pajak) yang sangat 
memberatkan itu, tuan tanah sering membawa petani yang tak sanggup membayar ke 
landraad (pengadilan). Dan tuan tanah di Condet kelewat getol dalam membikin 
perkara. Akibatnya banyak petani yang bangkrut, rumahnya [EMAIL PROTECTED]&, 
atau tak jarang yang dibakar. Penduduk yang belum membayar blasting hasil sawah 
dan kebunnya tidak boleh dipanen. 

Melihat penderitaan rakyat yang demikian itulah, Entong Gendut meradang. Ia 
kumpulkan sejumlah warga Condet. Panji perang dikibarkan. Dengan meneriakkan 
Allahu Akbar, Entong Gendut mengobarkan semangat jihad fi sabililah. Saat 
itulah, pada 5 April 1916 perang berkobar di Vila Nova yang ditempati Lady 
Lollinson dan para centengnya. Entong Gendut bersama para pemuda Condet, 
bersamaan dengan pertunjukan Tari Topeng menyerbu tempat itu. 

''Allahu Akbar ..... Sabililah ..... gue enggak takut ame kompeni'', teriak 
Entong Gendut dan kawan-kawannya. Namun setelah datang bantuan dari Batavia, 
pemberontakan itu ditumpas. Haji Entong Gendut pun syahid tertemnbus timah 
panas. Ada berbagai versi tentang kematiannya. Haji Sapri, salah satu cucunya 
yang tinggal di Condet kepada penulis beberapa waktu lalu mengatakan, kakeknya 
ditembak Belanda bukan di Kampung Gedong, tapi di Batu Ampar. ''Saat beliau 
hendak melewati sungai ketika dikejar kompeni.'' Versi lain menyebutkan, 
jenazahnya diangkut kompeni, kemudian diceburkan ke laut. Nama pahlawan ini 
pernah diabadikan untuk sebuah jalan di Condet. Sayangnya, entah karena apa 
kini diganti menjadi Jl Ayaman, nama salah satu tuan tanah. (Koran Haraoan) 

Dari cuplikan kisah tadi mungkin kita akan bertanya, mengapa kita sebagai warga 
betawi (Jakarta) membiarkan kekayaan budaya ini menghilang, dan tentunya 
melalui tulisan ini, kami berharap anda sebagai generasi muda memiliki rasa 
percaya diri bahwa silat adalah budaya dan asset kita bersama. 

Penulis : Yanweka 
Team : ( Faried, Ezra, Yans) 

Disarikan dari : 
-Alwi Shahab (Republika) 
-Nugroho Notosusanto (Balai Pustaka) 
-Kelurga H. Entong Sapri ( Mas Didi) 

       
---------------------------------
Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke