Sahabat Silat,
   
  mari kita coba gali soal kujang ini...
   
  tabik,
  Ian S
  ==
  Simbol Kejataman dan Daya Kritis Pola Pikir
Kujang Senjata Khas Jawa Barat 
  http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/24/kaa04.htm 
   
  HAMPIR sebagian besar masyarakat Jawa Barat mengenal Kujang. Namun, tak 
banyak dari mereka yang dapat mengetahui secara mendalam latar sejarah ataupun 
simbol di balik Kujang. Kujang hanya dikenal sebatas sejenis senjata khas Sunda 
dengan bentuk yang meruncing. Selebihnya mungkin, Kujang hanya dikenal sebagai 
lambang pemerintah Provinsi Jawa Barat.
   
          
Senjata tradisional khas Jawa Barat Kujang.*
  Bukan itu saja, meski masyarakat Jawa Barat meyakini Kujang sebagai simbol 
dari sebuah kebesaran masyarakat Sunda dan cenderung dipandang memiliki 
kekuatan magis, tak banyak literatur yang memberi penjelasan tentang perkakas 
ini. Beruntunglah, SundaNet.com sebagai satu-satunya portal kesundaan yang 
cukup eksis dapat memberikan informasi tersebut. 
  Sehingga keterbatasan mengenai informasi tersebut dapat dijembatani oleh 
sebuah ruang maya yang tak lagi berbatas ruang dan waktu. 
   
  Lambang Jawa Barat
   
  Kujang menurut SundaNet.com adalah sebuah senjata unik baik dari segi bentuk 
maupun kesejarahannya. Kujang secara umum telah diakui sebagai milik asli 
Sunda. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, 
hiasan, ataupun cindera mata. Lebih dari itu Kujang adalah lambang Pemerintah 
Daerah Tingkat I Jawa Barat. Apa sebenarnya yang istimewa dari Kujang? Mengapa 
ia dikesankan sakral dan memiliki daya magis? Mengapa Jawa Barat memilih Kujang 
sebagai lambang dan bukan benda lain? Beberapa pertanyaan itu menarik untuk 
dikaji lebih jauh. Walau tak banyak sumber (literatur) yang dapat memberikan 
informasi tentang itu.
   
  Meski demikian, data ataupun informasi tentang Kujang beberapa di 
  antaranya tercantum dalam Pantun Bogor, Wawacan Terah Pasundan, Keris and 
Other Weapon of Indonesia, termasuk sumber-sumber lisan di wilayah Bandung, 
Sukabumi, Panjalu (Ciamis), Sumedang, Cirebon, dan Garut. 
   
  Data tertulis lainnya dapat diperoleh dari Anis Djatisunda, seorang peneliti 
lapangan ahli Kanekes yang tinggal di Sukabumi. Anis telah menyusun makalah 
(1996) berjudul "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" yang disiapkannya untuk 
sebuah gatrasawala mengenai kujang tetapi batal dilaksanakan. Keterangan lain 
dapat diperoleh dari buku Wacana Nonoman Terah Pasundan karangan Kadar Rohmat 
dan H.S. Ranggawulya. Data ini diperoleh dari buku Keris and Orther Weapons of 
Indonesia karangan Mubirman, Profil Propinsi Republik Indonesia (Jawa Barat), 
dan Pengabdian DPRD DT. I Jabar yang ketiganya ditemukan di perpustakaan Pemda 
Jabar. 
   
  Sementara brosur dari Gosali Pamor Siliwangi pimpinan Bayu S. Hidayat dapat 
menjadi pelengkap, sebab perajin Tosan Aji adalah seorang yang secara sadar 
berniat melestarikan kujang sebagai cindera mata yang berkelas. Dari tulisan 
Baju diperoleh informasi mengenai teknik pembuatan kujang yang sudah 
menggunakan teknologi muktahir. 
   
  Tajam dan kritis
   
  Bila merujuk pada uraian SundaNet.com, maka dapat ditarik satu benang merah 
bahwa Kujang merupakan sebuah perkakas yang notabene mereflesikan ketajaman dan 
daya kritis dalam kehidupan. Utamanya pada saat diterapkan sebagai lambang Jawa 
Barat, Kujang menjadi sebuah simbol bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) adalah 
masyarakat yang juga tajam dan kritis dalam memandang dan menjalani setiap 
perjalanan kehidupannya. 
   
  Melihat pada bentuk, fungsi, dan "sertifikasi" para pemakai alat ini, 
membuktikan Kujang bukanlah semata-mata perkakas biasa. Tetapi sebuah senjata 
khas yang peruntukannya hanya digunakan oleh orang-orang tertentu dengan 
kriteria-kriteria tertentu. Alih-alih demikian, maka dapat ditafsirkan, bahwa 
masyarakat Jawa Barat dengan Kujang sebagai pelambangnya adalah sebuah 
masyarakat yang gagah berani, dan bukan orang sembarangan ataupun orang 
kebanyakan. Baik itu dalam karakter individu maupun kolektif masyarakat 
Kesundaan. Seperti yang terkandung dalam filosofi pangadegna.
  Bukan itu saja, dengan Kujang sebagai pelambang, masyarakat Sunda 
  maupun masyarakat internasional lainnya dapat mengetahui sebuah alur 
penelusuran sejarah tentang kerajaan Pajajaran. Seperti dalam tulisan-tulisan 
tentang Kujang yang menyuratkan ataupun menyiratkan tentang itu. Sebuah "jalan" 
yang tentu saja memerlukan penguatan, dukungan, serta analisis terhadap 
sumber-sumber lainnya tentang Kujang. Sehingga lewat Kujang tergerak semacam 
upaya penelusuran asal usul. Terlebih Kujang tidak saja dikenal sebagai senjata 
khas Sunda ataupun cindera mata 
  dari sebuah gift shop yang dibeli saat meninggalkan Parahyangan tetapi juga 
sebuah lambang masyarakat bernama Jawa Barat. Lambang Masyarakat Sunda. 
   
  Kelompok Tertentu
   
  Sekalipun Kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa 
silam, namun berita Pantun Bogor (PB) tidak menjelaskan alat itu dipakai oleh 
seluruh masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan kelompok 
tertentu seperti para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan 
agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. 
Sedangkan rakyat biasa menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, 
congkrang, sinduk, dan sebagainya. Kalaupun ada yang menggunakan Kujang, 
sebatas jenis pemangkas untuk keperluan berladang. 
  Setiap pemakai Kujang, mempunyai konvensi pembagian bentuk. Hal tersebut 
ditentukan status sosial masing-masing. Bentuk Kujang untuk raja tidak akan 
sama dengan Kujang Balapati atau barisan pratulap dan seterusnya. Melalui 
pembagian tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera 
dalam struktur jabatan Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, 
Lengser dan Brahmesta, Prabu Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, 
Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan 
Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan; Jero termasuk Jero Tangtu; 
Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot. 
   
  Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung di dalam 
golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemakaian Kujang ditentukan oleh 
kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti Kujang Ciung Mata-9 
dipakai hanya oleh raja;. (Eriyanti N.D./"PR")***
   
  ====
  Kujang, Simbol Daerah yang Nyaris Terlupakan
   http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/21/kampus/sains.htm 
   
  KINI, orang mengetahui kujang sebagai simbol pemerintahan Jawa Barat, nama 
angkatan, dan merek dagang produsen pupuk dan semen. Namun, masih sedikit orang 
yang memahami sejarahnya. Hal itu juga karena sedikitnya literatur yang 
tersedia.
  Akan tetapi, mulai 1989 Tedi Permadi (36), menelusuri Ciomas, Garut, Cipari, 
Ciwidey, dan Tasikmalaya, untuk menelusuri jejak kujang. Hingga akhirnya ia 
menemukan artefak benda itu yang terbuat dari logam yang sangat kuat. Setelah 
diidentifikasi, artefak yang ditemukannya adalah alat perkakas yang biasa 
digunakan manusia Sunda di zaman logam. Benda tersebut digunakan sebagai alat 
pertanian dan berkebun. 
   
  Dari temuannya itu, Tedi memberi hipotesa bahwa kujang pada awalnya adalah 
alat perkakas, untuk membantu kerja manusia di zaman prasejarah. Kebiasaan itu 
masih dipakai hingga hari ini. Kebiasaan itu melekat pada komunitas masyarakat 
Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten 
Lebak, Kecamatan Cigudeg dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, Jawa 
Barat. Demikian halnya masyarakat Sunda Wiwitan, urang Kanekes (Baduy) di 
Kabupaten Lebak, Banten yang masih menggunakan kujang untuk membabat huma di 
masa awal bertanam.
   
  Dalam catatan Tedi, yang didasarkan pada naskah-naskah kuno, kujang merupakan 
alat dengan multifungsi, tergantung golongan masyarakat yang menggunakannya. 
Kelompok menak akan menggunakannya sebagai simbol strata sosial dan pusaka. 
Para abdi kerajaan akan menggunakannya sekaligus sebagai senjata. 
   
  Tapi, kujang bukan senjata andalan. Orang tatar Sunda lebih banyak 
menggunakan golok panjang sebagai senjata. Menurut dia, kujang lebih banyak 
digunakan sebagai pertahanan terakhir. “Artinya sama saja dengan harga diri. 
Jika belum terdesak tidak perlu mengorbankan macam-macam,” kata dosen ilmu 
sasta Univeritas Pendidikan Indonesia (UPI) ini, saat ditemui di rumahnya, 
Sabtu (16/9).
  Sedangkan para kaum agamawan menggunakannya sebagai alat ritual dan 
masyarakat sebagai alat bekerja. Namun, tidak ada yang mengetahui dengan pasti 
urut-urutan sejarah yang menggambarkan perjalanan perkembangan fungsi tersebut.
   
  Sebelum Islam masuk ke nusantara, para kaum bangsawan meyakini bahwa kujang 
merupakan benda keramat dan sakral. Hal itu tercermin dari perlakuan mereka 
terhadap kujang. Adanya lubang-lubang pada punggung kujang menunjukan berapa 
banyak kekuatan gaib yang mengisi kujangnya. 
  Kepercayaan itu berlangsung hingga datangnya Islam. Konon, putra Prabu 
Siliwangi, Kiansantang, adalah pihak yang berperan “mengislamkan” kujang. Ia 
mengubah bentuk kujang menjadi huruf sin seperti pada huruf Alquran. 
Lubang-lubang yang berarti kekuatan gaib tidak lagi dipakai.
  Dari penelusuran Tedi, setiap bentuk kujang memiliki makna yang berbeda pula. 
Namun, secara umum, bentuk fisik kujang merupakan perpaduan antara celurit dan 
kapak. Setiap bagian-bagian dari sebilah kujang, memiliki makna tersendiri. 
   
  Mulai dari bentuknya yang melengkung nan artistik, kujang memberi makna pada 
orang Sunda yang lebih menyukai kedinamisan. Lalu pada bagian ujung bilah 
kujang yang sangat runcing (pupucuk), seolah-olah seperti acungan jempol, 
memiliki makna hubungan manusia dengan sang Penciptanya. Kemudian, bagian 
punggung dan perut yang sama-sama tajam menggambarkan bahwa orang Sunda di tiap 
langkah dan tindakannya haruslah melalui pertimbangan yang cermat dan matang. 
Lubang yang pada masa pra-Islam memiliki makna strata sosial dan berapa banyak 
kekuatan gaib yang berada di dalamnya.
  Sadar budaya
  Tedi, sebenarnya khawatir dengan keberadaan kujang. Meski benda ini dipajang 
di mana-mana dalam bentuk foto dan gambar. Walaupun ada yang mencetaknya dalam 
bentuk fisik, tapi masih jauh dari bentuk yang sebenarnya. “Hal yang seperti 
itu nantinya menjadikan orang salah kaprah. Taunya sebagai simbol, tetapi tidak 
tahu simbol apa dan kenapa,” katanya.
   
  Tedi mengatakan, dengan masih ada orang Sunda yang menggunakan kujang atau 
menyimpannya, merupakan sebagian orang yang sadar terhadap kebudayaannya 
sendiri. Orang-orang tersebut masih menghormati leluhurnya dan menyadari bahwa 
alat tersebut merupakan bagian dari sejarah panjang suku bangsanya. 
   
  Namun, Tedi mengakui, memang sulit mengenal kujang pada saat ini. 
Literaturnya masih sangat sedikit dan tersebar. “Akan lebih bagus untuk segera 
membuat buku dari hasil penelitian para ahli tentang kujang,” kata pria yang 
saat ini juga berprofesi sebagai pembuat kujang pamor —menyerupai kujang asli 
yang dibuat secara tradisional.*** 
  agus rakasiwi [EMAIL PROTECTED]
  ===
   
  Dari wikipedia 
   
  Kujang    Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.  
http://id.wikipedia.org/wiki/Kujang
    

  Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang ulai dibuat 
sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, 
panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
   
  Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam 
kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan 
kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, 
hiasan, ataupun cindera mata.
  Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu 
para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para 
putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot.
   
  ===
   
  Kujang juga jadi nama perguruan silat di Belanda:
   
  1. Perguruan Silat Kujang Sakti http://www.kujangsakti.nl/ 
  2. Perguruan Silat Kujang Kencana http://www.kujangkencana.nl/
  3. Pabrik Pupuk Kujang  (ini bukan perguruan silat he he ..)
   
  ===
  TUGU KUJANG di BOGOR
             Tugu Bogor sering disebut juga Tugu Kujang. Tugu ini didirikan 
untuk menghormati peresmian Ibukota Pakuan dari Kerajaan Pajajaran yang 
dipimpin oleh Prabu Siliwangi, hal ini ditunjukan dari penggunaan simbol 
senjata kujang. Senjata ini merupakan senjata rakyat & panji kebesaran berlekuk 
tujuh dengan 3 lubang dibagian pinggir & satu lubang dibagian tengah.
  Tujuan lain dari pendirian tugu ini ialah mengganti monumen kota dari tugu 
pengembalian kota Bogor dari tangan penguasa Inggris ke tangan Belanda (1836), 
yang dulu terletak di pertigaan Jalan Ahmad Yani-Sudirman (Air Mancur).
       Kemungkinan besar yang dimaksud tugu tersebut adalah witte pal atau pal 
utama (1939). Monumen ini didirikan pada simpang tiga Jalan Raya 
Pajajaran-Otista-Baranangsiang pada luas tanah berukuran 26 X 23 meter. yang 
mempunyai tinggi 17 meter dan bagian senjata Kujangnya setinggi 6 meter, 
terbuat dari stainles steel berlapiskan perunggu dan kuningan. Disetiap menara 
beton yang berdimensi tiga ini dipasang perisai lambang Kotamadya Bogor yang 
terdiri dari gambar Burung Garuda, Istana Kepresidenan, Gunung Gede, dan 
senjata Kujang.   Disamping tugu ini dibuat juga suatu plaza berukuran 48 X 19 
meter yang berisikan duplikat prasasti Lingga dan Batutulis Kerajaan Pajajaran 
yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja Ratu Adil.
      


       
---------------------------------
Finding fabulous fares is fun.
Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel 
bargains.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke