Assalaum'alaikum,

Baraya, tadi urang nyobaan nyeken buku *sajarah cirebon/sejarah tanah
sunda *(karek opat halaman). Terus hasil scan di konversi jadi text make
program finereader. Tah ieu geuning hasilna (can diedit). Sigana alus,
euy. Engke urang teruskeun ah, mun kieng.


**

*BURAK PEJAJARAN*

Pada suatu hari Ki Kuwi Sri Mangana menghadap kepada Jeng Sunan Jati dan
Sunan Jati berkata, "Ratna Uwa (Pak De) selamat datang dan apa yang
dikehendaki?" Berkata Sri Mangana, "Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi
(Sri Sang Ratu Dewata Wisesa) sudah mengirim utusan enam puluh orang
yang dikepalai oleh Tumenggung  Jagabaya untuk meninjau atas nama Sang
Prabu bagaimaan keadaan, anak cucunya (anak adalah Pangeran Cakrabuana
dan Ratu Mas Rara-santang dan cucu adalah Sunan Jati Purba dan Ratumas
Pakungwati), namun sekarang wadyabala Pejajaran yang enam puluh orang
itu dengan Ki Tumenggung Jagabaya sudah memeluk agama Islam, oleh;
karena itu Sang Rama Prabu sudah waktunya semoga putra mau datang di
Pejajaran untuk mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh
karena Eyang sekarang mungkin sudah agak ada condongnya/sukanya." Jeng
Sunan Jati mematuhi kehendak Sang Rama Uwa. Segera Jeng Sunan Jati dan
Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pejajaran hendak mengislamkan mengganti
agama Sanghyang dengan agama Islam.


Diceritakn di karton Pejajaran Sang Prabu Siliwangi dan semua istrinya
dan para selir hendak datang meninjau Sang Putra Cakrabuana dan Sang
Cucu Insankamil di Cirebon, orang Pejajaran sudah siap siap. Tidak lama
kemudian ada datangnya Ki Buyut Talibarat sudab ada di hadapan Sang
Prabu. Sang Prabu berkata, "Eyang Talibarat selamat datang, datangnya
tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting." Berkata Ki Buyut
Talibarat, "Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada
sang cucu hendak melakukan agarns Islam, agama orang yang bosok
bolong/busuk berlubang, amoh ajuri rapuh remuk, sejak dahulu hingga
sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Desa Mulya, ialah
Sastrajendra Ayu ningrat yang dipusti amalkan, apakah Sang Prabu silau
melihat kepads putra cucu, nanti ini kraton kutanami pusaka lidi lelaki
supaya kraton tidak tertampak dan Sang Prabu haraplah ngahyang sekarang
juga oleh karena Sang Putra dan Sang Cucu sebentar lagi datang." Sang
Prabu mematuhi saran Ki Buyut Talibarat Segera Kraton di tanami pusaka
lidi lelaki. Para sang istri (Ratu Subanglarang/permai suri Pejajaran
Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat) dan padi sang selir dibawa
ngahyang lalu lenyap tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar.
Seluruh para famili, para putra Sentara tidak dibawa tertinggal di
kraton Pejajaran pada tahun 1482 Masehi. /J /Tidak antara lama kemudian
datanglah Jeng Sunan Jan dan Ki Kuwu Cirebon mengetahui bahwa Sang Prabu
sudah tidak ada dalam kraton. Akan tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu
masih jelas melihat kraton Pejajaran itu sebagai semula lalu masuk ke
dalam kraton, menangkapi para penghuninya, yang sebagian sudah bubar.
Raja Sengara tertang-kap dan para sentara, para eyang sudah diislamkan.
Ada yang ter-tangkap di angkasa, ada yang tertangkap di dalam bumi.
Adapun Arya Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau Islam,
berjanji nanti di akhir jaman. Lalu disuruh kemit/jaga di Cirebon. Ki
Patih Argatala sebawahannya pada bersembunyi di pegunungan Jeng Sunan
Jati dapat melihat mereka lalu berkata, "Patih Argatala sebawahan­nya
seperti siluman tidak bercampur dengan manusia." Ki Patih lalu sujud
tobat namun agama Islam mohon nanti di akhir jaman. Jeng Su­nan Jati
mengampuninya akan tetapi disuruh berkUmpul jaga di Ci­rebon. Jeng Sunan
Jati lalu mendekati Dipati Siput sebawahannya yang bersembunyi di hutan.
Berkata Jeng Sunan Jati, "Dipati Siput sebawahannya berlaku seperti
hewan bersembunyi di hutan. "Sak sama/sekoyong-konyong Dipati Siput
menjadi mac an putih, para ba-wahannya menajdi macan loreng.

Dipati lalu sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman melaksanakan
agama Islam. Berkata Jeng Sunan Jati. "Barangsiapa yang ikut kepada
agama tidak diperbolehkan cam-pur dengan manusia, sebagai hewan dan
siluman." Akan tetapi Dipati Siput sebawahannya diterima pengabdiannya
disuruh kemit/jaga di Cirebon.Lalu Jeng Sunan Jati memasuki kraton
Pejajaran lagi, mendekati para pembesar dan. para kerabat yang pada anut
agama Islam. Jeng Sunan Jati memanggil sang Rama paman Raja Sengara dan
berkata, "Rama seyogyanya mengosongkan kraton Pejajaran." Berkata Raja
Sengara. "Namun Rama Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon Jeng
akan tetapi Rama Raja Sengara jangan berdiam di kraton, oleh karena
Eyang Prabu tidak mau Islam, semoga Sang Rama mau bermukim di lain
tempat, karena kraton Pejajaran sudah pasti menjadi hutan, hanya mi
balai tempat duduk Sang Rama Prabu saya mohon supaya dibawa ke Cirebon
dan alat-alat, pedang, keris, tumbak. "Raja Sengara me-matuhi permintaan
Sang Putra.



Diceritakan masih ada seorang putra perempuan Prabu Siliwangi yang
tertinggal bernama Dewi Balilayaran dapat jodoh dengan satria
trah/turunan   Galuh   kuna  kemudian   membangun  kraton   lagi   di  
luar ibukota Pakwan, disebut Sunan Kabuaran. Negaranya meneruskan nama
Pejajaran, yang kelak di jaman Prabu Seda negaranya dibubar-kaii oleh
bala tentara B.inten Sultan Maulana Yusuf dibantu oleh bala tentara
Cirebon Sultan Kmembahan Ratu. Prabu Seda hingga seda/ wafat pada tahun
1579 M. Seorang putra perempuan Sunan Kabuaran; yang bernama Dewi
Mendapa/Dewi Tanduran Gagang ialah yang men-; jadi lantaran kelak ada
raja menyelang/menjajah di jaman akhir. Ada-f^lah kraton pakwan
Pejajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu kosong menjadi hutan
besar, tidak ada raja lagi, famili sunda bubar ke tujuan masing-masing.

1.      Sunan Pajengan bermukim di Kuningan.

2.      Sunan Manyak bermukim di Traju.

3.      Borosngora bermukim di Panjalu.

4.      Raden Teel bermukim di gunung Bandung.

5.      Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang.

6.      Sanghayang Pandahan bermukim di Ukur menjadi Dipati Ukur.

7.      Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan.

8.      Sanghyang Sogol bermukim di Maleber.

9.      Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung.

10.      Dalem Mayak bermukim di Cilutung.

11.       Dalem Naya bermukim di Ender.

12.      Sunan Ranj am bermukim di Cihaur.

13.      Lumansanjaya bermukim di Sundalarang.

14.      Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang.

15.      Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang.

16.      Sanghyang Tubur bermukim di Panembong.

17.       Sri Puaciputi bermukim di Kawali.

18.      Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yarig menurun
kepada menak-menak di Sumedang, di Ciasem; di Cianjur, di Bogor, di
Krawang itu semua adalah turunan Taji Malela.





25. JENG SUNAN *JATI DAN KI KUWU CIREBON BERTOLAK KE BANTEN*



Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah barat
tujuannya ke Banten, datang sudah di Kegeng Kawunganten. Jeng Sunan Jati
berhasil mengislamkan Ki Gedeng Kawunganten seanak cucunya dan serakyat
Kawunganten sudah turut masuk Islam. Para gegedeng tetangganya sudah
pada suhud anut. Syahdan   Jeng   Sunan  Jati melihat putrinya Ki Gedeng
Kawunganten yang bernama Dewi Kawunganten merasa suka, lalu diminta
untuk dijadikan istri. Sebakdanya pemikahan kemudian antara sebulan
lama-nya lalu Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu bertolak pulang ke Cirebon
membawa   istri Jeng Sunan Jati, Dewi Kawunganten, datang sudah di
pesanggrahan gunung Sembung. Jeng Sunan Jati segera menggelar-kan agama
meneruskan sebagai Imam. Para gegedeng pula para buyut, Syekh Magrib,
Syekh Majagung, Syekh Bentong, Syekh Lemahabang, dan   Pangeran
Panjunan, Pangeran Kejaksan dan Syekh Datuk Cliafid pada    menghadap.  
Jeng   Sunan Jati siang malam memberi wejangan kitab Qur'an, seluruh
para murid pada berkumpul semua. Dalam    fikiran    Pangeran Panjunan
terlintas suatu pendapat, sayang yang  jadi   Imam wejangannya hanya
fikih saja, seyogya oarng-orang muda    yang   pada  merubung, bukan
seyogya ttfmpatnya orang-orang tuwa. Karenanya Pangeran Panjunan tidak
mau menghadap lagi, se-terusnya tafakur saja di dalam amsjid Panjunan.
Tidak antara lama kemudian Jeng Sunan Jati datanglah menemui Pangeran
Panjunan, segeralah   Pangeran Panjunan menubruk Jeng Sunan Jati
dikanti/di-bimbing   duduk   sejajar. Pangeran Panjunan berkata,
"Selamat datang adik Sunan, tidak disangka mau datang di Panjunan,
bagimana yang dikehendaki?" Berkata Jeng Sunan Jati," "Mungkin adik
tidak seyogya menjadi   Imam   yang digelarkan hanya kitab Fikih dan
Qur'an, untuk orang   yang berilmu kurang condong/kurang suka, karena
adik adalah orang   bodoh." Berkata Pangeran Panjunan, "Dan apalah
bawaan adik dari   Mesir,   ilmu apakah yang jadi pegangan?" Jeng Sunan
Jati men-jawab, "Si adik hanya membawa ilmu sahabat yang jadi pegangan,
sa-rengat   yang   digelarkan." Berkata Pangeran Panjunan, 'Adik,
sahadat dan   sarengat  adalah untuk orang awam, umum sudah
mengetahuihya, itu   adalah amalan sarengat untuk santri dan kaum
agamanya, adapun ilmu  kemakrifatan dan ketaukhidan, ilmu kesempurnaan
seyogya adik yang empunya." Berkata Hidayatullah, "Semoga ada sih Jeng
Kakak si adik   diberi wejangan ilmu yang sempurna." Jeng Pangeran
Panjunan segera memberi wejangan ilmu kemakrifatan atau kesempurnaannya,
ketaukhidan,   selesailah   sudah   wejangannya. Jeng Sunan, Jati
meng-ucap terima kasib lalu berkata, "Jeng kakak seyogya jadi Raja
Panetep Panata  Agama,  lebih  seyogya  Jeng  kakak yang menjabatnya."
Ber­kata Pangeran  Panjunan, "Sudah dipastikan tidak boleh dirubah Jeng
Adik  yang   menjadi   Nata/Raja    seturunannya   dan war is pemegang
agama, si kakak tidak kejatuhan waris menjadi Ratu/Raja dan meng-8^e
'arkan   sarengat   agama,   akan tetapi si Raka menyetujuinya." Lalu
Wak   antara lama Jeng Sunan mohon pamit,  segera datang sudah ^di
gunung Sembung.


Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id




SPONSORED LINKS
Corporate culture Business culture of china Organizational culture
Organizational culture change Organizational culture assessment Jewish culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke