http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/buat-apa-jakarta-dibenahi/
Selasa, 03 Agustus 2010 12:50 TAJUK RENCANA Buat Apa Jakarta Dibenahi? Kita mulai memetik kegagalan membangun Jakarta sebagai ibu kota yang nyaman. Puncak perasaan gagal itu tercermin dari keinginan untuk memindahkan ibu kota negara ke tempat lain. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain pindah. Sejumlah pemerintah asing juga memindahkan ibu kotanya, namun pada umumnya dilakukan sebelum kondisi ibu kota yang lama benar-benar parah. Pemindahan dilakukan antara lain berdasarkan fungsi untuk memenuhi kebutuhan sebagai pusat pemerintahan, serta prestise, sebab menjadi etalase nasional. Australia, Amerika Serikat, Belanda, dan Brasil misalnya memiliki ibu kota yang, secara relatif, semata-mata berperan sebagai pusat pemerintahan. Semua kota-kota itu dibangun secara saksama hingga memenuhi prinsip-prinsip kebutuhan sebagai pusat pemerintah. Pemindahan lokasi ibu kota itu membuat khalayak dapat membedakan secara jelas atmosfer Canberra dengan Sydney yang merupakan kota dagang, antara Washington DC dengan New York. Ibu kota negara terasa lebih lengang, nyaman, tertata, atau lebih teratur. Tidak semua pemerintah memindahkan lokasi ibu kota secara drastis. Pemerintahan PM Mahathir Mohammad memindahkan pusat pemerintahan ke Putra Jaya, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Kuala Lumpur. Jalan raya bebas hambatan dan jalur angkutan massal menghubungkan Kuala Lumpur-Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), sedangkan Putra Jaya terletak di antara keduanya. Pemerintah Afrika Selatan mempunyai cara yang cerdik dengan memisahkan pusat-pusat trias politica. Pretoria menjadi ibu kota negara di mana instansi-instansi eksekutif berlokasi. Lembaga legislatif berpusat di Cape Town yang jauhnya sekitar dua jam penerbangan dari Johannesburg, tetangga Pretoria. Adapun lembaga yudikatif berlokasi di Bloomfoentein. Sejak era kolonial, gambaran tentang Jakarta tidak menyenangkan. Kondisi Jakarta yang bakal tidak memadai itu yang dibayangkan Presiden Soekarno, hingga ia berencana memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Rencana ini kandas dan gagasan memindahkan ibu kota ke kawasan Jonggol, Jawa Barat juga pernah dilontarkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Bila rencana Presiden Soekarno direalisikan, wajah Indonesia tentu tak seperti sekarang. Kalimantan bakal lebih berkembang dan bukan cuma menjadi pulau yang mengalami kehancuran lingkungan tak terperi. Kita tak perlu menyesali bila kondisi lalu lintas, polusi Jakarta, kualitas kehidupan ekonomis, dan sosial di Jakarta yang semakin buruk. Mengingat, semuanya itu umumnya merupakan kesengajaan, atau mengetahui dampaknya tetapi tidak peduli. Pemerintahan Presiden Soeharto menjalankan strategi pembangunan yang bertumpu pada pinjaman dan modal asing. Pembangunan ekonomi menyebabkan kota-kota-kota besar seperti Jakarta menjadi kutub-kutub pertumbuhan. Hal ini menyebabkan penduduk di pedesaan atau kota-kota lain datang ke Jakarta dengan berbagai motif. Hal tersebut menyebabkan tekanan yang besar dalam mana Pemda DKI karena mesti menyediakan fasilitas perumahan, kesehatan, transportasi, dan berbagai fasilitas umum lainnya. Pendatang umumnya tak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Mereka kemudian mengisi celah sektor informal, seperti menjadi pedagang yang berlokasi di trotoar. Kondisi makin buruk sebab para pengusaha maupun pejabat sepakat mengabaikan tata ruang. Pusat-pusat perbelanjaan berdiri di setiap sudut jalan atau perempatan, sedangkan upaya menyediakan taman atau ruang terbuka berjalan seperti siput. Tambahan lagi, terdapat aspek-aspek yang tak mudah dimengerti. Kementerian Keuangan menahan bus-bus untuk TransJakarta dengan dalih belum membayar bea masuk. Dana Timur Tengah pun tersendat, hingga kita tergantung pada kreditur tradisional seperti Jepang yang banyak memiliki kepentingan otomotif. Jadi, biarkan saja Jakarta seperti ini! n [Non-text portions of this message have been removed]