Hormat Kepada Setiap Orang, Hormat Kepada Sahabat ra
Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani an-Naqshbandi
www.mevlanasufi.blogspot.com


Bismillah hirRohmaanir Rohim

Seorang saudara bertanya, "Syeh Nazim, bagaimana kita bisa menghormati setiap 
orang, sebagaimana yang anda sampaikan kami harus lakukan? Beberapa orang, 
saya, seperti yang lainnya tidak demikian. Bagaimana saya bisa menjaga sikap 
hormat untuk semua?"
 
Maulana menjawab, "Kita menghormati semua sifat manusia, semua orang karena 
mereka merupakan ciptaan Tuhan kita. Mereka milik Allah. Apakah terlalu 
berlebihan untuk menghormati hamba-hambaNya, demi kemulianNya? Kamu menghormati 
anak saya, contohnya.  Kamu berkata, 'Ini anak Syeh Nazim.' Mengapa? Demi diri 
saya, demi kemuliaan saya. Demi Allah, yang merupakan pemilik semua orang, demi 
Dia, kita menghormati semua. Dan demi Muhammad (saw), kita menghormati umat 
beliau, tanpa melihat sifat-sifat individu mereka.
 
"Bila kita melihat sifat-sifat mereka, kita tidak bisa menghormati. Tapi tanpa 
melihat sifat-sifat mereka, kita mengatakan, 'Mereka hamba-hamba Tuhan kita, 
dan umat Nabi kita, kita memberikan mereka sikap hormat.' Ini demi kemuliaan 
Allah dan RasulNya (saw).
 
 
"Kita memberikan mereka sikap hormat, bahkan jika mereka menyakiti kita. Ini 
karena Allah berfirman, 'Wahai hambaKu! Bersabarlah terhadap hamba-hambaKu! 
Janganlah melihat pada kerugian yang mereka mungkin bawa kepadamu. Bersabarlah; 
Aku akan memberikanmu pahala!"
 
 
"Apakah sikap hormat, Syeh Nazim?" tanya seorang murid.
 
 
"Yaitu untuk menjaga kemuliaan mereka," jawab Maulana. "Sikap hormat berarti 
memberikan mereka nilai, tanpa melihat sifat-sifat mereka. Abu Yazid al-Bistami 
(semoga Allah menganugerahkan beliau lebih banyak kemuliaan), Raja para Awliya, 
berkata, 'Saya tidak pernah bertemu orang yang tidak saya hormati. Entah dia 
lebih tua, lebih muda, Muslim, atau bukan, saya tetap menghormati siapa saja.'
 
 
"Setiap orang," Syeh Nazim melanjutkan, "karena tak seorangpun tahu bagaimana 
akhir hidup kita - siapa dari kita yang memperoleh kebenaran, siapa yang 
memperoleh Iman. Mungkin dia yang dianggap sebagai yang tidak beriman akan 
menjadi beriman pada akhirnya, sedangkan dia yang menganggap sebagai orang yang 
beriman akan kehilangan keyakinannya. Oleh karena itu Abu Yazid (semoga Allah 
menganugerahkan beliau lebih banyak kemuliaan) berkata, 'Saya mewajibkan diri 
saya agar menjaga sikap hormat terhadap semua orang, dan saya tidak pernah 
mengharapkan siapapun untuk menghormati saya.'
 
 
"Apakah kalian memahaminya? Abu Yazid (semoga Allah menganugerahkan beliau 
lebih banyak kemuliaan) tidak pernah berharap siapapun menghormati beliau bahwa 
dirinya seorang Raja para Aulia. Ini tidak pernah muncul dalam hatinya! Apa 
arti kerendahan hatinya? Inilah posisi tertinggi dari sifat rendah hati.
 
 
"Kita semua menunggu dihormati oleh yang lain. Mengapa mereka tidak berdiri 
untuk kita? Mengapa mereka tidak menghormati kita? Sekarang ini, setiap orang 
meminta hal ini. Tidak ada yang minta untuk menghormati yang lain, mereka hanya 
minta agar dihormati. Tak seorangpun menyadari bahwa jika kamu memberikan sikap 
hormat kepada yang lain, mereka akan menghormati kamu juga. Bila kamu 
menghormati mereka, mereka akan menghormati kamu tanpa kamu minta. Ini 
merupakan perintah Allah yang Maha Kuasa! Ini merupakan kewajiban kamu menjaga 
sikap hormat terhadap semua orang. Jangan meminta orang lain agar 
menghormatimu! Inilah jalan kita menuju Allah yang Maha Kuasa; dengan sikap 
rendah hati, tidak dengan sikap bangga.
 
 
"Kamu harus menjaga hak-hak orang lain. Apakah artinya ini? Setiap manusia 
mempunyai hak dalam hidup ini yang harus kita hormati. Kita harus menjaga 
kemuliaan mereka, harta benda mereka, dan hak-hak mereka sebagai tetangga; 
tidak menyakiti mereka atau memanfaatkan mereka. Jika mereka membutuhkan 
bantuanmu, janganlah disembunyikan. Bila mereka melihat wajahmu, kamu harus 
menyapa mereka."
 
 
Seorang saudara bertanya, "Apakah ini berarti bahwa seseorang yang menganggap 
dirinya terlalu tinggi agar direndahkan; bahwa dia dijadikan bahan cacian; dan 
dipermalukan di depan banyak orang? Bukankah ini pernah dilakukan oleh para 
sufi kadang-kadang dengan tujuan merendahkan seseorang?
 
 
Syeh menjawab, "Tidak perlu. Jika dia terlalu angkuh, jangan duduk bersamanya. 
Kamu harus melihat niatnya. Mengapa ia menghina orang? Kamu harus selalu 
melihat niat seseorang."
 
 
Murid yang lain berkata, "Saya pernah mengalami komentar yang memalukan, 
biasanya mengenai agama saya. Saya bisa mendengarkan dan tetap menjaga mulut 
saya sampai waktu tertentu, tapi setelah beberapa lama saya merasa diri saya 
seperti orang bodoh. Orang yang menghina saya pasti merasa bahwa saya bodoh 
juga."
 
 
"Jangan!" jawab Syeh Nazim, "kamu tidak perlu membiarkan penghinaan mereka 
dengan berdiam diri. Kamu harus meminta dari mereka 'fursa' izin untuk 
memberikan jawaban terhadap perkataan mereka. Kamu harus meminta, dengan segala 
hormat terhadap orang tersebut, 'Untuk satu menit bolehkah saya bicara?' Lalu 
kamu boleh menyatakan pendapatmu. Jangan bertengkar dengan mereka ketika mereka 
menghina."
 
 
Pertanyaan kedua berlanjut, "Berulang kali kita bertemu orang-orang yang 
bersikap dan berbicara sangat buruk..."
 
 
Yang lain menambahkan, "...dan kita ingin berkata pada mereka, 'Lihatlah apa 
yang kamu lakukan! Tidakkah kamu malu pada dirimu sendiri?' Bukankah ini 
terkadang berguna?"
 
 
Syeh menjawab dengan sabar, "Kita harus menjawab hanya dalam batas-batas 
hormat. Dia 'jahil' dan kita tidak boleh turun ke tingkatan mereka dengan 
bertukar pendapat dan penghinaan. Tingkatannya terlalu rendah, kita tidak boleh 
seperti dia. Mengerti?"
 
The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani
by Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani

wasalam, arief hamdani
www.rumicafe.blogspot.com
 


      

Kirim email ke