Yang melatarbelakangi saya mengutip tulisan ini adalah adanya ikhwan yang 
pernah saya ketahui terjebak saat ta'aruf. Maksudnya adalah ta'aruf yang 
semestinya dijalankan sesuai kaedah yang benar malah membuat pelakunya menjurus 
ke arah yang tidak diinginkan Islam. Hendak hati si ikhwan ingin menikahi si 
akhwat, malah terucap janji kepada si akhwat untuk menikahi tanpa tahu kapan 
janji itu akan ditepati si ikhwan. Akibatnya, komunikasi diantara keduanya pun 
tidak terbimbing secara syar'i. Ya, itulah secuil fenomena seputar cinta dua 
sejoli manusia. Mungkin ada benarnya jika cinta bisa membutakan mata hati 
seseorang walaupun dia ikhwan atau akhwat (istilah yang sering dipakai untuk 
laki-laki dan perempuan yang paham agama, wallahu'allam). Bahkan membutakan 
mata hati untuk taat kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Na'udzubillah.

Tulisan berikut dikutip dari tulisan Ustadz Abu Umar Basyier dalam bukunya 
Ta'aruf Dulu, Baru Menikah. Semoga bisa menjadi nasehat bagi kita semua. 
Selamat membaca.

Terkadang, dengan niat awal ta'aruf, sebagian pria terjebak dalam aksi-aksi 
yang menjurus ke bentuk pacaran yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Pertama 
diawali dengan bertemu muka, dan mengobrol seadanya, dengan ditemani mahram. 
Lalu pertemuan itu diulang hingga beberapa kali, dengan alasan untuk semakin 
mengenal pasangannya. Lalu kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan tanpa 
ditemani mahram. Awalnya hanya memperbincangkan hal-hal serius, yang 
betul-betul penting. Namun,  kemudian mereka ngobrol betulan, mulai merambah ke 
hal-hal yang tidak penting. Memang, masih dengan mengenakan hijab, namun… 
terjadilah saling memandang dan kadang juga berdua-duaan yang sangat diharamkan 
itu. Mereka juga tidak berniat pacaran, tapi akhirnya terjebak juga dalam 
simbol-simbolnya.

Hal-hal yang terjadi di luar kesadaran, biasanya relatif terkesan natural, 
sehingga kesan mengalirnya lebih jelas, dan membuat orang lupa memikirkan 
berbagai hal. Tapi sudah seharusnya setiap muslim dan  muslimah tetap ingat 
bahwa ta'aruf adalah proses menuju pernikahan. Sementara pernikahan itu adalah 
lembaga yang suci. Setiap hal yang  suci harus dimulai dari kesucian. Kalau 
saat memulainya saja seseorang sudah berani melanggar aturan-aturan Allah, maka 
bagaimana rumah tangga yang akan tercipta, dari gaya ta'aruf seperti itu? dalam 
hadits disebutkan, Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang luhur dan mulia, 
serta membenci hal-hal yang rendah dan hina. (HR. Thabrani, dishahihkan al 
Albani)

Mata kita mungkin saja digelapkan oleh gemerlap dunia, keindahan syahwat, atau 
hiburan nafsu. Tapi persoalannya, kita masih punya iman. Nurani kita amat 
mengetahui kecenderungan nafsu yang mulai merambati jiwa kita. Naluri jahat 
bisa saja membungkus dosa dan maksiat dengan jubah kebenaran, menutupi 
kekeliruan dan kesalahan dengan selimut syariat Yang Maha Bijaksana. Tapi 
fitrah dan nurani yang sehat, yang masih berisi iman, selalu saja mengetahui 
tipu daya itu. Hanya persoalannya, kita mengabaikannya atau tidak.

Yang sering terjadi, sebagian kita mengabaikan begitu saja peringatan hati 
nurani tersebut. Kita sudah mengetahui batasan yang ada, tapi sengaja kita 
tabrak. Kita sudah tahu adab dan etika dalam ta'aruf, etika dan aturan Islam 
terhadap lawan jenis yang bukan mahram, yang baru saja hendak kita ajak 
berkenalan sebagai calon pasangan kita, tapi kemudian kita abaikan semua etika 
itu.

Bagi kalangan muda-mudi, mengobrol dengan lawan jenis memang seringkali 
menggoda. Bahkan bukan hanya muda-mudi. Sebagian kalangan yang sudah cukup umur 
tapi terlambat menikah pun, atau bisa jadi orang yang beristri dan ingin 
mengenal wanita lain sebagai calon keduanya, ternyata juga sering tergoda untuk 
menikmati obrolan dengan wanita yang bukan mahramnya tersebut.

Pada saat ini, ngobrol dengan sang calon juga tak musti harus saling berjumpa, 
namun bisa pula dilakukan dengan lewat telepon atau sms, biasanya juga diawali 
dari hal-hal sederhana, namun akhirnya berkembang, mulai ada gelombang ombak, 
kejutan-kejutan, bahkan obrolan yang seringkali mengobarkan hasrat birahi. 
Akhirnya, tiada hari tanpa sms si dia. Sekadar menanyakan, "Sudah shalat 
belum?" "Kalau capek bobok dulu ya…". Sampai ungkapan, "Ku sayang padamu…". 
Sebenarnya, hal itu tidak pantas terjadi dalam proses pernikahan pra nikah, 
yang katanya dipandu dengan dasar-dasar syariat.

Maksud hati hanya ingin mengenal lebih jauh, justru mereka terjebak untuk 
bermaksiat lebih jauh. Tawaran maksiat itu terlalu indah untuk dinikmati, 
terutama bila hati sudah tertembus panah iblis. Berbagai alasan bisa saja 
digulirkan untuk setidaknya mengaburkan kesan-kesan dosa pada aksi-aksi 
tersebut. Seolah-olah segala aksi maksiat itu akan begitu saja terabaikan, 
selama niat dan tujuan adalah baik, selama keinginannya adalah menikah dengan 
cara yang disyariatkan, dengan wanita yang dianggap "shalihah". Bukankah itu 
disebut al-ghayatul tubarrirul wasilah (tujuan yang baik itu bisa menghalalkan 
segala cara)?. Itu adalah motto kalangan modernis dan sekuler [yang diadopsi 
dari donaturnya Zionis Yahudi].

Tentu mereka-yang sudah tahu hukumnya- tidak berniat seperti itu. Ini hanya 
soal begitu mudahnya seseorang tergoda maksiat, ketika tawaran-tawatan maksiat 
itu begitu memikat hati, apalagi kalau sudah soal hubungan dengan lawan jenis. 
Tapi akan menjadi sangat ironis ketika itu terjadi dalam penerapan sebuah 
kebiasaan yang dianggap paling sesuai denga panduan syariat. Sungguh merupakan 
kenyataan yang ironis, jika itu terjadi, saat kita sedang berhadapan dengan 
budaya-budaya multidemensional, gaya hidup yang sudah terkotori kaum kafir, dan 
kita datang dengan alternatif budaya Islam, yang salah satunya diwakili oleh 
ta'aruf. Jangan biarkan kebiasaan  baik ini ternoda oleh aplikasi kebablasan 
itu.
http://azwarrhosyied.wordpress.com/2009/02/01/jangan-terjebak-saat-taaruf/

Kirim email ke