Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 23  Januari 2007
----------------------------

TIONGKOK Yang  KUKENAL (1)
Enam tahun yang lalu, pada waktu Republik Rakyat Tiongkok mencapai 
usia 50 tahun,  aku ditilpuni  VARA dari Hilversum. Radio/TV  VARA
adalah  sebuah pemancar  non-pemerintah yang dapat subsidi dari
pemerintah Belanda. VARA  mengundang  aku untuk datang ke studio
mereka.  Mereka bertanya:  Apakah aku bersedia diwawancarai berkenaan
dengan usia setengah abad Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa aku?
Fikirku. Why me? Tetapi pertanyaanku itu tak penting untuk dijawab. 
Peniplun dari VARA itu  kujawab serta merata:  'Ja  Meneer! Ik
accepteer uw uitnodiging'. Ya, undangan kalian saya terima. 

VARA gembira dan  segera mengatur menjemput aku di rumah untuk
kemudian mengantar kembali pulang. Suatu service istimewa,  fikirku.
Mengapa?  Nyatanya,  ketika itu  di mancanegara  sedang ramai-ramainya
media membicarakan tentang Republik Rakyat Tiongkok dan Tiongkok
secara umum, berkenaan dengan ulang tahun ke-50  Republik Rakyat
Tiongkok. Logis, di Belanda VARA tidak ingin ketinggalan,  untuk  juga
ambil bagian dalam mengomentari Tiongkok Baru. Untuk itu a.l VARA
memanfaatkan aku.

Satu hal yang gencar sekali disasar  oleh wartawan VARA yang
mewawancaraiku,  adalah masalah 'pelanggaran HAM di Tiongkok'.  Kata
wartawan VARA itu: Anda punya hubungan baik dengan Tiongkok. Adakah
Anda persoalkan masalah HAM dengan pejabat-pejabat Tiongkok? Kebetulan
aku bisa jawab langsung. Aku katakan kepadanya, karena aku punya
hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok, aku tidak segan dengan
terus terang, langsung dan terbuka bicara mengenai kritik-kritik yang
ada terhadap Tiongkok, khususnya yang bersangkutan dengan 'pelanggaran
HAM'.

Dalam tahun 1998 aku mengunjungi Tiongkok (lagi), kataku kepada VARA.
Di salah satu tempat di Tiongkok, aku berdialog dengan seorang kader
pimpinan  Tiongkok setempat, tingkat provinsi. Aku kemukakan kepada
pejabat provinsi itu,  tentang komentar mengenai pelanggaran HAM di
Tiongkok. Sahabatku kader provinsi itu,  mendengarkan dengan sabar
tentang kritik luar terhadap Tiongkok bersangkutan dengan pelanggaran
HAM. 

Dengan serius dan nada geram, yang tidak disembunyikan, ia berkata:
Orang yang mengeritik kami tentang pelanggaran HAM di Tiongkok, mereka
itu tidak benar. Kritrik-kritik mereka itu tidak adil! Puluhan tahun
lamanya kami bekerja keras untuk memperbaiki dan memajukan peri
kehidupan rakyat Tiongkok. Kami mencapai hasil-hasil yang nyata dalam
pembangunan negeri dan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ini adalah
tugas utama kami, ini adalah tugas menyangkut hak-hak azasi manusia
Tiongkok yang harus kami penuhi. Sesungguhnya di Barat dan sementara
negeri lainnya, pelanggaran HAM lebih besar dan lebih serius terjadi.
Lihat di negeri mereka sendiri. Apakah di negeri mereka itu tidak ada
pelanggaran HAM. Jelas ada,  bahkan amat besar.  Mengapa mereka
menjadikan Tiongkok sebagai sasaran utama mereka? 

Aku bisa mengerti reaksi sahabat Tiongkok ku itu. Sebelumnya aku juga
pernah mengajukan pendapatku  kepada Tiongkok mengenai masalah
'oposisi' di Tiongkok. Tapi mengenai itu nanti akan dibicarakan
belakangan.

*    *    *

Menyela sedikit. 
Sudah beberapa  kali aku menulis  tentang Tiongkok. Masih saja kurasa
ada perlunya menulis lagi, dan menulis lagi tentang Tiongkok. Karena
Tiongkok perkembangannya begitu cepat dan banyak yang mengatakan:
MENAKJUBKAN. Sahabatku Sugeng Slameto (sayang ia baru-baru ini
meninggal dalam 'usia muda'), belum lama menulis sampai 9 artikel
tentang Tiongkok, sesudah dalam musim panas y.l  bersama satu
rombongan terdiri dari 19 orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok.
Sugeng punya kesan yang baik dan bersahabat tentang Tiongkok. Aku
sengaja menekankan sikap bersahabat Sugeng Slameto terhadap Tiongkok.
Karena kuanggap sikap itu baik dan tepat.  

Memang benarlah apa yang ditulis oleh sejarawan Inggris E.H. Carr
(1961), bahwa, sekarang ini orang  ingin mengerti, dan mengambil
posisi terhadapnya, tidak saja tentang keadaan sekitarnya, tetapi juga
terhadap dirinya; dan hal ini telah menambahkan dimensi baru terhadap
akal,  suatu dimensi baru terhadap sejarah. Abad ini adalah abad yang
paling history-minded terbanding abad-abad lalu. Manusia modern sampai
derajat  yang tak pernah tercapai sebelumnya, sadar akan dirinya dan
oleh karena itu sadar-sejarah. Demikian sejarawan E.H. Carr.

*   *   *

Ada juga yang bilang,  Tiongkok sekarang   m e  n a k u t k a n.  Lalu
berkampanye tentang bahaya Tiongkok sebagai 'superpower baru'. Tentang
'Bahaya Kuning' ,dsb. Kuingat ketika berkunjung ke Indonesia dalam
tahun 2001 dan sempat ngomong-ngomong dengan tokoh nasionalis Ruslan
Abdulgani. Beliau menandaskan tentang 'bahaya mendatang' yang dihadapi
Asia. Bukan Amerika atau Jepang, kata Ruslan. Tetapi Tiongkok. Nah,
jangan kaget terhadap pendapat Ruslan.  

 Jurnalis dan penulis terkenal Amerika Edgar Snow (1905-1972), dalam
bukunya RED STAR OVER CHINA (edisi pertama 1936,  edisi yang
diperbaharui 1972),  menandaskan bahwa Tiongkok adalah suatu negeri
yang sedang berrevolusi. Suatu 'REVOLUTION IN THE MAKING'. Revolusi
yang mengubah Tiongkok itu, kata Snow,  adalah suatu transformasi yang
paling hebat di sepanjang 3000 tahun sejarah Tiongkok. Mungkin ada
benarnya yang pernah dikatakan  mengenai Tiongkok oleh  salah seorang
 negarawan Perancis, Napoleon Bonaparte,  Kaisar Perancis dan seorang
diktator (1804-1815). Kata Napoleon, di Timur sana ada Singa yamg
sedang tidur. Jangan usik! Karena, begitu   bangun sang Singa akan
menggemparkan  seluruh dunia.

Sebab lainnya, yang mendorong aku sekarang ini menulis lagi tentang
Tiongkok, ialah dialogku belakangan ini dengan penulis dan penyair,
sahabatku, Asahan Aidit. Kami bertukar fikiran mengenai Mao dan buku
bestseller  penulis Jung Chang dan suaminya Halliday, 'MAO, THE
UNKNOWN STORY. Terima kasih sahabatku Asahan,  tanggapan-tanggapan
Anda menggugahku untuk menulis lagi tentang Tiongkok.

*   *   *

Sedikit penjelasan. Mengapa   penyiar radio VARA  khusus minta aku
bicara dengan  mereka?  'Via-via', akhirnya  mereka tahu bahwa aku 
adalah seorang Indonesia yang pernah duapuluh tahun lebih bekerja dan
berdomisili di Beijing (1966-1986).  

Sebelumnya, yaitu dalam musim panas tahun 1963  aku bersama keluarga
pernah diundang ke Tiongkok. Kami saksikan Tiongkok yang baru saja
pulih dari 'musibah'  yang membawa tidak sedikit korban di kalangan
rakyat, dan kerugian ekonomi besar, akibat dilaksanakannya politik
ekonomi  Partai Komunis Tiongkok yang ternyata salah besar, di bawah
Mao Tjetung. Yaitu kebijaksanaan  pembangunan 'Komune Rakyat' dan 
'Maju melompat besar' Tujuannya ialah, untuk dalam waktu singkat  dan
secepat  mungkin membangun Sosialisme di Tiongkok serta melampaui
Barat dalam bidang-bidang ekonomi yang penting. Ketika menyimpulkan
pengalaman negatif ini, pimpinan Tiongkok sesudah meninggalnya Mao
Tjetung, menyatakan bahwa politik ekonomi yang salah itu sumbernya
adalah Mao Tjetung, meskipun pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan
pemerintah Tiongkok  juga menyatakan bahwa mereka  tidak bisa 'cuci
tangan', dan sebagai penguasa  lari dari tanggung-jawabnya.  

*   *   *

VARA tahu juga bahwa sejak kami  meninggalkan Tiongkok lebih sekali 
aku berkunjung lagi ke Tiongkok. Dan mungkin tahu juga bahwa aku 
tetap memelihara hubungan baik dengan teman-orang Tiongkok yang
sebidang pekerjaan. Yaitu yang aktif di Komite Tiongkok Untuk
Setiakawan dengan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika dan dari Komite Tiongkok
untuk Persahabatan dengan Luarnegeri (Youxie) di Beijing.. Bisa saja 
VARA tahu, juga via-via,  bahwa aku kenal dengan sementara tokoh atau
pejabat Tiongkok. Aku tidak sembunyikan itu. Itu bukan rahasia.
Meskipun, bisa saja macam-macam analisis orang Belanda mengenai kami
sekeluarga. Maklum, meskipun Perang Dingin sudah jadi sejarah, tetapi
pengaruh dan dampaknya pada fikiran sementara orang, termasuk penguasa
di Belanda,  masih kuat. 

Namun, sebagai warganegara Belanda, aku tidak khawatir akan
'diapa-apakan'  karena diketahui bersahabat dengan Tiongkok, karena,
nyatanya, sekarang ini pemerintah Belanda juga punya hubungan baik
dengan Republik Rakyat Tiongkok. Bahkan ingin mengembangkannya.

Aku tidak sembunyikan bahwa aku  bersikap bersahabat dengan Tiongkok.
Bahwa duapuluh tahun lamanya kami sekeluarga  tinggal di Tiongkok
Bahwa  empat orang putri kami, semuanya bersekolah di Tiongkok. Tiga
orang putri kami menamatkan pendidikan  di tingkat
universitas/akademi, dan yang bungsu baru memasuki tahun pertama
akademi ekonomi. Kemudian meneruskan studinya di Belanda. 

Meskipun suasana di Belanda, ketika kami baru tiba,  masih dalam
cengkeraman kultur 'Perang Dingin', bukan main curiga pada Tiongiok
dan segala sesuatu yang Kiri, ditakuti dan mungkin saja diawasi,  tokh
tak kusembunyikan sikapku tentang  Tiongkok . Seperti biasa ada 
sementara yang  sejak semula mengambil posisi yang 'hostile',  anti, 
benci  bahkan bermusuhan terhadap Tiongkok. Sebabnya macam-macam.
Tidak urgen untuk dimasuki masalah tsb kali ini.  Selain yang
'netral', ada pula yang mengambil sikap bersahabat atau  bisa
dikatakan 'pro-Tiongkok'. Pada periode Perang Dingin, bila diketahui
bersikap simpati atau bersahabat dengan Tiongkok, kontan akan dicap
'Komunis', atau, kalau itu orang Indonesia akan dituduh anggota  PKI.
Sekarang, pada masa pasca 'Perang Dingin',  sesudah Tiongkok menempuh
haluan politik baru, dengan  diberikannya kesempatan luas bagi modal
asing menanam modal dan berusaha di Tiongkok,  memberlakukan ekonomi
pasar, dsb.,  sikap bersahabat dengan Tiongkok umumnya tidak akan
dicap sebagai 'Komunis' atau PKI. <Mengenai cap 'PKI' ini memang tidak
relevan,  umumnya masyarakat sudah bosan bahkan muak mendengarnya,
karena PKI sudah tidak ada lagi. Sementara orang kini menggapnya
sebagai hantu, yang sekali tempo bisa menggerayangi rumah mereka dan
membahayakannya. Maka  dari waktu ke waktu mereka angkat suara: 'Awas
bahaya komunis!'>

*   *   *

Tak terelakkan ada pertanyaan, mengapa aku, keluargaku yang pernah
duapuluh tahun tinggal dan bekerja di Tiongkok, mengambil sikap
BERSAHABAT dengan TIONGKOK. Dan pertanyaan ini baik dijawab
sebisa-bisanjya. Sejujur-jujurnya.

Hubungan persahabatku dengan Tiongkok Baru, dengan aktivis-aktivis
Tiongkok Baru, telah dimulai jauh sebelum aku dan keluarga berkunjung
ke Tiongkok. 

Suatu ketika dalam tahun 1952,  bersama seorang kawan lagi, aku diutus
ke Kopenhagen, Denmark, untuk mewakili Pemuda Indonesia dalam  suatu
Konferensi Persiapan untuk Kongres Pemuda Sedunia yang akan
berlangsung di Wina, Austria. Di dalam konferensi itulah aku mula
berhubungan dan kenal dengan utusan pemuda Republik Rakyat Tiongkok
yang hadir dalam konferensi persiapan itu. Kali berikutnya  ketika 
sebagai utusan Komite Perdamaian Indonesia, menghadiri Sidang Biro
Perdamaian Dunia (1956) di Wina, hubungan dan kerjasama kami dengan
utusan Tiongkok semakin erat.  Wajar sekali,  bahwa perkembangan
hubungan dan kerjasama itu semakin baik.  Hal itu adalah pengaruh dari
Konferensi Asia – Afrika Bandung (1955) yang historis itu. Dalam
Konferensi Bandung, Indonesia dan Tiongkok, telah bekerjasama dengan
baik sekali, bersama dengan utusan-utusan dari India, Birma, Mesir dan
banyak negeri AA lainnya, sehingga menciptakan syarat yang baik sekali
untuk suksesnya Konferensi Bandung yang  melahirkan yang dikenal
kemudian dengan 'SEPULUH PRINSIP BANDUNG'. Lahirnya kekuatan ketiga di
arena internasional,   yang mendorong maju gerakan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dan yang lebih penting lagi ialah,
bahwa kekuatan ini tidak tunduk pada  fihak-fihak yang bertarung 
dalam Perang Dingin ketika itu.

Hubungan kerjasama dan saling bantu dengan utusan Tiongkok paling lama
dan intensif ialah ketika aku ditugaskan mewakili Indonesia dalam
Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Afrika, yang
bermarkas di Cario, Mesir. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, tahun
ke tahun lamanya,  utusan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok
bekerjasama, bahu membahu dalam pekerjaan dan kegiatan kami memberikan
dorongan dan sumbangan organisasi kami terhadap perjuangan melawan
kolonialisme dan imperialisme, untuk kemerdekaan nasional dan
pengkonsolidasiannya.

Perubahan drastis di Indonesia, dengan digulingkannya Presiden Sukarno
dan berdirinya rezim Orba, menyebabkan kami sekaluarga  <atas tawaran
Tiongkok> pindah dan bekerja di Beijing.

Kami sekeluarga di Tiongkok bukan sebagai  'pengungsi politik' dan
juga bukan 'peminta suaka' yang kemudian  dapat asil di Tiongkok. Aku
diundang untuk ambil bagian dalam perkerjaan studi dan riset tentang 
negeri-negeri Asia dan Afrika di lembaga Tiongkok. Maka kami juga
dapat perlakuan sebagai 'akhli asing', sebagai 'eksper asing'  yang
banyak bekerja di pelbagai instansi dan lembaga Tiongkok. Aku juga
dapat izin untuk menerbitkan buletin penerbitan mengenai Indonesia
yang diterbitkan oleh OISRAA, Organisasi Indonesia Untuk Setiakawan
Rakyat-Rakyat Asia, yang kebetulan aku adalah salah satu anggota
pengurusnya.

Maka perlakuan baik sekali dan amat bersahabat dari fihak Tiongkok,
merupakan penyebab penting, sikapku yang bersahabat dengan Tiongkok.
Selain menurut pendapatku, menggalang hubungan baik dan bersahabat
dengan Tiongkok adalah menguntungkan dua belah fihak, menguntungkan
Indonesia dan juga menguntungkan Tiongkok. 

Betapapun kami sekeluarga  tidak bisa dan tidak akan melupakan  sikap
dan perlakuan baik budi serta setiakawan Tiongkok terhadap kami di
Tiongkok. Sikap ini dari hati nurani sejujur-jujurnya!

(Bersambung)

*    *    *    *    *





Kirim email ke