Refleksi: Kalau mau dibodohkan, tentu akan yakin bahwa kontrak politik yang 
disodorkan pada rapat umum mempunyai kekuatan hukum.

Jawa Pos
[ Kamis, 02 Juli 2009 ] 


Kontrak Politik Bukan Dokumen Hukum 
Oleh: M. Hadi Shubhan 


SETIAP momen pemilihan umum, baik pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, 
pemilu DPD, maupun pemilu presiden, masyarakat selalu dicekoki oleh berbagai 
macam kontrak politik. Para calon sering menyodorkan kontrak politik untuk 
melegitimasi dirinya dalam ajang kompetisi politik tersebut. Persoalannya 
adalah benarkah kontrak politik dapat dijadikan alas hak bagi rakyat untuk 
menggugat kandidat ke pengadilan agar memenuhi apa yang sudah menjadi 
komitmennya atau melaporkan secara pidana ke penyidik dengan dasar suatu tindak 
pidana, misalnya, penipuan? Dapatkah kontrak politik itu di-enforce 
(ditegakkan) secara hukum?

Fenomena kontrak politik, terlebih sekarang menjelang pemilihan presiden, 
sebenarnya merupakan sebuah refleksi dari krisis kepercayaan masyarakat 
terhadap apa yang sering diucapkan atau yang dijanjikan oleh seorang calon 
presiden. Dikatakan sebagai refleksi dari krisis kepercayaan rakyat karena 
dengan kontrak politik tersebut, seorang calon perlu meyakinkan rakyat mengenai 
komitmen politiknya dalam sebuah kontrak di mana ucapannya secara lisan sudah 
tidak dapat lagi menjadi pegangannya. Ini adalah sebuah pertanda degradasi 
moral bagi para calon yang bersyahwat ingin memimpin negeri ini.

Kontrak politik yang sering dilakukan para kandidat dibuat dengan bahasa umum 
tanpa suatu klasifikasi tertentu dan bukan dengan bahasa dan klasifikasi hukum. 
Karena dibuat dengan bahasa yang abstrak dan tidak memiliki makna hukum, dapat 
dipastikan kontrak politik tidak dapat ditegakkan dalam ranah hukum (non 
enforceable). Karena kontrak politik tidak memiliki implikasi yuridis, selembar 
kontrak politik hanyalah seonggok kertas yang tidak bermakna apa pun.

Kontrak politik sengaja dibuat dengan suatu bahasa yang abstrak. Misalnya, jika 
terplilih menjadi presiden, akan memperjuangkan aspirasi rakyat. Tidak jelas 
apa makna memperjuangkan serta tidak jelas apa yang dimaksud dengan aspirasi 
rakyat. Karena tidak ada tolok ukur variabel-variabel tersebut, sulit jika si 
pengontrak politik tersebut sudah jadi presiden dapat di-judgment bahwa ia 
telah melanggar kontrak politik. 

Kontrak politik kadang mengandung klausul yang 'lucu'. Klausul tersebut, 
misalnya, jika dia terpilih nanti, gajinya akan diberikan kepada rakyat. Tidak 
dijelaskan rakyat yang mana, kapan akan diberikan, dan caranya bagaimana. Jika 
faktanya nanti setelah terpilih, gajinya diserahkan pada anak dan istrinya, si 
kandidat tersebut tidak melanggar kontrak politik, karena istri dan anaknya 
adalah bagian dari rakyat.

Terdapat pula isi kontrak politik yang menunjukkan kenaifan si calon presiden. 
Misalnya, jika terpilih menjadi presiden, dia akan mencabut undang-undang 
tertentu. Dikatakan naif karena mencabut suatu undang-undang bukan kewenangan 
seorang presiden. Presiden adalah lembaga eksekutif dan bukan lembaga 
legislator yang punya kewenangan membuat ataupun mencabut sebuah undang-undang. 

Sering pula dalam suatu kontrak politik, kandidat melibatkan seorang notaris 
dengan maksud agar tercipta suatu persepsi bahwa kontrak politik itu adalah 
suatu dokumen hukum dan dapat dijadikan pegangan oleh pihak-pihak yang 
bersangkutan. Ini juga kesalahkaprahan yang bersangkutan. Keterlibatan notaris 
dalam kontrak politik biasanya hanya melegalisasi atau melakukan warwerken 
(pencatatan tanggal). Jika yang dilakukan seperti itu, surat yang dilegalisasi 
atau di-warmerk tersebut tidak bisa menjadi suatu akta otentik, melainkan tetap 
menjadi sebuah surat biasa.

***

Kontrak politik bukanlah sebuah peraturan perundang-undangan karena bukan 
dibuat oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas, berbeda dengan GBHN pada 
zaman dulu dan RPJPM pada zaman sekarang. Kontrak politik juga bukan sebuah 
kontrak hukum bagi para pihak yang dapat dituntut pemenuhannya melalui sebuah 
lembaga hukum yang berbentuk pengadilan. Hal ini karena isi dan ruang lingkup 
kontrak politik sangat umum dan abstrak, sedangkan kontrak hukum haruslah 
detail. Ini karena hukum pada hakikatnya adalah perdetailan. Tanpa ketentuan 
yang detail, akan sangat sulit men-judgment bahwa yang menandatangani kontrak 
telah melakukan wanprsetasi.

Selain itu, efektivitas kontrak politik juga sangat layak disangsikan. Di 
negeri yang fatsun politiknya tidak dipegang oleh para politisi, jangankan 
sebuah kontrak politik, suatu putusan pengadilan pun dengan tanpa beban tidak 
ditaati oleh banyak pejabat pemerintah. Ada suatu penelitian yang membuktikan 
bahwa lebih dari 85 persen putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak 
ditaati oleh pejabat TUN. Jika putusan pengadilan pun tidak ditaati, apalah 
arti sebuah kontrak politik.

Memilih pemimpin sejatinya tidak dapat hanya melihat apa yang akan dilakukan ke 
depan, baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam sebuah kontrak politik. 
Memilih pemimpin harus melihat apa yang telah dilakukan selama hidupnya ke 
belakang. Semua orang tentu akan dapat dengan mudah mengatakan dengan lisannya 
tidak akan korupsi, tapi catatan sejarah membuktikan hal itu bahwa tidak semua 
orang bisa melakukannya. 

Karena itu, berhati-hatilah terhadap sebuah kontrak politik yang dilakukan 
siapa pun. Janganlah memilih pemimpin negeri ini hanya berlandaskan pada 
selembar kontrak politik. Sebab, jika itu dilakukan, rakyat tinggal menunggu 
waktu kekecewaan saja. (*)

*). Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN , dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 
Surabaya. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke