[ GATRA Printed Edition ] 

Krisis Etika Politik


Indonesia berada dalam lumpur krisis etika politik (publik). Puncak gunung es 
krisis ini terlihat ketika para pejabat publik lebih mementingkan kariernya 
ketimbang menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya menyukseskan dan 
memuliakan jabatan yang diembannya. Kasus Andi Nurpati yang meninggalkan KPU 
merupakan salah satu yang mencolok dari kecenderungan pengabaian etika politik 
itu.

Setidaknya ada tiga prinsip etis yang harus dijunjung tinggi oleh setiap 
pejabat publik. Pertama, menghormati institusi karena institusi lebih besar 
dari pribadinya. Kedua, pejabat publik harus mengutamakan kepentingan publik di 
atas kepentingan pribadinya. Ketiga, dalam menunaikan tugasnya, pejabat publik 
harus bersifat imparsial.

Ketika bersedia --bahkan mendaftarkan diri-- untuk jabatan-jabatan tertentu, 
mestinya mereka menyadari bahwa kewajiban untuk menunaikan tugas itu hingga 
berakhirnya masa jabatan. Dengan meninggalkan jabatan sebelum waktunya, timbul 
kesan bahwa jabatan baru jauh lebih diinginkan dan lebih terpandang, yang 
secara tidak langsung merupakan pelecehan terhadap jabatan yang akan 
ditinggalkannya. Mereka juga lupa, ketika terpilih menduduki jabatan yang akan 
ditinggalkannya itu, mereka telah menutup kesempatan orang lain yang barangkali 
lebih bertanggung jawab.

Bagi Andi Nurpati, situasinya lebih buruk. Pertama, cara menampilkan dirinya 
yang secara simbolik menunjukkan kesalehan formal ternyata tidak memenuhi 
ekspektasi publik dalam esensi kesalehan etiknya. Kedua, menjadi aktivis partai 
pada umumnya merupakan stasiun perlintasan untuk menduduki jabatan publik. Akan 
halnya Andi Nurpati, jabatan publik justru jadi perlintasan untuk menjadi 
aktivis partai. Bukan saja hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap 
institusi KPU, melainkan juga menimbulkan tanda tanya ihwal kenetralan dan 
imparsialitasnya selaku komisioner KPU selama ini.

Krisis etika politik itu juga tidak hanya terjadi pada agen-agen masyarakat 
politik, melainkan juga melanda agen-agen masyarakat sipil. Bagaimana media, 
khususnya televisi, menayangkan kasus video porno Ariel Peterpan secara vulgar 
dan over-exposure merupakan puncak gunung es krisis etika dalam kehidupan 
masyarakat sipil.

Contoh lain yang bisa diajukan adalah ketidakmampuan masyarakat sipil untuk 
tidak hanyut dalam politik uang. Masyarakat sipil dibangun atas dasar 
keikhlasan-kesukarelaan (voluntarism). Karena itu, kecenderungan melibatkan 
kuasa uang dalam pemilihan pimpinan ormas-ormas sosial-keagamaan merupakan 
bentuk pembunuhan terhadap watak dasar masyarakat sipil, yang membuatnya 
kehilangan kewibawaan eksistensial.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa krisis etika politik itu meliputi dan 
melibatkan republik secara keseluruhan. Istilah republik, "res publica" (urusan 
publik), sendiri meliputi seluruh institusi, komunitas, dan wacana yang 
membentuk tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luas ketimbang ranah 
pemerintah. Hollenbach berargumen, jika yang dimaksud dengan ranah politik itu 
meliputi keseluruhan aktivitas manusia dalam kehidupan publik, maka hal itu 
jauh lebih luas ketimbang sebatas institusi legislatif, eksekutif, dan 
yudikatif.

Dengan demikian, institusi civil society --media, komunitas agama, dan 
lain-lain-- memiliki peran publik yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dan 
kehidupan republik melalui pengaruhnya terhadap berbagai komunitas, wacana, 
serta pada pemahaman budaya warga negara.

Karena itu, usaha mengatasi krisis etika politik itu harus mengerahkan koreksi 
total atas karakter suprastruktur dan infrastruktur kehidupan publik. Pada 
tingkat suprastruktur, perlu diperkuat pemahaman pejabat publik mengenai 
"deontologi", yakni prinsip-prinsip kewajiban dan tanggung jawab pejabat 
publik. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 (Ketuhanan Yang Maha Esa 
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab) mewajibkan pemerintah dan 
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang 
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Etika politik dapat membantu usaha aparatur negara untuk membumikan falsafah 
dan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Etika 
politik mempersoalkan tanggung jawab manusia sebagai manusia serta manusia 
sebagai warga negara --terhadap negara, hukum yang berlaku, dan tatanan publik 
lainnya.

Dengan demikian, pendidikan moral seperti yang diajarkan oleh agama tidak cukup 
mengajarkan kesalehan personal. Perhatian perlu diluaskan ke arah kesalehan 
sosial (publik). Moral publik bukanlah penjumlahan jutaan moral perseorangan, 
melainkankan dibangun melalui pemupukan "modal moral" secara kolektif, dengan 
menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik 
yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat.

Yudi Latif
Cendekiawan Muslim
[Perspektif, Gatra Nomor 34 Beredar Kamis, 1 Juli 2010]

--------------------------------------------------------------------------------

URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=139705


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke