Jumat, 10 Maret 2006                     Erotisme dan Pornografi     
BENNY H HOED
  Ketika pornografi dibicarakan di kalangan terbatas atau dalam pembicaraan 
sehari-hari, tidak ada sesuatu yang penting terjadi. Namun, saat kata itu 
dibicarakan dalam kaitan dengan sebuah rancangan undang-undang, terjadilah 
polemik. Apalagi terus lahir kata baru: pornoaksi 'aksi yang pornografis'. 
Mengapa?
  Marilah kita bicarakan dulu kata erotisme yang memang dapat dikaitkan dengan 
pornografi.
  Erotisme berasal dari kata Yunani kuno Eros, nama dewa cinta, putra 
Aphrodite. Bahasa Inggris mengenal kata eroticism yang makna dasarnya sexual 
excitement. Dalam bahasa Perancis érotisme punya makna dasar sous-tendu par le 
libido, 'didasari oleh libido'. Kata libido punya makna dsire atau keinginan, 
hasrat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, libido diartikan 'nafsu berahi yang 
bersifat naluri'.
  Dalam perkembangannya, erotisme berkaitan dengan cinta pada aspek libidonya. 
Tidak dapat dipungkiri bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan memiliki 
aspek spiritual dan aspek libido. Karya sastra dan seni rupa yang mengandung 
aspek erotis menggambarkan realitas manusiawi yang tidak dapat dibantah.
  Pornografi punya makna berbeda. Kata itu berasal dari kata Yunani kuno porne 
yang berarti 'pelacur' dan graphein yang berarti 'menulis' atau 'tulisan'. 
Dalam bahasa Prancis kata itu disebutkan sebagai representation des choses 
obscènes, penyajian hal-hal yang cabul (tulisan, gambar, atau suara). 
Pornografi punya makna dasar cabul, tidak senonoh, dan kasar. Dalam erotisme 
ada suasana yang didasari libido, tetapi tidak harus cabul atau kasar atau 
tidak senonoh.
  Karya sastra dan karya seni rupa erotis tidak dapat serta-merta dianggap 
pornografis. Dalam cerita rakyat, erotisme sering hadir. Dalam lenong atau 
topeng Betawi banyak lelucon yang erotis.
  Dalam lukisan Bali yang tradisional banyak gambar yang erotis. Erotisme dapat 
diekploitasi menjadi karya pornografis jika yang ditonjolkan sifat 
kecabulannya. Inilah yang seringkali kita persoalkan, misalnya, dalam hal film 
biru atau cerita yang sengaja dibuat untuk menimbulkan berahi.
  Apa yang menyebabkan karya yang erotis menjadi cabul kalau tidak ada tindakan 
sengaja? Dalam teori semiotik ada yang disebut proses semiosis, yakni proses 
pemaknaan dan penafsiran atas benda atau perilaku berdasarkan pengalaman budaya 
seseorang.
  Pernah ada pemandu mengantar turis dari Amerika Serikat ke Monas. Ia 
bertanya, Apa yang di puncak Monas itu? Ia balik ditanya, Menurut anda itu apa? 
Ia menjawab, Ice cream. Ketika dijelaskan bahwa itu api, ia heran. Menurut 
pengalaman (budaya)nya, api berwarna merah, bukan keemasan. Hubungan 
representasi pucuk Monas dengan interpretasi ice cream merupakan proses 
semiosis yang terjadi pada turis itu.
  Jadi, api emas di puncak Monas itu merujuk pada pengalaman dirinya: yang 
seperti itu, dalam hidup saya, es krim. Sesuatu yang kita baca, lihat, atau 
dengar ditafsirkan sesuai dengan pengalaman dan sudut pandang kita 
masing-masing.
  Kecuali dalam hal film biru atau cerita cabul, batas antara erotisme dan 
pornografi ditinjau dari luar memang bisa tidak jelas. Soalnya, prosesnya ada 
dalam kepala kita masing-masing. Kecabulan itu bisa lahir dari pikiran dan 
pengalaman kita.
  Kalau berpindah ke pornoaksi, masalahnya lebih banyak lagi. Yang akan kena 
sasaran lebih banyak kaum perempuan. Tarian dan cara berpakaian akan menjadi 
sasaran definisi kata ini, yang umumnya dipersoalkan pada kaum perempuan. 
Wanita Jawa dengan kebaya model kutubaru bisa dianggap melakukan pornoaksi 
karena memperlihatkan sebagian belahan payudaranya. Bagaimana pula dengan 
seorang perempuan yang memang payudaranya besar dan dalam berpakaiannya 
payudara itu menonjol?
  Ketika kita melihat wanita Timur Tengah, mata di balik tirai wajahnya bisa 
sangat erotis dan melahirkan pikiran cabul. Lalu, bagimana saudara kita di 
Papua yang lelakinya berkoteka dan wanitanya bertelanjang dada? Semua fenomena 
itu dapat menjadi pornografis kalau kita menggambarkannya dalam sebuah proses 
semiosis yang cabul berdasarkan sudut pandang kita.
  Semiosis jenis apa nanti yang akan terjadi di pikiran seorang polisi susila? 
Sulit diramalkan.
  Akan sangat pelik mendefinisikan pornoaksi yang tentunya berkaitan dengan 
pornografi. Masalahnya, siapa yang mengeksploitasi? Seseorang (film biru, 
cerita cabul) atau kita sendiri (semiosis)?
  Umumnya kita mampu membedakan yang pantas dengan yang tidak pantas. Itu 
diatur dalam kebudayaan kita masing-masing. Soalnya jadi lain kalau dituliskan 
dalam sebuah undang-undang yang harus berlaku di seluruh Nusantara yang 
Bhinneka itu.
  Penulis Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

                
---------------------------------
Yahoo! Mail
Bring photos to life! New PhotoMail  makes sharing a breeze. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke