://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=905&ik=31 

PHK dan Kemiskinan 

Kamis 18 Desember 2008, Jam: 8:55:00 
Perlahan tapi pasti. Ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai 
terasa di negeri kita sebagai akibat dari krisis global yang dipicu ambruknya 
sektor keuangan AS. Di sektor manufaktur, sampai pekan lalu sejumlah perusahaan 
di seluruh Indonesia terdata telah mengajukan permintaan kepada pemerintah, 
untuk mem-PHK sebanyak 12.600 orang dan akan merumahkan 1.200 karyawan. 

Terhadap permintaan itu, tim ketenagakerjaan depnaker telah diterjunkan untuk 
melakukan verifikasi seputar kondisi dan alasan pengajuan PHK. Lebih lanjut tim 
akan bertindak sebagai mediator antara pihak perusahaan dan perwakilan pekerja 
guna mendapatkan solusi terbaik. Harapannya, tidak sampai pada PHK. 

Situasi semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan 
perusahaan-perusahaan multinasional raksasa sekelas General Motors di AS, 
Philips di Belanda, Boeing di Perancis, sudah berancang-ancang melakukan PHK 
ribuan pekerjanya. Banyak yang mengkhawatirkan krisis global kali ini akan 
lebih buruk dibanding krisis ekonomi 1997-1998 yang saat itu dipicu oleh krisis 
kawasan Asia. Saat ini, krisis dipicu oleh runtuhnya lembaga keuangan di AS 
yang notabene adalah pusat ekonomi kapitalis dunia. 

Dampak paling nyata bagi sektor industri kita adalah berkurang atau bahkan 
berhentinya permintaan pasar AS dan Eropa. Padahal selama ini sektor industri 
kita menyerap tenaga kerja paling banyak pada lapisan menengah ke bawah. Dampak 
lain yang terasa akibat merosotnya nilai rupiah dibanding dolar AS, Yen Jepang, 
dan Euro Eropa adalah membengkaknya utang luar negeri pemerintah maupun swasta 
karena harus dikonversi ke dalam salah satu dari tiga mata uang tersebut. 
Perusahaan yang menggunakan komponen produksi impor juga dipastikan bakal 
kelabakan. 

Ujung dari segala ujung persoalan itu adalah perusahaan dengan sangat terpaksa 
stop beroperasi. Bagi pekerja, itu berarti kehilangan pekerjaan. Di Jakarta 
Utara, misalnya, tujuh pabrik garmen yang selama ini berorientasi ekspor ke AS 
dan Eropa, bakal berhenti berproduksi dan mem-PHK belasan ribu pekerja. Dari 
kompleks industri Kawasan Berikat Nusantara di Cakung, Marunda, dan Priok, 
dikabarkan 50 perusahaan berancang-ancang tutup. 

Dalam situasi sangat sulit seperti ini, sungguh kita mengharapkan PHK menjadi 
pilihan paling akhir. Pemerintah harus berusaha keras mengarahkan mediasi pada 
penyelamatan pekerja agar terhindar dari PHK. Sekalipun barangkali pekerja 
harus merelakan untuk tidak 100 persen menerima hak-hak mereka. Apalagi terus 
mengajukan tuntutan yang tidak realistis. 

Kepada sektor padat karya yang beritikad mempertahankan pekerjanya, pemerintah 
bisa memberi insentif pajak atau subsidi komponen produksi. Dalam pandangan 
positif, kita berharap krisis global menjadi momentum kebersamaan pemerintah, 
pengusaha, dan pekerja untuk bertanggungjawab dan menyikapinya secara baik. 

Tak perlu kecil hati, angka kemiskinan sangat mungkin akan meningkat pada tahun 
mendatang, tetapi yang penting pemerintah sungguh-sungguh membantu dengan cara 
bermartabat. Misalnya, mengganti model pembagian BLT dengan pengadaan proyek 
padat karya.**

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke