Sumber: 
http://hukum.kompasiana.com/2010/08/09/pengadaan-alat-kesehatan-yang-rawan-korupsi/



Pengadaan Alat Kesehatan yang Rawan Korupsi

OPINI 

Fatmah Afrianty Gobel

|  9 Agustus 2010  |  15:24



Illustrasi
Sejak  Prof Dr Sujudi, mantan Menteri Kesehatan dijerat kasus korupsi  
pengadaan 
alat kesehatan untuk rumah sakit di kawasan timur Indonesia,  sepertinya 
pejabat-pejabat di Kementerian Kesehatan terus mendapatkan  pengawasan khusus 
dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini,  Siti Fadila Supari, mantan 
Menteri Kesehatan masa bakti 2004-2009  mendapatkan undangan dari KPK untuk 
pemeriksaan sebagai saksi. 

Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan memeriksa mantan menteri  
kesehatan, Siti Fadilah Supari. Ia menjadi saksi terkait kasus dugaan  korupsi 
pengadaan alat rontgen tahun 2007 di Kementerian Kesehatan. Siti  Fadilah 
Supari 
diperiksa sebagai saksi kasus alat rontgen,” ungkap juru  bicara KPK, Johan 
Budi 
SP, di Jakarta, Senin (9/8). Siti sudah tiba di  gedung KPK sejak pukul 08.30 
WIB. Ia diperiksa penyidik KPK di lantai  delapan gedung KPK. Hingga kini, 
imbuh 
Johan, pemeriksaan masih  berlangsung. Pemeriksaan kali ini adalah penjadwalan 
ulang karena  sepekan lalu Siti tak datang karena kesibukannya sebagai anggota 
Dewan  Pertimbangan Presiden (Republika.co.id).

Kasus pengadaan  rontgen portable untuk pelayanan Puskesmas di daerah 
tertinggal,  terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil adalah dari anggaran  
Kemenkes 2007 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp9,4 miliar.  Sebelumnya, 
sejumlah tersangka dalam kasus ini telah ditetapkan yakni  Kepala Biro 
Perencanaan, Mardiono, dan mantan Direktur Kesehatan  Komunitas Ditjen Bina 
Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan, Edi  Suranto. Mereka diduga 
menggelembungkan harga barang, dan tidak  menyalurkan alat kesehatan sesuai 
peruntukannya, Puskesmas di daerah  tertinggal. Mardiono sudah divonis bersalah 
dan dihukum dua tahun penjara. Sedangkan Budiarto dituntut jaksa selama delapan 
tahun penjara.
Pada  persidangan di Gedung KPK, Jakarta, Senin 9 Agustus 2010, mantan Menteri  
Kesehatan, Siti Fadilah Supari, menyatakan tidak tahu ada proyek  pengadaan 
alat 
kesehatan rontgen pada 2007 di departemennya. Siti pun  mengaku tidak 
menandatangani proyek tersebut. Selama pemeriksaan, Siti  Fadilah mengaku 
dicecar mengenai perkenalannya dengan tersangka Sjafii  Ahmad, yang juga mantan 
Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan. Sjafii  Ahmad adalah tersangka 
terbaru 
dalam kasus dugaan korupsi pengadaan  alat rontgen ini. Dia ditahan sejak Kamis 
5 Agustus, dan saat ini  dititipkan di tahanan Polres Jakarta Pusat 
(Vivanews.com).

Syafii  ditetapkan sebagai tersangka dalam pengadaan alat rontgen bagi  
puskesmas di wilayah Indonesia Timur, di Kementerian Kesehatan tahun  anggaran 
2007. Syafii diduga telah menerima sejumlah uang dalam  pengadaan ini dari 
rekanan sekitar Rp 750 juta. Dalam kasus ini, KPK  telah menetapkan sejumlah 
tersangka dalam kasus ini yakni, Kepala Biro  Perencanaan, Mardiono dan mantan 
Direktur Kesehatan Komunitas Ditjen  Bina Kesehatan Masyarakat di Kementerian 
Kesehatan. Syafii dijerat  dengan pasal 3 atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi  (detik.com).

Kesaksian  Dwi Prahoro sebagai saksi ahli Badan Pemeriksaan Keuangan dan  
Pembangunan (BPKP) terhadap terdakwa mantan Komisaris Utama PT Kimia  Farma, 
Budiarto Maliang, dalam sidang Tipikor di Kuningan, Jakarta,  Senin 
(26/7/2010), 
negara setidaknya mengalami kerugian Rp 9.4 miliar  lebih dalam proyek 
pengadaan 
alat rontgen di Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2007 lalu.Kerugian  negara 
dihitung dari jumlah netto yang dibayar negara kepada PT Kimia  Farma kemudian 
dikurangi jumlah harga perolehan PT Bhineka Usada Raya  (BUR)  dan PT METEX 
serta biaya pelatihan yang dikeluarkan PT Kimia  Farma.

Rincian  kerugian negara, lanjutnya dihitung dari jumlah yang dibayar oleh 
pihak  
proyek (Depkes) kepada PT Kimia Farma sebesar Rp. 17.183.540.000.  Jumlah itu 
dipotong PPN dan PPH serta total pajak yang masing-masing  sebesar Rp. 
1.562.140.000, Rp. 234.320.000 dan Rp. 1.796.461.000. Dari  jumlah netto ini 
saya mendapat harga perolehan dari alat rontgen portableberikut aksesorisnya 
sebesar Rp. 5.580.397.000.Hasil  netto yang dibayar kepada Kimia Farma sebesar 
Rp. 15.387.790.000. Nilai  kerugian negara sebelum biaya POT (Planning of 
Trading) sebesar Rp.  9.806.778.022. Dari jumlah tersebut kemudian dikurangi 
POT 
yang  dikeluarkan Kimia Farma sebesar Rp. 326.276.969. Jadi totalnya negara  
dirugikan Rp 9.480.500.053,” tambah Dwi Prahoro. Nilai hitung-hitungan  ini 
menurutnya didasarkan pada faktur-faktur pembelian yang dikeluarkan  oleh PT 
BUR 
dan PT Metex (rakyatmerdeka.co.id).
 
Pada 16 Juli 2010  lalu, mantan Sekretaris Ditjen Pelayanan Medik Departemen 
Kesehatan  berinisial MAH ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan korupsi  
pengadaan alat kesehatan untuk wabah flu burung 2006. Selama  proses 
penyelidikan KPK meningkatkan status penyidikan dalam kaitan  dengan penanganan 
wabah flu burung di Depkes tahun 2006. MAH adalah mantan Setditjen Bina 
Pelayanan Medik Depkes. Penetapan  tersangka sudah seminggu sebelum diumumkan 
pada 16 Juli agar tidak  menggangu proses penggeladahan. Saat penggeledahan, 
KPK  
menyita beberapa dokumen, empat buah komputer, dan beberapa berkas.   
Penggeledahan dilakukan pada Senin di Gedung Kimia Farma sama Indofarma  Global 
Medika dan Rabu di Dirjen Bina Yanmedik, Kuningan. Tersangka MAH  belum ditahan.

Dalam kasus ini  kerugian negara diperkirakan senilai Rp 52 miliar. Adapun 
modusnya,  penggelembungan harga pembelian alat kesehatan. Hal ini merupakan  
pengembangan dari kasus dugaan korupsi alkes pada rumah sakit rujukan  
penanganan flu burung 2006. Tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3  UU 
Nomor 31/1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam kasus  ini KPK 
juga telah menahan dan menyidangkan mantan Komisaris PT Kimia  Farma Budiarto 
Maliang, serta menvonis dua tahun penjara terhadap Staf  Ahli Menkokesra 
Madiono. Seperti diketahui kasus markup pengadaan alat  rontgen ini terjadi 
pada 
tahun 2007 dengan nilai proyek sekitar Rp15  miliar. Akibat markup ini, negara 
dirugikan sebesar Rp 9,48 miliar  (Okezone.com).

Revisi Kepres Pengadaan 


Sektor  kesehatan adalah sektor publik yang memiliki keunikan tersendiri  
dibanding sektor publik lainnya. Pada bidang kesehatan, terkait dengan  situasi 
darurat dan bencana sehingga terkadang alat kesehatan dilakukan  pengadaan 
berdasarkan motif kedaruratan tersebut. Sebenarnya dalam  Keputusan Presiden 
(Keppres) nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman  Pengadaan Barang dan Jasa soal 
pengertian darurat yang tercantum  didalamnya. Dengan alasan darurat, pengadaan 
barang dan jasa bisa tanpa  melalui tender, melainkan penunjukan langsung. 



Soal penunjukan langsung dalam  revisi Keppres nomor 80 tahun 2003 tidak hanya 
ditetapkan kriteria  penunjukan langsung, melainkan juga menjabarkan jenis 
barang dan jasa  yang bisa diadakan tanpa tender. Ada penunjukan langsung 
tender  
pengadaan alat kesehatan yang habis pakai, obat, mobil, sepeda motor  yang bisa 
dibeli langsung. Selain itu sewa hotel, gedung juga dapat  ditunjuk langsung.

Sistem  penunjukan langsung tersebut berpotensi besar terciptanya celah  
terjadinya korupsi. Bila tanpa pengawasan internal yang ketat, gratifikasi  dan 
komisi juga bisa muncul disitu. Bila mendapatkan gratifikasi atas  sebuah 
pengadaan, maka ketentuannya harus melaporkannya ke KPK. 

Dalam  sebuah sosialisasi atas Revisi Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang  
dan Jasa Pemerintah yang sudah ditandatangani Presiden Susilo Bambang  
Yudhoyono 
(SBY), Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana usai Rapat Kerja  III Presiden RI 
dengan Para Menteri dan Gubernur di Istana Bogor, Jawa  Barat, Jumat 
(6/8/2010), 
salah satu revisinya yaitu dimungkinkannya  penunjukan langsung untuk pengadaan 
barang dan jasa khusus. Seperti  obat, alat kesehatan habis pakai yang jenis 
dan 
harganya ditetapkan  pemerintah/Menkes dapat dibeli langsung. Mobil, sepeda 
motor, kendaraan  lain dengan harga khusus pemerintah GSO dapat dibeli langsung 
serta sewa  penginapan atau hotel, gedung atau kantor dapat ditunjuk langsung.

Ada 11 pokok perubahan lain dalam Keppres 80/2003,salah satu diantaranya 
fleksibel  dalam menghadapi bencana dan keadaan darurat. Ketentuan tentang 
bencana  (alam/non-alam/sosial) diperlonggar, termasuk antisipasi sebelum  
bencana datang. Dalam keadaan bencana/darurat dapat dilakukan penunjukan  
langsung. Tidak ada batasan tapi tetap akan diaudit. 



Mengingat situasi  darurat dan bencana banyak berhubungan dengan sektor 
kesehatan, maka  para pejabat didalam lingkup Kementerian Kesehatan maupun 
dinas-dinas  kesehatan di daerah perlu belajar dari pengalaman para pejabat  
Depkes/kemenkes yang terjerat korupsi dengan teliti mempelajari aturan  revisi 
Kepres Nomor 80/2003.

 
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke