Bom Makassar pertama pada Kongres II Ummat Islam Sulawesi Selatan

Kongres II Ummat Islam Sulawesi Selatan dilangsungkan di Asrama Haji Sudiang 
Makassar, Sabtu - Senin, 14 - 16 Syawal 1422 H / 29 - 31 Desember 2001 M.  
Hadir antara lain dalam Kongres tsb yaitu Wapres Hamzah Haz, Wkl Ketua MPR RI 
A.M. Fatwa dan Menteri Yusuf Kalla.
Kongres II ini diwarnai oleh bom meledak sebagai asam garam perjuangan jihad 
fiy sabiyliLlah menegakkan Syari'at Islam. Insiden ledakan bom ini hampir 
bertepatan peserta kongres keluar Masjid Quba seusai shalat maghrib dan 
mengikuti kultum (kuliah tujuh menit) pada malam Senin hari terakhir kongres. 
Bom itu meledak di ruang makan yang lokasinya dekat Masjid Quba. Peserta 
kongres dengan segera masuk semuanya ke dalam masjid mengadakan konsolidasi.

Fyi, Bom Makassar yang pertama ini sampai sekarang tidak berhasil (atau tidak 
mau?) dilacak oleh polisi.
Wassalam
HMNA
###################################################################################################################

  ----- Original Message ----- 
  From: lasykar5 
  To: L. Meilany ; Ari Condro ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 16:43
  Subject: Fwd: [INSISTS] Fwd: [alumni-BKIM-IPB] Resume Diskusi ttg terorisme 
di milis jurnalisme


  maaf, saya japri juga ...

  ---------- Forwarded message ----------
  From: Mudatsir <[EMAIL PROTECTED] >
  Date: Jun 26, 2007 9:54 AM
  Subject: [alumni-BKIM-IPB] Resume Diskusi ttg terorisme di milis jurnalisme
  To: siti chotijah < [EMAIL PROTECTED]>
  Cc: Anam <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED],
  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
  [EMAIL PROTECTED], M CHILMI IDJKT OPERATION STAFF <[EMAIL PROTECTED]>,
  [EMAIL PROTECTED]

  Posted by: "Farid Gaban" [EMAIL PROTECTED]
  < [EMAIL PROTECTED]>
  faridgaban < http://profiles.yahoo.com/faridgaban> Sat Jun 23, 2007 8:18 pm
  (PST) Dear Siska dan teman lain yang berminat soal terorisme,

  [Ini lumayan panjang. Dan setelah menulis berjam-jam komentar ini,
  saya hanya ingin minta imbalan ditraktir ice cappucino deket kantor 
  Siska. OK? Jadi, kapan kita bisa minum bareng?]

  PENGANTAR

  Saya harus mengaku pada Siska, saya mungkin tidak sebanyak Siska atau
  Chairul Sabili atau Alfian Hamzah dalam melakukan penelusuran lapangan
  soal terorisme, jika yang dimaksud adalah jalan ke lapangan.

  Dalam kapasitas sebagai penjaga gawang rubrik nasional dan investigasi
  Tempo, saya membuat penugasan, menerima laporan dan menulis banyak
  tema terorisme dari para wartawan, termasuk Teror Bom Natal, yang 
  terjadi jauh sebelum Al Qaedah maupun Jemaah Islamiyah menjadi
  kosakata sehari-hari.

  Sekeluar dari Tempo, sepanjang tahun-tahun awal setelah Bom Bali, saya
  mengumpulkan sebagian besar pemberitaan tentang kasus itu dari sumber 
  berita yang luas (termasuk juga laporan ICG-nya Sydney Jones) dan
  mencoba mensitematisasikannya. Bahkan saya pernah membuat milis khusus
  untuk berita-berita teror di Indonesia. Ini sebuah proyek pribadi yang
  lebih didorong keingintahuan untuk memahami fenomena terorisme di
  Indonesia, tapi akhirnya harus saya sisihkan karena kesibukan lain.

  Pesantren "Teroris" Ngruki saya kenal sejak SMP, akhir dasawarsa
  1970-an, karena tak jauh dari kota kelahiran saya. Sepupu perempuan
  saya bahkan mengajar di situ. Paman saya sendiri pernah menjadi
  pengikut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.

  Beruntung pula saya menjadi salah satu pembaca pertama laporan 
  investigasi Alfian Hamzah tentang teror bom Makassar. Meski terbatas
  di Makassar, Alfian telah membuktikan secara solid kebohongan polisi
  dalam mengkaitkan ledakan bom di sana dengan Jemaah Islamiyah. Bahkan
  lebih buruk, menjebloskan tersangka tak bersalah ke penjara.

  Investigasi Alfian adalah bukti paling solid sejauh ini tentang adanya
  konspirasi dalam tubuh kepolisian untuk membuat kesan bahwa Jemaah
  Islamiyah adalah organisasi yang omnipotent (sangat digdaya) dan 
  omnipresent (ada di mana-mana). Sayang, tak ada koran di Makassar yang
  mau memuat laporan Alfian itu, sehingga dia menerbitkannya sendiri
  dalam versi fotokopi serta menjualnya di perempatan lampu merah!

  Saya ada di lapangan ketika polisi menggerebek "teroris Wonosobo", 
  yang pernah saya tulis sebagai bentuk "publicity stunt" polisi berkat
  bantuan awak ANTV.

  Saya juga mewawancara dan mengenal secara pribadi beberapa alumni
  Afghanistan, satu di antaranya seorang yang cukup senior untuk bisa 
  menjadi perekrut, lebih senior dari Nasir Abbas maupun Imam Samudra.

  Meski begitu, saya tak ingin mengklaim memiliki pengetahuan sempurna,
  baik tentang terorisme Indonesia maupun tentang Ngruki serta sepak
  terjang Sungkar dan Baasyir.

  SEBUAH PUZZLE LEBAR

  Siska benar, rangkaian teror bom di Indonesia, bahkan di dunia, yang
  dituduhkan kepada kelompok Islam, adalah semacam puzzle. Dan kita
  masing-masing hanya mengetahui beberapa keping saja. 

  Sejauh ini polisilah yang memonopoli sebagian besar kepingan itu. Ini
  sebagian karena minimnya investigasi independen (terutama di kalangan
  media) terhadap apa yang dilakukan polisi. Sebaliknya dari itu, banyak 
  media justru menjadi corong polisi.

  Maaf, meski saya tidak bisa menyebut Siska "sekadar corong", saya
  setuju Chairul bahwa sebagian jawaban Siska (yang akan kita bahas
  nanti) bersumber dari polisi, atau setidaknya dari pernyataan polisi 
  yang diterima tanpa verifikasi.

  Saya bisa memahami dan bersimpati pada kesulitan Siska, atau wartawan
  lain, untuk menyatukan puzzle itu.

  Di tengah bombardemen klaim-klaim polisi, media sebenarnya keteteran 
  melakukan verifikasi, bahkan jika mau melakukannya. Suatu hal yang
  semestinya kita akui saja secara terbuka dan jujur kepada pembaca/pemirsa.

  Ada banyak sekali yang perlu diverifikasi. Dalam metode critical
  thinking, kita bahkan sebenarnya layak untuk mempertanyakan "bukti
  forensik" polisi, misalnya, sesuatu yang selama ini "terpaksa" kita
  terima karena.

  Kita (baik saya, Siska maupun wartawan lain) jelas tak memiliki akses 
  ke laboratorium, untuk menguji beberapa pertanyaan dasar, seperti:

  - Apa sih sebenarnya bom yang meledak di Bali? Benarkah itu bom pupuk
  yang dibeli Amrozi di Surabaya, seperti kata polisi?

  - Bagaimana kepala Asmar Latin Sani bisa ditemukan utuh di kamar Hotel 
  Marriott?

  - Peluru apa sih yang membunuh Azahari di Batu? Dia ditembak atau
  bunuh diri?

  - Apa yang sebenarnya terjadi di Wonosobo? Sebuah baku tembak atau
  pembantaian sepihak oleh polisi?

  Dan masih ada seribu satu pertanyaan serupa lagi, mengingat ada 
  ratusan penangkapan dalam lima tahun terakhir.

  Terlalu banyak misteri dan kemungkinan, seperti yang tersirat dalam
  jawaban Siska sendiri. Saya kira cukup wajar jika kita bertanya:

  Dalam situasi yang serba mungkin itu kenapa polisi demikian yakin 
  dengan satu temuan tunggal, bahwa teror bom dilakukan Jemaah Islamiyah
  yang omnipotent dan omnipresent?

  Polisi, dan khususnya Detasemen 88, tidak menginginkan transparansi
  dan akuntabilitas, bahkan untuk sesuatu urusan yang jelas. Pekan ini, 
  misalnya, Kapolri mengatakan "kontroversi penembakan Abu Dujana tak
  perlu dikembangkan karena yang kita tangkap adalah teroris!"

  Kata "teroris" seakan bisa membenarkan apa saja yang mau dilakukan 
  polisi. Sebuah sikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Sangat
  potensial mengandung penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi.

  MOTIF, MOTIF DAN MOTIF

  Dari komik "Detektif Conan" anak-anak, saya belajar bahwa setiap 
  penyidikan TKP (crime scene investigation) memiliki beberapa elemen:
  pelaku, bukti (forensik, balistik maupun kesaksian), dan motif.

  Sir Arthur Conan Doyle, pereka detektif terkenal Sherlock Holmes,
  mengatakan "motif, motif dan motif". Motif merupakan elemen terpenting 
  dalam investigasi, kadang lebih penting dari pengakuan dan kesaksian,
  untuk mengungkap siapa pelaku kejahatan. Siapa paling diuntungkan oleh
  sebuah kejahatan?

  Saya, misalnya, bisa saja mengaku membunuh, tapi jika pembunuhan itu 
  tidak bisa dijelaskan motifnya, tetap ada sebuah lubang menganga yang
  membuat investigasi tidak tuntas. Namun, pada saat yang sama,
  kecocokan motif saja tidak otomatis membuat seorang tertuduh pastilah
  telah berbuat kejahatan. 

  Mengkaji motif kejahatan memiliki makna penting di sisi lain. Dia
  menjadi bahan pembelajaran bagi publik untuk mencegah kejahatan serupa
  terjadi. Sebagai contoh: jika terlalu banyak orang membunuh karena
  faktor ekonomi, misalnya, meski pembunuhan itu sendiri tidak bisa
  dibenarkan, masyarakat disadarkan tentang pentingnya memperbaiki
  kondisi perekonomian.

  Absennya motif, yang bisa dijelaskan secara tuntas dalam berbagai 
  peristiwa teror bom di Indonesia, yang paling membuat saya ragu teror
  ini dilakukan dengan motif agama atau politik.

  Ada beberapa point penting dari jawaban Siska yang perlu dibahas,
  sebagian saya menyetujuinya, sebagian lain tidak: 

  JEMAAH ISLAMIYAH, SUNGKAR DAN BAASYIR

  Siska:

  - Jemaah Islamiyah itu ada, didirikan di Malaysia oleh Abdullah
  Sungkar, teman Abu Bakar Baasyir.
  - JI bukan organisasi yang berorientasi teror.

  Farid Gaban:

  Saya sedikit banyak tahu tentang Sungkar dan Baasyir sejak SMP,
  terutama dari paman saya yang pernah terlibat dalam gerakan mereka. Di
  zaman Orde Baru, setelah Sungkar dan Baasyir lari ke Malaysia akibat 
  prosekusi pemerintahan, paman saya ini tiga tahun mendekam di penjara
  untuk sebuah tuduhan teror yang tak pernah dilakukannya. Dia masuk
  penjara ketika istrinya sedang hamil tua.

  Abu Bakar Baasyir sendiri mengatakan JI tidak ada, atau setidaknya dia 
  tidak merasa mendirikan organisasi itu. Paman saya juga tidak merasa
  menjadi anggota organisasi semacam itu.

  Tapi, taruhlah saya lebih percaya pada Siska ketimbang Baasyir dan
  paman saya, pertanyaan pentingnya adalah benarkah JI secara 
  organisatoris melakukan kejahatan seperti dituduhkan?

  (Kita nanti akan membahas lagi hal ini di pertanyaan nomor dua).

  Meski Siska mengatakan JI bukan organisasi berorientasi teror, saya
  melihat Siska membuat kesimpulan/kaitan yang jumping ketika 
  menjelaskan sepak terjang Sungkar dan Baasyir (30 tahun lalu) dengan
  aksi teror di Indonesia pasca-reformasi, dan secara tersirat
  menyimpulkan ini punya korelasi kejahatan yang langsung.

  Siska benar ketika mengatakan Gerakan Abdullah Sungkar adalah 
  memperjuangkan negara Islam, atau tegaknya Syariah Islam.

  Tapi, apakah itu sebuah kejahatan?

  Saya pribadi tidak setuju pandangan politik dan keislaman Sungkar,
  Baasyir dan paman saya, tapi saya tidak bisa menganggap gerakan mereka 
  itu sebagai kejahatan. Sama halnya saya tidak akan menganggap orang
  yang berjuang untuk tegaknya provinsi Kristen, kapitalisme, sosialisme
  dan komunisme di Indonesia adalah orang yang dengan sendirinya kriminal. 

  Di zaman Orde Baru, "mendirikan Negara Islam/Syariah" adalah
  kejahatan. Baik Sungkar maupun Baasyir diprosekusi bukan karena
  tindakan kriminal, tapi karena pandangan politiknya. Itu sendiri sudah
  merupakan ketidakadilan Orde Baru. Sungkar, Baasyir dan paman saya
  adalah korban dari teror negara.

  Seperti Siska juga tahu, banyak orang Islam Indonesia, tidak hanya
  dari Kelompok Sungkar, bersimpati kepada Muslim Afghanistan di bawah 
  pendudukan Soviet, atau pejuang Moro di Mindanau, atau pejuang
  Palestina di Israel.

  Banyak dari mereka, tak hanya Kelompok Sungkar, juga bersedia
  berangkat untuk berperang, meski saya meragukan ketrampilan perang 
  mereka. (Seorang alumni Afghanistan mengatakan kepada saya, mujahid
  dari Indonesia tidak pernah memiliki posisi yang penting di sana).

  Bagaimanapun, saya tidak menganggap bersimpati, berperang,di
  Afghanistan atau di Mindanau merupakan kejahatan, terutama kejahatan 
  yang bisa dijerat dengan KUHP Indonesia.

  Siska menganggap itu sebagai kejahatan?

  Lebih dari itu, berjuang di Afghanistan atau Moro (di satu pihak) dan
  melakukan teror di Indonesia (di lain pihak) adalah dua hal yang tidak 
  ada hubungannya, terutama jika kita melihatnya dari segi hukum.

  Jika seseorang dituduh melakukan teror di Indonesia, kita tidak bisa
  otomatis mengatakan yakin mereka melakukan itu hanya karena mereka
  pernah ke Afghanistan atau Mindanau. 

  AMBON-POSO DAN TEKNIK PIVOT DALAM PROPAGANDA

  Menurut saya, kita perlu berhati-hati dengan serpihan-serpihan fakta
  itu dan tidak membuat kaitan secara gampangan.

  Sebab, di tingkat inilah, bukan fakta lapangan, sebenarnya propaganda 
  bekerja. Dalam propaganda dikenal teknik "pivot", sebuah analogi dalam
  bidang mekanika mesin. Teknik ini mengkaitkan berbagai hal yang
  mengorbit ke sebuah simpul (A pivot is that on which something turns). 
  Kaitan ini tidak dinyatakan secara eksplisit tapi karena diulang
  terus-menerus akhirnya diterima oleh audiens sebagai korelasi langsung.

  "Teror" adalah pivot itu, sebuah kata yang membundel beberapa kata 
  kunci seperti "Jemaah Islamiyah, Al Qaedah, Afghanistan, Irak, Moro,
  Ambon, Poso, negara Islam, Syariah" seolah-olah semua kata itu
  memiliki kaitan langsung dan otomatis.

  Tentang Poso atau Ambon, walaupun saya pribadi lebih suka ada 
  penyelesaian hukum dan politik yang komprehensif, saya tak bisa
  menyalahkan begitu saja sebagian orang Muslim yang bersimpati atau
  berperang di pihak Muslim. Sama halnya, saya tidak bisa begitu saja
  menyalahkan orang Kristen yang bersimpati atau berperang di pihak Kristen. 

  Konflik Ambon-Poso adalah konflik lokal yang tidak segera dibereskan.
  Dalam spiral kekerasan seperti itu, konfrontasi antar penganut agama
  tidak terhindarkan. Suatu hal yang menyedihkan, meski sebenarnya bisa 
  dihindari lebih awal.

  Tapi, dalam berbagai pernyataan lima tahun terakhir ini polisi
  mengkaitkan hampir secara langsung antara konflik di Ambon dan Poso
  dengan Jemaah Islamiyah, karenanya dengan teror, dan sebaliknya. 

  Ada kecenderungan di sini polisi ingin menutupi ketidakmapuannya
  menyelesaikan konflik sejak awal dengan mereduksi fenomena itu sebagai
  "teror Islam". Juga ada kecenderungan untuk mengesankan bahwa hanya 
  simpati orang muslim sajalah yang merupakan teror, sementara
  sebaliknya, dari kalangan Kristen, bukan teror.

  Beberapa tahun lalu, Paul Wolfowitz (waktu itu Wakil Menteri
  Pertahanan Amerika) dan Kepala BIN Hendropriyono mengatakan Al Qaedah 
  memiliki kamp latihan militer di Poso.

  Di sini propaganda masuk ke level internasional. Ditambah lagi
  kampanye beberapa pendeta Kristen Amerika, yang menyebut kasus Poso
  sebagai "Christian Holocaust", maka lengkaplah: Al Qaedah, Jemaah 
  Islamiyah, teror dan "pembantaian sistematis terhadap orang Kristen".

  Mereduksi kasus Ambon dan Poso sebagai fenomena "teror Islam" atau
  "teror Al Qaedah" justru akan menjauhkan kita dari kemungkinan bisa 
  memahami akar sebenarnya konflik itu, dan menghalangi kita bisa
  mencegah konflik serupa berulang di masa mendatang atau di tempat lain.

  KETERLIBATAN JI SECARA ORGANISATORIS

  Siska:

  - Teror di Indonesia tidak dilakukan secara organisatoris oleh JI. 
  - Oleh karenanya, teror itu tidak bisa disebut terorisme JI.
  - JI tidak sekuat yang dibayangkan media Barat (suatu jaringan
  terorisme Asia tenggara).
  - Tidak pernah ada satu garis komando khusus di JI.
  - Tidak ada tokoh aktivis JI yang track record dan signifikansinya 
  dalam gerakan Islam kita kenali.

  Farid Gaban:

  Saya kira ini point terpenting dari kesimpulan penelusuran Siska. Saya
  juga punya kesimpulan sama: tidak ada kaitan antara teror di Indonesia
  dengan Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar dan Baasyir) sebagai organisasi. 

  Itulah sebabnya, saya menilai upaya yang gegap-gempita, dari polisi
  Indonesia dan Pemerintah Amerika/Australia, untuk mengkaitkan bom-bom
  teror di sini dengan "Jemaah Islamiyah bin Al Qaedah" adalah tindakan 
  manipulatif, dan sarat dengan propaganda.

  Manipulatif dan sarat propaganda pula usaha untuk mengesankan bahwa
  Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar/Baasyir) adalah sebuah organisasi
  yang rapi, terstruktur, dengan satu komando khusus, omnipotent dan 
  omnipresent.

  Struktur organisasi Jemaah Islamiyah seperti yang dimuat oleh Harian
  Kompas dan Majalah Tempo pekan lalu adalah struktur yang direka
  polisi. Kompas dan Tempo hanya memperkuat propaganda polisi. 

  Media Barat pun sebenarnya hanya menerima frame, tanpa verifikasi,
  dari statement Departemen Luar Negeri Amerika, yang bisa kita baca
  dalam website-nya, bahwa "Jemaah Islamiyah adalah organisasi yang
  ingin mendirikan Kekhalifahan Islam se-Asia Tenggara dengan cara teror".

  Statement Amerika ini diperkuat oleh "publicity stunt" polisi Indonesia.

  Adegan penggerebegan di Bandung, Batu (Malang), Wonosobo dan terakhir 
  penangkapan Abu Dujana adalah adegan yang penuh "heroisme" dan
  menggunakan kekuatan eksesif untuk memberi kesan bahwa yang ditangkap
  dan dibunuh adalah orang-orang yang terlatih, bomb-loaded, cerdik, dan 
  sangat berbahaya, kaliber internasional ("Asia Tenggara").

  Siska menyebut itu sebagai kebodohan polisi, saya justru melihatnya
  sebagai kecerdikan polisi dalam memanipulasi publik.

  Setiap kali penangkapan, polisi mengumumkan "buron nomor satu" untuk 
  memberi kesan penting: pertama Baasyir, lalu Azahari, terus Noordin
  Top, kini Zarkasih, dan terakhir Abu Dujana.

  Semua "buron nomor satu", meski dalam beberapa kasus yang
  ditangkap/dibunuh adalah orang yang sehari-hari bekerja menjadi 
  penjahit, guru atau penjual kelontong keliling, dan dengan tuduhan
  sesederhana "menyembunyikan tersangka teroris".

  Setiap kali penggerebekan, polisi juga cerdik sekali memanfaatkan
  televisi, terutama ANTV, sehingga wartawan sekaliber Siska pun 
  terkecoh melihat aksi polisi sebagai aksi teroris Azahari. (Kata
  Siska: "Kita liat sendiri aksi heroik Azahari itu di ANTV.")

  Dalam tayangan ANTV itu, seingat saya, pemirsa tidak pernah melihat
  Azahari dalam keadaan hidup. Yang kita lihat adalah kesibukan para polisi.

  Demikian pula ketika polisi menggerebeg "teroris Wonosobo", yang juga
  ditayangkan secara "live" oleh ANTV. Mengamati langsung lokasi 
  penggerebegan dan mewawancara beberapa saksi di lapangan, saya
  menyimpulkan, polisi jika mau bisa melumpuhkan tersangka (sekali lagi
  tersangka) tanpa harus membunuhnya.

  Tapi, yang dilakukan polisi adalah sebuah aksi heroik untuk memberi 
  kesan ada perlawanan maut dari dalam, meski dilihat secara seksama
  tayangan ANTV itu sendiri bahkan tidak menunjukkan adanya perlawanan.

  Penggerebegan yang heroik ini selalu menjadi perhatian media
  internasional yang pada gilirannya memberi kesempatan kepada John 
  Howard dan George Bush untuk tampil pula menjadi pahlawan bagi
  publiknya, menunjukkan "bukti otentik" keberadaan "Jemaah Islamiyah
  bin Al Qaedah" dan karenanya memberi justifikasi pendudukan Irak dan 
  Afghanistan.

  Teknik Pivot. Al Qaedah, Jemaah Islamiyah, teror, Afghanistan, Irak,
  Moro, Poso, Ambon, dan syariah.

  MOTIF POLITIK TEROR BOM

  Siska:

  - Susah dijawab pertanyaan apakah aksi teror di Indonesia sesuai 
  dengan motif politik JI.
  - Awalnya para aktivis JI dalam fase kebingungan, sebab
  setelah Sungkar organisasi ini hilang kendali. Baasyir yang ditunjuk
  sebagai pengganti Sungkar, tidak terlalu tegas.

  Farid Gaban: 

  Terlalu banyak kemungkinan bisa terjadi dari "para aktivis yang
  bingung" dan sebuah organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu).
  Terlebih lagi jika organisasi itu "tidak memiliki sistem komando 
  khusus". Random.

  Siska mengatakan para aktivis JI kontemporer kemungkinan dipengaruhi
  oleh fatwa Usamah bin Laden. Tapi, menurut saya, ini kaitan yang
  jumping kecuali di awal kita sudah punya anggapan (yang menurut saya 
  prematur) bahwa Jemaah Islamiyah adalah organisasi cabang Al Qaedah di
  Asia Tenggara.

  Saya tidak mau berspekulasi di sini, karena saya pun tidak tahu persis
  motif politik teror-teror bom yang Siska sebut dilakukan oleh "aktivis 
  yang bingung", dalam organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu)
  dan "tidak memiliki komando khusus" itu.

  Ada terlalu banyak kemungkinan di sini. Perlu ada satu sesi
  investigasi lain. 

  Satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik sekarang ini: meski ada
  banyak pertanyaan tak terjawab, jelas sekali ada UPAYA SENGAJA untuk
  merujuk hanya ke sebuah kesimpulan saja, bahwa ini dilakukan Jemaah
  Islamiyah, suatu hal yang Siska sendiri tidak setujui. 

  PERTANYAAN SELEBIHNYA DAN SEBUAH TARUHAN BESAR

  Saya tidak melihat Siska punya jawaban pasti terhadap pertanyaan
  selebihnya. Saya pun tidak. Kita sama-sama tidak memiliki akses
  independen pada bukti-bukti keras (hard evidences). Yang ada hanya 
  bukti tak langsung (circumstansial evidences), itupun sebagian besar
  dimonopoli polisi.

  Jika saya menulis tentang hal ini, saya akan mengaku terus terang
  kepada pembaca bahwa ada banyak hal yang "unverified" dan "yet to be 
  verified" dalam kasus terorisme di Indonesia.

  Saya tidak ingin menjadi sok tahu dalam hal ini.

  Beberapa bulan lalu kita ingat kasus jatuhnya Adam Air. Mengutip
  sebuah klaim yang tanpa verifikasi, seluruh media lokal dan 
  internasional, terkecoh tentang lokasi jatuhnya pesawat yang ternyata
  bukan.

  Memberitakan secara gegabah klaim polisi dalam kasus terorisme punya
  taruhan yang lebih besar dan berbahaya ketimbang klaim berita kecelakaan: 

  - Potensial memperuncing ketegangan antar-agama
  - Menjustifikasi penindasan hak asasi manusia
  - Menjustifikasi manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan

  Terlalu besar taruhannya bagi bangsa ini.

  Salam,
  Farid Gaban


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke