Bunuh membunuh urusan suksesi kepemimpinan memang ciri bangsa abad
pertengahan. Di Eropah juga demikian dulunya. Di Jawa apalagi.
Oleh karena itu dicanangkan konsep demokrasi moderen. Spt yg sudah
kita anut sekarang. Enggak perlu dibunuh kan kalau mau ganti
presiden. Sekarang aja ada berapa mantan presiden yg menikmati hidup
karena dijamin negara atas jasanya.
Coba kalau diikuti lagi model sistem negara dan kepemimpinan jaman
jahiliyah itu. Ya kita sampai sekarang ya bunuh2an berebut kekuasaan.
Teori konspirasi dan teori fatalistis memang ciri sikap pecundang.
Jadi tidak perlu menepuk2 dada, lha wong dari sikap berteorinya aja
udah menunjukkan lagi dalam posisi dipecundangi.
Kalau lebih unggul masa jadi pencundang?
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Wikan Danar Sunindyo
[EMAIL PROTECTED] wrote:
Dana,
1. Kalau pakai teori konspirasi, maka apa yang terjadi pada umat Islam
saat ini adalah gara2 konspirasi Yahudi, Amerika dan antek-anteknya
2. Kalau pakai teori fatalis, maka apa yang terjadi pada umat Islam
saat ini memang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, kita tidak bisa
mengubahnya lagi
3. Soal Imam Ali RA, umat Islam pada jaman beliau saja banyak yang
tidak menurut pada beliau, apalagi sekarang. Beliau meninggal dibunuh
oleh orang Islam yang sebelumnya menjadi pengikut beliau. Khalifah
berikutnya menjelekkan nama beliau. Khalifah berikutnya lagi membunuh
putra beliau. Jadi begitulah sejarahnya, Dana. Sampai sekarang umat
Islam juga masih terpecah berdasarkan kepentingan politiknya
masing-masing dan bukan pada meneladani keluhuran budi dan akhlak yang
tinggi seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
wassalam,
--
wikan
http://wikan.multiply.com
On 2/6/07, Dana Pamilih [EMAIL PROTECTED] wrote:
Memang kalau sedang dalam era kegelapan hanya orang luar yg bisa
menilai.
Kalau kita pelajari kebijakan (wisdom) yg sudah terkumpul dalam abad
keemasan Islam kita sering terbengong-bengong. Wah koq sudah
terpikirkan demikian berabad yg lalu.
Terus kita baca koran dan nonton TV mengenai situasi di Tim Teng. Ya
ampun koq cuma sampai segitu doang kemampuan mengatur diri mereka.
Bagaimana kita merekonsiliasi kedua ekstrem ini?