Dear All,

kayaknya yang beginian urusan Mia dech

salam
./STS

----- Original Message -----
From: H. M. Nur Abdurahman
Sent: 07/19/10 05:57 AM
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: Perang Unta dan Kepemimpinan Perempuan <= Re: [wanita-muslimah] Re: 
Kaum muslim Tiongkok bersama dengan non muslim membangun sebuah khilafah Islam 
yang dikenal dengan Dinasti Ming (1368-1644M).

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
640 Perang Unta dan Kepemimpinan Perempuan

Saat Nabi Muhammad SAW mendengar kabar suksesi kekaisaran Persia kepada putri 
Kaisar, beliau bersabda: 
-- Lan Yufliha Qawmun Wallaw Amrahumu Mraatan [H.R. Bukhariy], artinya: 
Sekali-kali tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada 
perempuan. Hadits ini, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar, diungkapkan 
berkaitan dengan hadits-hadits lain tentang kisah kesewenang-wenangan Kaisar 
Persia. Ia kemudian di kudeta dan dibunuh, dan kemudian terjadi pelimpahan 
kekuasaan ketangan puteri Kaisar. Dalam pandangan Muhammad al-Syawaribi, hadits 
tersebut tidak bisa dijadikan rujukan untuk hal yang ilzamiyah (normatif), 
karena diriwayatkan secara ahad (individual). Hadits ahad hanya bersifat 
ikhbariyah (informatif), sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum apapun. 
Dalam kaidah Ushul Fiqh untuk hal-hal yang sangat prinsip yaitu ilzamiyah, 
haruslah berlandaskan kepada teks yang diriwayatkan secara mutawatir 
(kolektif). 

Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ulama terdahulu 
yang membenarkan kepemimpinan perempuan dalam konteks di bidang politik. 
Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsensus (ijma') dengan pernyataan bahwa 
kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi kepemimpinan tertinggi dalam 
lapangan politik (alFiqh alIslami, VII: 6179). Sementara pemikir Islam 
kontemporer juga tidak sedikit yang menyuarakan hal yang sama. Sebutlah 
misalnya Syah Waliyullah alDahlawi, alMawdudi dan yang lain. Dengan demikian, 
berarti bahwa perempuan dalam pandangan Syari'ah tidak dibenarkan untuk 
menduduki kepemimpinan politik tertinggi. Jamaluddin Al Afghani dalam bukunya 
yang berjudul 'Aisyah wa alSiyasah, menulis secara lengkap tentang biografi St 
Aisyah dan mencoba memberikan nasehat bagi generasi mendatang tentang 
keberadaan perempuan dalam politik praktis.

Itu dalam wacana. Bagaimana di lapangan? 
1. Kenyataan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak menyerahkan kepemimpinan beliau 
kepada puteri beliau, Siti Fathimah, ataupun kepada Ummu lMu'minin St 'Aisyah 
yang keduanya-duanya adalah cerdas dan bijak. Keduanya memang cerdas dan bijak 
dalam konteks ukuran keseharian, namun bukan dalam konteks bidang siyasah 
(politik). 
2. Siti 'Aisyah, walaupun sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di 
bawah kendali perintahnya, tetapi ujung-ujungnya beliau kalah, karena tidak 
matang menterjemahkan situasi politik sebagai dasar untuk bertindak. St 'Aisyah 
menunjukkan terpuruknya peran perempuan di wilayah politik, yaitu menarik 
sekelompok orang untuk membangkang dan terjun ke dalam perang memimpin sebuah 
pasukan yang menentang keabsahan khalifah keempat, 'Ali bin Abu Thalib. 
Peperangan ini terjadi di Basrah pada hari Ahad 12 Jumadil Akhir 36 H / 4 
Desember 656 M. menentang khalifah 'Ali bin Abi Thalib.

Ketika Khalifah 'Utsman bin Affan wafat, warga Madinah dan tiga pasukan dari 
Mesir, Basrah dan Kufah bersepakat memilih 'Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah 
baru. Sebermula beliau menolak penunjukan itu. Namun semua mendesak untuk 
memimpin ummat. Pembaiatan beliaupun berlangsung di Masjid Nabawi. Sebagai 
Khalifah beliau mewarisi pemerintahan yang sangat kacau. Juga ketegangan 
politik akibat pembunuhan Khalifah ketiga, 'Utsman bin Affan. Keluarga Umayyah 
menguasai hampir semua kursi pemerintahan. Dari 20 gubernur yang ada, hanya 
Gubernur Iraq yaitu Abu Musa Al Asyari yang bukan keluarga Umayyah. Mereka 
menuntut Khalifah 'Ali bin Abu Thalib untuk mengadili pembunuh Khalifah 
'Utsman. Tuntutan demikian juga diajukan St 'Aisyah. Namun Khalifah 
berpandangan bahwa pengadilan sulit dilaksanakan sebelum situasi politik reda. 
Khalifah bermaksud menyatukan negara lebih dahulu. Untuk itu, beliau mendesak 
Muawiyah bin Abu Sofyan, Gubernur Syam, yang juga pimpinan keluarga Umayyah 
untuk segera berbaiat kepadanya. 

Muawiyyah menolak berbaiat sebelum pembunuh Khalifah 'Ustman dihukum. Bahkan 
Muawwiyah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk menentang Khalifah. Maka 
Khalifah segera menyusun pasukan. Khalifah berangkat ke Kufah, wilayah yang 
masyarakatnya mendukung Khalifah. Beliau tinggalkan ibu kota Madinah 
sepenuhnya. Sementara itu St 'Aisyah, telah bergerak memimpin 30 ribu pasukan 
dari Makkah. Pasukan Khalifah yang semula diarahkan ke Syam terpaksa dibelokkan 
untuk menghadapi pasukan St 'Aisyah, yang memimpin pasukannya dalam tandu 
tertutup di atas unta. Banyak pasukan juga mengendarai unta, sehingga pasukan 
itu dari pihak St 'Aisyah disebut Ashhab alJamal (Pasukan Unta). Maka perang 
itu disebut Perang Unta. St 'Aisyah tertawan setelah tandunya penuh dengan anak 
panah. Adapun dari pihak Khalifah 'Ali pasukan 'Aisyah disebutnya An Nakits 
(N-K-TS), yang diambil dari Firman Allah:
-- FMN NKTS FANMA YNKTS 'ALY NFSH (S. ALFTh, 48:10), dibaca: faman nakatsa 
fainnama- yankutsu 'ala- nafsihi-, artinya barangsiapa yang menebas (bai'ah), 
maka (bahaya) penebasannya atas dirinya sendiri. 

Kerugian peperangan itu sangat besar.
-- Pertama, kerugian jiwa, yaitu dari pihak St 'Aisyah sejumlah 16,796 orang 
terbunuh, dan dari pihak Khalifah 1,070 orang.
-- Kedua, perpecahan mazdhab, mereka para penyokong St 'Aisyah dan Muawiyah 
disebut Ahlussunnah, dan para penyokong Khalifah disebut Syi'ah (partai) 'Ali, 
dan yang menyedihkan ialah yang pada mulanya hanya berupa mdzhab politik, namun 
ujung-ujungnya menjadi madzhab theologi, yaitu Madzhab Ahlussunnah dan Madzhab 
Syi'ah (tanpa menyebutkan 'Ali lagi). 

***

Ala kulli hal, dalam Hadits yang telah dikutip di atas, ungkapan "urusan 
mereka" (Amruhum), adalah urusan dalam konteks kancah politik. Alhasil, tidak 
akan beruntung kaum yang mendiami sebuah negeri, tidak terkecuali Indonesia 
ini, jika dipimpin oleh perempuan dalam urusan politik. Sedangkan St 'Aisyah 
yang begitu cerdas dan bijak dalam kehidupan keseharian, akan tetapi gagal 
dalam kepemimpinan politik, maka betapa pula oleh perempuan yang biasa-biasa 
saja. WaLlahu a'lamu bisshwab.

*** Makassar, 29 Agusutus 2004
http://waii-hmna.blogspot.com/2004/08/640-perang-unta-dan-kepemimpinan.html


----- Original Message ----- 
From: "Abdul Muiz" <mui...@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Monday, July 19, 2010 04:51
Subject: Bls: [wanita-muslimah] Re: Kaum muslim Tiongkok bersama dengan non 
muslim membangun sebuah khilafah Islam yang dikenal dengan Dinasti Ming 
(1368-1644M).

Pada era khalifah Ali bin Abi Thalib, perang saudara terjadi dua kali :

Pertama perang Jamal, antara Aisyah (Janda Nabi Muhammad sekaligus putri Abu 
Bakar) Vs Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi Muhammad sekaligus saudara sepupu 
Nabi Muhammad). Satu kubu dengan Aisyah adalah Thalha dan Zubair bin Awwam dua 
sahabat Nabi ini disebut hadist Nabi sebagai penghuni syurga termasuk lawan 
perang mereka yaitu Ali bin Abi Thalib. Penyebab pecahnya Perang Jamal karena 
tidak tercapai deal (kesepakatan) mengenai penyelesaian kasus pembunuhan 
Khalifah Utsman bin Affan. Khalifah Ali menghendaki menciptakan stabilitas 
negara lebih dulu baru mengadili pembunuh Utsman, sedangkan kubu Aisyah 
menghendaki kasus pembunuhan Khalifah Utsman lebih diutamakan. Konon siti 
Aisyah pada masa Nabi Muhammad masih hidup di awal pernikahannya bersama 
Kanjeng Nabi Muhammad terjadi fitnah ketika Aisyah ketinggalan rombongan 
(kafilah) karena ketiduran dan kafilah Nabi mengira Aisyah ikut serta. 
Rombongan Kafilah baru menyadari kalau Aisyah ketinggalan saat
 menyusul kafilah mereka Aisyah disertai sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin 
Muatthol yang menemukan Aisyah ketiduran di tengah jalan sendirian, sehingga 
timbul desas-desus (kayak berita gosip infotaintment di TV Indonesia) bahwa 
Aisyah selingkuh. Maka Nabi meminta pendapat sahabat-sahabat terdekatnya, 
bagaimana beliau sebaiknya menyikapi Aisyah, Ali pada saat itu berpendapat, 
"masih ada wanita lain yang lebih baik........" maksudnya ceraikan saja Aisyah. 
Sikap dan saran Ali ini sampai juga ke telinga siti Aisyah. Fitnahpun tidak 
terbukti dan Aisyah masih menjadi Istri Kanjeng Nabi Muhammad sampai akhir 
hayat beliau. 

Akhir perang Jamal adalah dari Kubu Aisyah, terbunuh thalha dan zubair. 
Sedangkan Aisyah dilumpuhkan Ali dengan memotong kedua kaki onta (jamal) yang 
ditunggangi Aisyah. Perang berakhir dengan kemenangan di pihak Khalifah Ali bin 
Abi Thalib, selanjutnya kubu Ali sendiri mengantarkan Aisyah ke Mekkah sehingga 
Aisyah tidak terdengar lagi terlibat dalam kancah politik hingga akhir hayat.

Perang yang kedua adalah perang Shiiffin, yaitu perang antara kubu Khalifah Ali 
bin Abi Thalib VS kubu Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Penyebabnya hampir sama dengan 
perang Jamal tidak ada kesepakatan (deal) tentang penyelesaian kasus pembunuhan 
Khalifah Utsman. Dua kubu ini memang berseteru sejak nenek moyang mereka 
terutama penguasaan Ka'bah di Mekkah. Ali bin Abi Thalib adalah keturunan Bani 
Hasyim sedangkan Muawiyah adalah keturunan Bani Umayyah. Mu'awiyah adalah 
kerabat dekat dengan Utsman bin Affan yang menjadi isyu persoalan konflik 
perang shiffin. Perang saudara ini berakhir imbang dengan sama-sama menderita. 

Sebenarnya secara militer kubu Ali hampir menang namun kubu Mu'awiyah melalui 
Amr bin 'Ash menancapkan Mushaf Qur'an di atas tombak menawarkan damai dengan 
berunding kembali kepada Kitabullah Al qur'an. Ali yang tahu persis sikap dan 
kelakuan Amr bin 'Ash menolak berunding, akan menuntaskan perang, namun para 
pengikutnya banyak yang menolak melanjutkan perang karena kelelahan setelah 
perang Jamal yang menghabiskan banyak energi. Maka Ali tidak mempunyai pilihan 
kecuali berunding. Disepakati kedua kubu mengirimkan delegasi untuk maju di 
meja perundingan. Dari kubu Muawiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai juru bicara, 
sementara dari kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib semula ingin menunjuk Abdulllah 
bin Abbas namun ditolak pengikutnya, yang kemudian mayoritas pengikutnya 
menghendaki Abu Musa al asy'ari sebagai juru bicara sekaligus juru runding. Ali 
mengetahui persis kepiawaian Amr bin Ash dan keluguan Abu Musa al Asy'ari. Wal 
hasil Amr bin Ash berhasil
 mensiasati Abu Musa supaya sepakat memecat pemimpin kedua kubu yang berseteru 
: Ali bin abi Thalib maupun Mu'awiyah. Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa Al 
'Asy'ari untuk tampil lebih dulu mengumumkan pemecatan kedua pemimpin yang 
berseteru ini. Giliran Amr bin Ash tampil dia justru menampilkan sebagai 
Muawiyah sebagai pemimpin. Perundingan pun berakhir dengan kisruh tanpa ada 
penyelesaian berarti. 

Maka muncullah gerakan Khawarij yang artinya keluar dari kelompok yang 
berseteru. Kelompok ini sebenarnya kebanyakan berasal dari kubu Khalifah Ali 
bin Abi Thalib, pasca perundingan tsb tidak setuju dengan Ali bin Abi Thalib 
maupun Muawiyah, maka mereka memutuskan supaya membunuh tiga orang sebagai 
biang kerok konflik tidak jelas tsb yaitu : Khalifah Ali bin Abi Thalib, 
Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash. Eksekutor pun sudah disiapkan kaum 
Khawarij namun yang berhasil menjalankan tugas cuma membunuh Ali bin Abi 
Thalib, sedangkan Mu'awiyah selamat yang akhirnya sepeninggal Khalifah Ali, 
mendirikan dinasti kekhalifahan Bani Umayyah, sedangkan untuk membalas jasa 
juru bicaranya, Amr bin Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir (dulu pernah 
menjadi amir di Mesir namun dipecat oleh Khalifah Umar bin Khattab).

Tidak lama setelah muncul gerakan khawarij muncul pula firqah Syi'ah yang 
mengagungkan Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya dari Fatimah putri Kanjeng 
Nabi Muhammad. Sebenarnya aliran Syi'ah ini muncul karena konflik politik namun 
akhirnya bergeser menjadi aliran theologi sampai sekarang tetap exist dengan 
mayoritas ada i Iran. Juga muncul gerakan mur'ji'ah namun gerakan ini kecil dan 
hilang ditelan sejarah.

Nah uniknya, Ibnu taymiyah dan pengikutnya mengharamkan bertanya siapa yang 
salah dalam konfilik perang jamal mupun perang shiffin.

Wassalam
Abdul Mu'iz

--- Pada Sen, 19/7/10, Waluya <wal...@plasa.com> menulis:

Dari: Waluya <wal...@plasa.com>
Judul: [wanita-muslimah] Re: Kaum muslim Tiongkok bersama dengan non muslim 
membangun sebuah khilafah Islam yang dikenal dengan Dinasti Ming (1368-1644M).
Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Tanggal: Senin, 19 Juli, 2010, 12:44 AM

















 > Wikan Danar Sunindyo <wikan.da...@...> wrote:

> baguslah kalau ada sejarawan muslim yang objektif

> saya juga pengin tahu apa yang penulis itu tulis mengenai konflik 

> ali vs muawiyah, pembunuhan hussain, terbunuhnya khalifah umar dan 

> utsman, etc



Menurut buku sejarah Islam yang saya punya, persaingan Ali dan Muawiyyah tidak 
lepas dari akarnya, yaitu persaingan Bani Hasyim dengan Bani Umayyah yang 
terjadi sejak sebelum Islam lahir. Persaingan ini dimulai dari UMAYYAH yang 
menentang dan akan merebut kekukasaan sang paman HASYIM dalam memperebutkan 
kekuasaan di Makkah (termasuk pengelolaan Ka'bah). Ummayah kalah dalam medan 
perkelahian dengan Hasyim, dan akibatnya dia dibuang keluar kota selama 10 
tahun.



Ummayah berputra HARB, sedangkan HASYIM berputra SYABIH dalam perkawinnanya 
dengan wanita Madinah. SYABIH akhirnya dipanggil ABDUL MUTHTHALIB, karena waktu 
beliau ikut pamannya MUTHTHALIB ke Madinah, Orang-orang Madinah menyangka 
SYABIH itu budaknya MUTHTHALIB. ABDUL MUTHTHALIB akhirnya menjadi "penguasa 
Makkah" juga seperti bapaknya. HARB, seperti juga bapaknya, tidak menerima 
kepemimpinan ABDUL MUTHTHALIB. Akhirnya dia juga diusir ke luar kota. 
Benih-benih permusuhan sudah mulai bersemai.



Abdul Muththalib berputra Abdullah (menurunkan Nabi Muhammad), Abu Thalib 
(menurunkan Ali) dan Abbas (kelak keturunannya mendirikan dinasti Abbasyiah). 
Sedangkan Umayyah, selain berputra HARB yang menurunkan ABU SUFYAN (menurunkan 
MUawiyyah--> Yazid), juga mempunyai putra bernama ABU AL-AS yang berputra AFFAN 
dan berputra USMAN (Khalifah Rasyidin ke 3).



Di jaman Kangjeng Nabi, permusuhan dua Bani ini akhirnya dapat diredam dengan 
masuk Islamnya Abu Sufyan dan putranya Muawiyah karena kecerdasannya dijadikan 
"sekretaris" Kangjeng Nabi. Tetapi sepeninggal Kangjeng Nabi, permusuhan ini 
muncul kembali, apalagi waktu Khalifah Usman, permusuhan ini makin menjadi-jadi.



Gitu katanya jalan ceritanya. Entahlah, saya cuma orang yang hobi baca buku 
sejarah, tapi paling tidak saya bisa mafhum kenapa Khalifah Usman yang 
sebenarnya sama-sama beristri putri Nabi seperti Ali, tidak terlalu dianggap/ 
tidak diakui oleh orang Syiah.



Mohon maaf jika ada yang keliru dan terimakasih sekali jika dikoreksi.



Sumber: Sejarah Islam (Tarik Pramodern). K. Ali, penterjemah Ghufron A. 
Mas'adi, PT RajaGRafindo Persada, Jakarta, cetakan 2, 1997



Salam,

WALUYA

[Non-text portions of this message have been removed]


---
email : x1...@gmx.com

sent by Mobile Device on Gentoo Linux

Kirim email ke