[wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen

2009-05-13 Terurut Topik Mia
Masalahnya emang di situ, mba Lina. Pada akhirnya kita memang harus bisa 
menerima kekalahan atau bisa mengukur kemampuan diri sendiri.  

Di lain pihak analisa hikmah ajar (lesson learned) dan usaha jalan terus.  
Setelah bekerja bertahun2 membangun konstituen, yang terpilih orang baru, yang 
baru lulus kuliah, yang artis, yang berduit, yang nggak fokus pada konstituen, 
yang nggak kompeten, atau kena serangan fajar.

Pemerhati gender Ani Sutjipto mempertanyakan itu, kenapa basis perempuan yang 
membangun konstituen (i.e comdev) nggak bisa merealisasikan ini dalam bentuk 
daya politik, legislatif apalagi eksekutif? Lalu beliau menyebut 3-4 hal 
bagaimana untuk mempersiapkan itu ke depan.  Tapi kali ini saya lagi nggak 
ingat apa saja itu.

Keterwakilan 8% memang menunjukkan ketimpangan gender. Dan ini persoalan kita 
semua, bukan hanya masyarakat perempuan.  

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Lina Dahlan linadah...@... wrote:

 Kalo saya sih nyaranin, karena sudah gagal nyaleg yak udah semangatnya 
 dialihkan untuk menjalankan rencana2 utk kemajuan desa aja tanpa harus duduk 
 di legislatif? Bisa gak ya kira2?.
 
 Saya pikir kan kalo dia berhasil, dan masih mo nyalonin diri lagi di next 
 pemilihan 5thn mendatang, dia gak usah kampanye lagi. Hasil kerjanya selama 5 
 tahun itulah kampanyenya. Kalopun gak mo nyaleg lagi, ya udah, apa ya tlh 
 dikerjakannya itu tidaklah sia-sia. amien.
 
 Gagal aja gak sia-sia, apalagi berhasil.
 
 wassalam,
 
 
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Herni Sri Nurbayanti nurbayanti@ 
 wrote:
  Kemarin saya diskusi dng salah satu caleg perempuan yg gagal, meski 
  perolehan suaranya bagus. Yg saya kagumi, semangatnya masih menyala. 
  Bahkan, belajar dari pengalaman pemilu lalu menyusuri desa-desa dapilnya, 
  mengenali kondisi konstituennya, dan kemudian menyusun rencana2. 
  Pengalamannya kemarin turun ke desa2 justru menggerakan hatinya utk 
  memberdayakan konsituennya, minimal mampu memperjuangkan hak-haknya, meski 
  'hanya' sekedar urusan perbaikan jalan, pengadaan pupuk, dll.





[wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen

2009-05-11 Terurut Topik Herni Sri Nurbayanti
5 thn ke depan sepertinya krusial. DPR isinya yg punya modal atau dinasti.. 
potensi besar utk korupsi. Bayar biaya pemilu kemarin dan buat 2014. Berhitung 
sajalah. Belum lagi, ada partai2 ttt yg punya semangat kembali ke UUD 1945. 
Bukan tidak mungkin kekacauan demokrasi sekarang akan dijadikan alasan.

Soal caleg perempuan, gak cuma angkanya saja, tapi mereka2 yg selama ini jadi 
kontak gerakan perempuan di DPR banyak juga yg tidak kembali terpilih. Padahal, 
selama ini kelompok perempuan sbg kelompok penekan di DPR terbukti cukup 
efektif. Soal 'fraksi balkon', panja terbuka, dll.

Masalah caleg perempuan bukan cuma masalah keputusan MK sih, tapi soal dukungan 
juga. Suka atau tidak, isu ini masih sekedar wacana. Untuk soal milih aja, 
banyak juga kok mereka2 yg mendukung gagasan caleg perempuan tapi pas hari H 
golput. Bukan karena tidak terdaftar, tapi ya golput. Selain itu, menjadi caleg 
dan memperoleh kursi kan tidak gampang. Ini juga kurang kita dukung.

Kemarin saya diskusi dng salah satu caleg perempuan yg gagal, meski perolehan 
suaranya bagus. Yg saya kagumi, semangatnya masih menyala. Bahkan, belajar dari 
pengalaman pemilu lalu menyusuri desa-desa dapilnya, mengenali kondisi 
konstituennya, dan kemudian menyusun rencana2. Pengalamannya kemarin turun ke 
desa2 justru menggerakan hatinya utk memberdayakan konsituennya, minimal mampu 
memperjuangkan hak-haknya, meski 'hanya' sekedar urusan perbaikan jalan, 
pengadaan pupuk, dll. 

Lima tahun (untuk tahun 2014 maksudnya), bukan waktu yg lama atau singkat... 
tapi cukup utk mulai berkampanye. Bukan utk perolehan suara, tapi mengurusi 
'calon konstituennya'. Dan menurut saya, ini langkah yg sangat baik banget. 
Inilah wujud dari fungsi representasi yg sesungguhnya! Dan semoga, caleg2 
perempuan yg meski tahun ini kalah, juga masih punya semangat yg sama. 

Apa ya, yg WM bisa bantu? Nyebarin kisahnya kali ya? hehehe...
Atau ada ide lain?

Mas Ambon, hayuh nyumbang ide.. jangan cuma posting berita ajah :)


salam,
herni


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sunny am...@... wrote:

 http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/07/sh05.html
 
 Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen 
 
 Oleh
 Stevani Elisabeth
 
 
 
 Jakarta - Perhimpunan Demokrasi untuk Pemilu (Perdemlu) memprediksi perempuan 
 yang duduk di parlemen, berdasarkan hasil Pemilu 2009, jumlahnya kurang dari 
 8%. 
 
 Penurunan jumlah ini dikarenakan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 
 Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, yang menyebutkan bahwa 
 calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditetapkan berdasarkan suara 
 terbanyak. 
 Dengan putusan MK tersebut, banyak caleg perempuan yang potensial tidak 
 terpilih. Kita sudah betul melaksanakan pencalonan sistem zig-zag. Kalau kita 
 ingin mencapai affirmative action, maka harus pakai sistem tertutup, tegas 
 Ketua Perdemlu, Didi Supriyanto, pada pembekalan bagi caleg perempuan 
 pasca-Pemilu Legislatif 2009, di Jakarta, Rabu (6/5).
 
 
 Dia menambahkan, keterwakilan perempuan di parlemen memang cukup ironi. Pada 
 tahun 1987, perempuan di parlemen ada 65 orang (13%) dari 500 anggota 
 parlemen. Tahun 1992, ada 62 perempuan (12,50%), tahun 1997 ada 54 perempuan 
 (10,80%), tahun 1999 ada 45 perempuan (9%), tahun 2004 ada 61 perempuan 
 (11,09%) dan tahun 2009 diperkirakan kurang dari 40 orang (kurang dari 8%).
 
 
 Didi menilai affirmative action yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis 
 perempuan hanya terfokus pada variabel pencalonan. Selain itu, Komisi 
 Pemilihan Umum (KPU) tidak pro perempuan, dan seorang pemilih harus melihat 
 800-1.500 nama caleg. Ini tentunya sangat sulit bagi masyarakat untuk 
 memilih. Oleh sebab itu, salah satu caranya adalah memperkecil kursi di 
 seluruh daerah pemilihan. Ke depan, kebijakan affirmative action tidak 
 terfokus pada pencalonan, lanjut Didi.
 Senior Advisor Kemitraan Ramlan Surbakti menilai keputusan MK itu seperti 
 mahasiswa S1 yang sedang membuat skripsi karena mencari data yang mendukung 
 hipotesisnya. 
 
 
 Putusan MK ini justru menjadi bahan tertawaan orang, khususnya oleh 
 ahli-ahli sistem pemilu, tegasnya. Caleg perempuan harus bertarung karena 
 menghadapi realitas politik di Indonesia, yakni politik uang. Sekarang 
 tergantung caleg perempuan, mau ikut arus money politic atau tidak. Kalau 
 ikut arus politik uang, itu tidak ada gunanya untuk peningkatan keterwakilan 
 perempuan di parlemen, lanjut Ramlan. Ia berharap anggota DPRD maupun DPR 
 perempuan harus lebih sensitif menyikapi masalah ini.
 
 
 Sementara itu, anggota DPR Lena Maryana mengatakan keberadaan perempuan di 
 parlemen seperti lilin yang mau padam. Di satu sisi mereka mendorong agar 
 keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30 persen, namun di sisi lain 
 mereka tidak mau partai mereka di daerah pemilihan tidak bisa running karena 
 tidak bisa memenuhi kuota 30 persen.
 
 
 Sementara itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta sangat 
 menyayangkan adanya perubahan sistem 

Re: [wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen - KPI

2009-05-11 Terurut Topik jano ko
Mas Ambon, hayuh nyumbang ide.. jangan cuma posting berita ajah :)

---
 
ko_jano :
 
Berdasarkan nama baik Demokrasi maka ko_jano mau mendirikan Koalisi Pria 
Indonesia, siapa yang mau ikutan silahkan kirim email ke ko_jano.
Salah satu tugas daripada Koalisi Pria Indonesia adalah MASAK, MENCUCI POPOK 
ANAK-ANAK, MELANTAI ALIAS NGEPEL LANTAI.
Siapa yang mau itttutt ?
 
Salam
 
-o0o-

--- On Tue, 12/5/09, Herni Sri Nurbayanti nurbaya...@gmail.com wrote:


From: Herni Sri Nurbayanti nurbaya...@gmail.com
Subject: [wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Tuesday, 12 May, 2009, 12:22 AM








5 thn ke depan sepertinya krusial. DPR isinya yg punya modal atau dinasti.. 
potensi besar utk korupsi. Bayar biaya pemilu kemarin dan buat 2014. Berhitung 
sajalah. Belum lagi, ada partai2 ttt yg punya semangat kembali ke UUD 1945. 
Bukan tidak mungkin kekacauan demokrasi sekarang akan dijadikan alasan.

Soal caleg perempuan, gak cuma angkanya saja, tapi mereka2 yg selama ini jadi 
kontak gerakan perempuan di DPR banyak juga yg tidak kembali terpilih. Padahal, 
selama ini kelompok perempuan sbg kelompok penekan di DPR terbukti cukup 
efektif. Soal 'fraksi balkon', panja terbuka, dll.

Masalah caleg perempuan bukan cuma masalah keputusan MK sih, tapi soal dukungan 
juga. Suka atau tidak, isu ini masih sekedar wacana. Untuk soal milih aja, 
banyak juga kok mereka2 yg mendukung gagasan caleg perempuan tapi pas hari H 
golput. Bukan karena tidak terdaftar, tapi ya golput. Selain itu, menjadi caleg 
dan memperoleh kursi kan tidak gampang. Ini juga kurang kita dukung.

Kemarin saya diskusi dng salah satu caleg perempuan yg gagal, meski perolehan 
suaranya bagus. Yg saya kagumi, semangatnya masih menyala. Bahkan, belajar dari 
pengalaman pemilu lalu menyusuri desa-desa dapilnya, mengenali kondisi 
konstituennya, dan kemudian menyusun rencana2. Pengalamannya kemarin turun ke 
desa2 justru menggerakan hatinya utk memberdayakan konsituennya, minimal mampu 
memperjuangkan hak-haknya, meski 'hanya' sekedar urusan perbaikan jalan, 
pengadaan pupuk, dll. 

Lima tahun (untuk tahun 2014 maksudnya), bukan waktu yg lama atau singkat... 
tapi cukup utk mulai berkampanye . Bukan utk perolehan suara, tapi mengurusi 
'calon konstituennya' . Dan menurut saya, ini langkah yg sangat baik banget. 
Inilah wujud dari fungsi representasi yg sesungguhnya! Dan semoga, caleg2 
perempuan yg meski tahun ini kalah, juga masih punya semangat yg sama. 

Apa ya, yg WM bisa bantu? Nyebarin kisahnya kali ya? hehehe...
Atau ada ide lain?

Mas Ambon, hayuh nyumbang ide.. jangan cuma posting berita ajah :)

salam,
herni

--- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, sunny am...@... wrote:

 http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0905/ 07/sh05.html
 
 Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen 
 
 Oleh
 Stevani Elisabeth
 
 
 
 Jakarta - Perhimpunan Demokrasi untuk Pemilu (Perdemlu) memprediksi perempuan 
 yang duduk di parlemen, berdasarkan hasil Pemilu 2009, jumlahnya kurang dari 
 8%. 
 
 Penurunan jumlah ini dikarenakan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 
 Nomor 22-24/PUU-VI/ 2008 tanggal 23 Desember 2008, yang menyebutkan bahwa 
 calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditetapkan berdasarkan suara 
 terbanyak. 
 Dengan putusan MK tersebut, banyak caleg perempuan yang potensial tidak 
 terpilih. Kita sudah betul melaksanakan pencalonan sistem zig-zag. Kalau kita 
 ingin mencapai affirmative action, maka harus pakai sistem tertutup, tegas 
 Ketua Perdemlu, Didi Supriyanto, pada pembekalan bagi caleg perempuan 
 pasca-Pemilu Legislatif 2009, di Jakarta, Rabu (6/5).
 
 
 Dia menambahkan, keterwakilan perempuan di parlemen memang cukup ironi. Pada 
 tahun 1987, perempuan di parlemen ada 65 orang (13%) dari 500 anggota 
 parlemen. Tahun 1992, ada 62 perempuan (12,50%), tahun 1997 ada 54 perempuan 
 (10,80%), tahun 1999 ada 45 perempuan (9%), tahun 2004 ada 61 perempuan 
 (11,09%) dan tahun 2009 diperkirakan kurang dari 40 orang (kurang dari 8%).
 
 
 Didi menilai affirmative action yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis 
 perempuan hanya terfokus pada variabel pencalonan. Selain itu, Komisi 
 Pemilihan Umum (KPU) tidak pro perempuan, dan seorang pemilih harus melihat 
 800-1.500 nama caleg. Ini tentunya sangat sulit bagi masyarakat untuk 
 memilih. Oleh sebab itu, salah satu caranya adalah memperkecil kursi di 
 seluruh daerah pemilihan. Ke depan, kebijakan affirmative action tidak 
 terfokus pada pencalonan, lanjut Didi.
 Senior Advisor Kemitraan Ramlan Surbakti menilai keputusan MK itu seperti 
 mahasiswa S1 yang sedang membuat skripsi karena mencari data yang mendukung 
 hipotesisnya. 
 
 
 Putusan MK ini justru menjadi bahan tertawaan orang, khususnya oleh 
 ahli-ahli sistem pemilu, tegasnya. Caleg perempuan harus bertarung karena 
 menghadapi realitas politik di Indonesia, yakni politik uang. Sekarang 
 tergantung caleg perempuan, mau ikut arus money politic atau tidak. Kalau 
 ikut

Re: [wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen - KPI

2009-05-11 Terurut Topik Ari Condro
sarpokenoko ini kasar sekali budi bahasanya.

pekerjaan domestik semacam bersih bersih rumah, nyuci, ngemong anak,
buang sampah, masak, harusnya kan bagian dari keseharian.  bagian dari
diri kita.  malah saya bertanya tanya, kalau hal ini bukan keseharian,
bagaimana kehidupan sehari harinya ? masih pantaskah dia menyebut
dirinya ber-Islam ketika bekerja sama dengan partner hidupnya pun dia
tak mau.

sarpokenoko, mengapa kamu benci pada kaum lelaki dan perempuan di
milis ini, yang punya pandangan mau dan rela berbagi dengan pasangan
hidupnya.  mengapa kamu benci sekali pada orang yang bangga ketika
perempuan (baik perempuan hidupnya maupun perempuan lain di seluruh
dunia), lebih punya waktu, sumber daya dan kesempatan untuk menjadi
dirinya sendiri, memahami dan menjalani pilihan kehidupannya.

kalaupun sarpokenoko sudah merasa nyaman dengan menjadi juragan di
rumahnya sendiri, yah seharusnya malu dengan anak anak muda yang lebih
mahir berbagi dengan pasangan hidupnya.

bukannya malah menuduh yang enggak enggak.  seolah saling berbagi itu
bertentangan dengan takdir Islam dan kehidupan.







2009/5/12 jano ko ko_j...@yahoo.com:


 Mas Ambon, hayuh nyumbang ide.. jangan cuma posting berita ajah :)

 ---

 ko_jano :

 Berdasarkan nama baik Demokrasi maka ko_jano mau mendirikan Koalisi Pria
 Indonesia, siapa yang mau ikutan silahkan kirim email ke ko_jano.
 Salah satu tugas daripada Koalisi Pria Indonesia adalah MASAK, MENCUCI
 POPOK ANAK-ANAK, MELANTAI ALIAS NGEPEL LANTAI.
 Siapa yang mau itttutt ?

 Salam

 -o0o-

 --- On Tue, 12/5/09, Herni Sri Nurbayanti nurbaya...@gmail.com wrote:

 From: Herni Sri Nurbayanti nurbaya...@gmail.com
 Subject: [wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen
 To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
 Date: Tuesday, 12 May, 2009, 12:22 AM

 5 thn ke depan sepertinya krusial. DPR isinya yg punya modal atau dinasti..
 potensi besar utk korupsi. Bayar biaya pemilu kemarin dan buat 2014.
 Berhitung sajalah. Belum lagi, ada partai2 ttt yg punya semangat kembali ke
 UUD 1945. Bukan tidak mungkin kekacauan demokrasi sekarang akan dijadikan
 alasan.

 Soal caleg perempuan, gak cuma angkanya saja, tapi mereka2 yg selama ini
 jadi kontak gerakan perempuan di DPR banyak juga yg tidak kembali terpilih.
 Padahal, selama ini kelompok perempuan sbg kelompok penekan di DPR terbukti
 cukup efektif. Soal 'fraksi balkon', panja terbuka, dll.

 Masalah caleg perempuan bukan cuma masalah keputusan MK sih, tapi soal
 dukungan juga. Suka atau tidak, isu ini masih sekedar wacana. Untuk soal
 milih aja, banyak juga kok mereka2 yg mendukung gagasan caleg perempuan tapi
 pas hari H golput. Bukan karena tidak terdaftar, tapi ya golput. Selain itu,
 menjadi caleg dan memperoleh kursi kan tidak gampang. Ini juga kurang kita
 dukung.

 Kemarin saya diskusi dng salah satu caleg perempuan yg gagal, meski
 perolehan suaranya bagus. Yg saya kagumi, semangatnya masih menyala. Bahkan,
 belajar dari pengalaman pemilu lalu menyusuri desa-desa dapilnya, mengenali
 kondisi konstituennya, dan kemudian menyusun rencana2. Pengalamannya kemarin
 turun ke desa2 justru menggerakan hatinya utk memberdayakan konsituennya,
 minimal mampu memperjuangkan hak-haknya, meski 'hanya' sekedar urusan
 perbaikan jalan, pengadaan pupuk, dll.

 Lima tahun (untuk tahun 2014 maksudnya), bukan waktu yg lama atau singkat...
 tapi cukup utk mulai berkampanye . Bukan utk perolehan suara, tapi
 mengurusi 'calon konstituennya' . Dan menurut saya, ini langkah yg sangat
 baik banget. Inilah wujud dari fungsi representasi yg sesungguhnya! Dan
 semoga, caleg2 perempuan yg meski tahun ini kalah, juga masih punya semangat
 yg sama.

 Apa ya, yg WM bisa bantu? Nyebarin kisahnya kali ya? hehehe...
 Atau ada ide lain?

 Mas Ambon, hayuh nyumbang ide.. jangan cuma posting berita ajah :)

 salam,
 herni

 --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, sunny am...@... wrote:

 http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0905/ 07/sh05.html

 Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen

 Oleh
 Stevani Elisabeth



 Jakarta - Perhimpunan Demokrasi untuk Pemilu (Perdemlu) memprediksi
 perempuan yang duduk di parlemen, berdasarkan hasil Pemilu 2009, jumlahnya
 kurang dari 8%.

 Penurunan jumlah ini dikarenakan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
 Nomor 22-24/PUU-VI/ 2008 tanggal 23 Desember 2008, yang menyebutkan bahwa
 calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditetapkan berdasarkan suara
 terbanyak.
 Dengan putusan MK tersebut, banyak caleg perempuan yang potensial tidak
 terpilih. Kita sudah betul melaksanakan pencalonan sistem zig-zag. Kalau
 kita ingin mencapai affirmative action, maka harus pakai sistem tertutup,
 tegas Ketua Perdemlu, Didi Supriyanto, pada pembekalan bagi caleg perempuan
 pasca-Pemilu Legislatif 2009, di Jakarta, Rabu (6/5).


 Dia menambahkan, keterwakilan perempuan di parlemen memang cukup ironi.
 Pada tahun 1987, perempuan di parlemen ada 65 orang (13%) dari 500 anggota
 parlemen. Tahun 1992, ada 62 perempuan (12,50%), tahun

[wanita-muslimah] Re: Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen

2009-05-11 Terurut Topik Lina Dahlan
Kalo saya sih nyaranin, karena sudah gagal nyaleg yak udah semangatnya 
dialihkan untuk menjalankan rencana2 utk kemajuan desa aja tanpa harus duduk di 
legislatif? Bisa gak ya kira2?.

Saya pikir kan kalo dia berhasil, dan masih mo nyalonin diri lagi di next 
pemilihan 5thn mendatang, dia gak usah kampanye lagi. Hasil kerjanya selama 5 
tahun itulah kampanyenya. Kalopun gak mo nyaleg lagi, ya udah, apa ya tlh 
dikerjakannya itu tidaklah sia-sia. amien.

Gagal aja gak sia-sia, apalagi berhasil.

wassalam,


--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Herni Sri Nurbayanti nurbaya...@... 
wrote:
 Kemarin saya diskusi dng salah satu caleg perempuan yg gagal, meski 
 perolehan suaranya bagus. Yg saya kagumi, semangatnya masih menyala. Bahkan, 
 belajar dari pengalaman pemilu lalu menyusuri desa-desa dapilnya, mengenali 
 kondisi konstituennya, dan kemudian menyusun rencana2. Pengalamannya kemarin 
 turun ke desa2 justru menggerakan hatinya utk memberdayakan konsituennya, 
 minimal mampu memperjuangkan hak-haknya, meski 'hanya' sekedar urusan 
 perbaikan jalan, pengadaan pupuk, dll.