Re: [wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah
Elohim dalam bahasa Arab menjadi "allaahuma". Jadi, kita banyak sekali menggunakan "elohim" dalam fonem Arab. Suwun. Wassalam, chodjim - Original Message - From: Abdul Muiz To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, February 09, 2010 10:48 PM Subject: Bls: [wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah Yahudi, nasrani dan islam itu satu rumpun bertemu pada nenek moyang Nabi Ibrahim. Maka al qur'an banyak membenarkan atau mengamandemen kitab-kitab pendahulunya seperti taurat, zabur dan injil, banyak kisah-kisah figur tokoh atau tradisi di kalayangan yahudi dan nasrani yang juga dikisahkan dan dianjurkan dalam qur'an. Namun untuk nama Tuhan, Alqur'an lebih memilih nama Allah bukan Yahwe atau elohim yang populer di kalangan Yahudi. Mengapa lebih memilih Allah, mungkin karena Yahwe lebih sektarian lebih primordial atau lebih dekat ke bangsa israel saja, sementara nama Allah lebih universal, apalagi disebut sebagai rahmatan lil'alamin (bukan hanya untuk bangsa arab saja) begitu pula Elohim dari segi kebahasaan ditemukan banyak ambigunya, karena kadang dipakai untuk pengertian jamak (plural). Benar ya mbak Mia ??, koreksi dong kalau keliru. --- Pada Rab, 10/2/10, aldiy menulis: Dari: aldiy Judul: [wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 12:42 PM Yah, ustadz Chodjim dimaafkan karena insist on al-ilah: -) Kalau kita telaah antropologi bahasa (filologi), dan bisa juga disumberkan dari komunitas2 tua di dunia, bentuk yang tertua untuk sebutan untuk Dia adalah yang semacam 'the, al, el, sang, yang', seperti itulah. Artinya 'al' yang itu mengacu pada sesuatu itu yang di luar jangkauan kita. Tuhan langit, agama samawi, itulah konsep yang berevolusi sejak 5000-an tahun lalu, sesuai dengan perkembangan etimologi kita. Tapi sebelumnya, malah 'the...' itu tabu untuk disebut. Yang sering disebut adalah representasinya di bumi ini..dewi Sri, misalnya. Penyimpangan dari sini adalah pantheism, dimana aspek bumi jadi berkelindan dengan 'el..', padahal kan bumi adalah ciptaan seperti manusia juga. Bilqis, termasuk penganut generasi terakhir dari periode tabu ini. Jadi kalo merunut etimologi historis, konsep primer adalah itu tabu untuk disebutkan, kemudian disebut dengan sang...the.. .el...dsb. ..kemudian menjadi nama tunggal Allah, Yahweh. salam Mia --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, Abdul Muiz wrote: > > nah Allah vs Thaghut, itulah makanya istilah "kafir" itu menjadi generik. Orang islam itu beriman kepada Allah, sekaligus kafir kepada thaghut. Orang Kafir itu beriman kepada thaghuut, sekaligus kafir kepada Allah. > > Tetapi orang kafir yang beriman kepada Thaghuut tidak bisa disebut mukmin lho. Karena Allah tidak pernah menyebut demikian. > > --- Pada Rab, 10/2/10, Ary Setijadi Prihatmanto menulis: > > Dari: Ary Setijadi Prihatmanto > Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT MENJADI MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > Kepada: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 9:46 AM> > > Hal itu terjadi karena secara konsep kan "laa ilaha illa..." sudah di mutlak di-unik kan secara sistem nilai. > > Jadi TIDAK ADA KASUS untuk menyebut hal itu kecuali dengan sebutan "thagut" bukan? > > > > Bagaimana dari sisi bahasanya, > > jika kita ingin bercerita perilaku yang mengacu pada dua sembahan tertentu, mis. Lat dan Uzza, bukankah "al-ilaahan" ? > > > > - Original Message - > > From: Abdul Muiz > > To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > > Sent: Wednesday, February 10, 2010 9:29 AM > > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT MENJADI MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > > > > sebenarnya yang unik itu bukan "al" (Bahasa Arab) atau "the" (bahasa Inggris) karena memang fungsinya sebagai definit article kata sandang tertentu (isim makrifat), unik itu karena satu-satunya isim dalam qamus arab yang tidak mengenal bentuk dua dan jamak ya "Allah" saja, gak ada yang lain. Kalau kata al kitab vs al kitabaan dan al kutub, al madrasah al madrasataan dan al madrasaat, al ustadz vs al ustadzaan dan al asaatidz ya tidak unik, karena memang definit article itu fungsinya memang menunjuk obyek tertentu bukan yang lain. > > > > Saya juga pernah menyimak ada orang berkata, "tidak ada itu Allah-Allah an bla bla bla. kalau ini jelas rancu (paling tidak menurut saya pribadi, mungkin ba
Bls: [wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah
Yahudi, nasrani dan islam itu satu rumpun bertemu pada nenek moyang Nabi Ibrahim. Maka al qur'an banyak membenarkan atau mengamandemen kitab-kitab pendahulunya seperti taurat, zabur dan injil, banyak kisah-kisah figur tokoh atau tradisi di kalayangan yahudi dan nasrani yang juga dikisahkan dan dianjurkan dalam qur'an. Namun untuk nama Tuhan, Alqur'an lebih memilih nama Allah bukan Yahwe atau elohim yang populer di kalangan Yahudi. Mengapa lebih memilih Allah, mungkin karena Yahwe lebih sektarian lebih primordial atau lebih dekat ke bangsa israel saja, sementara nama Allah lebih universal, apalagi disebut sebagai rahmatan lil'alamin (bukan hanya untuk bangsa arab saja) begitu pula Elohim dari segi kebahasaan ditemukan banyak ambigunya, karena kadang dipakai untuk pengertian jamak (plural). Benar ya mbak Mia ??, koreksi dong kalau keliru. --- Pada Rab, 10/2/10, aldiy menulis: Dari: aldiy Judul: [wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 12:42 PM Yah, ustadz Chodjim dimaafkan karena insist on al-ilah: -) Kalau kita telaah antropologi bahasa (filologi), dan bisa juga disumberkan dari komunitas2 tua di dunia, bentuk yang tertua untuk sebutan untuk Dia adalah yang semacam 'the, al, el, sang, yang', seperti itulah. Artinya 'al' yang itu mengacu pada sesuatu itu yang di luar jangkauan kita. Tuhan langit, agama samawi, itulah konsep yang berevolusi sejak 5000-an tahun lalu, sesuai dengan perkembangan etimologi kita. Tapi sebelumnya, malah 'the...' itu tabu untuk disebut. Yang sering disebut adalah representasinya di bumi ini..dewi Sri, misalnya. Penyimpangan dari sini adalah pantheism, dimana aspek bumi jadi berkelindan dengan 'el..', padahal kan bumi adalah ciptaan seperti manusia juga. Bilqis, termasuk penganut generasi terakhir dari periode tabu ini. Jadi kalo merunut etimologi historis, konsep primer adalah itu tabu untuk disebutkan, kemudian disebut dengan sang...the.. .el...dsb. ..kemudian menjadi nama tunggal Allah, Yahweh. salam Mia --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, Abdul Muiz wrote: > > nah Allah vs Thaghut, itulah makanya istilah "kafir" itu menjadi generik. > Orang islam itu beriman kepada Allah, sekaligus kafir kepada thaghut. Orang > Kafir itu beriman kepada thaghuut, sekaligus kafir kepada Allah. > > Tetapi orang kafir yang beriman kepada Thaghuut tidak bisa disebut mukmin > lho. Karena Allah tidak pernah menyebut demikian. > > --- Pada Rab, 10/2/10, Ary Setijadi Prihatmanto menulis: > > Dari: Ary Setijadi Prihatmanto > Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT MENJADI > MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > Kepada: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 9:46 AM> > > Hal itu terjadi karena secara konsep kan "laa ilaha illa..." sudah di > mutlak di-unik kan secara sistem nilai. > > Jadi TIDAK ADA KASUS untuk menyebut hal itu kecuali dengan sebutan "thagut" > bukan? > > > > Bagaimana dari sisi bahasanya, > > jika kita ingin bercerita perilaku yang mengacu pada dua sembahan tertentu, > mis. Lat dan Uzza, bukankah "al-ilaahan" ? > > > > - Original Message - > > From: Abdul Muiz > > To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > > Sent: Wednesday, February 10, 2010 9:29 AM > > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT > MENJADI MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > > > > sebenarnya yang unik itu bukan "al" (Bahasa Arab) atau "the" (bahasa Inggris) > karena memang fungsinya sebagai definit article kata sandang tertentu (isim > makrifat), unik itu karena satu-satunya isim dalam qamus arab yang tidak > mengenal bentuk dua dan jamak ya "Allah" saja, gak ada yang lain. Kalau kata > al kitab vs al kitabaan dan al kutub, al madrasah al madrasataan dan al > madrasaat, al ustadz vs al ustadzaan dan al asaatidz ya tidak unik, karena > memang definit article itu fungsinya memang menunjuk obyek tertentu bukan > yang lain. > > > > Saya juga pernah menyimak ada orang berkata, "tidak ada itu Allah-Allah > an bla bla bla. kalau ini jelas rancu (paling tidak menurut saya > pribadi, mungkin bagi yang berucap merasa tidak rancu). > > > > --- Pada Rab, 10/2/10, Ary Setijadi Prihatmanto > menulis: > > > > Dari: Ary Setijadi Prihatmanto > > Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT > MENJADI MODAL UNTUK SAL
[wanita-muslimah] Re: tentang al-ilah
Yah, ustadz Chodjim dimaafkan karena insist on al-ilah:-) Kalau kita telaah antropologi bahasa (filologi), dan bisa juga disumberkan dari komunitas2 tua di dunia, bentuk yang tertua untuk sebutan untuk Dia adalah yang semacam 'the, al, el, sang, yang', seperti itulah. Artinya 'al' yang itu mengacu pada sesuatu itu yang di luar jangkauan kita. Tuhan langit, agama samawi, itulah konsep yang berevolusi sejak 5000-an tahun lalu, sesuai dengan perkembangan etimologi kita. Tapi sebelumnya, malah 'the...' itu tabu untuk disebut. Yang sering disebut adalah representasinya di bumi ini..dewi Sri, misalnya. Penyimpangan dari sini adalah pantheism, dimana aspek bumi jadi berkelindan dengan 'el..', padahal kan bumi adalah ciptaan seperti manusia juga. Bilqis, termasuk penganut generasi terakhir dari periode tabu ini. Jadi kalo merunut etimologi historis, konsep primer adalah itu tabu untuk disebutkan, kemudian disebut dengan sang...the...el...dsb...kemudian menjadi nama tunggal Allah, Yahweh. salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Abdul Muiz wrote: > > nah Allah vs Thaghut, itulah makanya istilah "kafir" itu menjadi generik. > Orang islam itu beriman kepada Allah, sekaligus kafir kepada thaghut. Orang > Kafir itu beriman kepada thaghuut, sekaligus kafir kepada Allah. > > Tetapi orang kafir yang beriman kepada Thaghuut tidak bisa disebut mukmin > lho. Karena Allah tidak pernah menyebut demikian. > > --- Pada Rab, 10/2/10, Ary Setijadi Prihatmanto menulis: > > Dari: Ary Setijadi Prihatmanto > Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT MENJADI > MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > Kepada: wanita-muslimah@yahoogroups.com > Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 9:46 AM> > > Hal itu terjadi karena secara konsep kan "laa ilaha illa..." sudah di > mutlak di-unik kan secara sistem nilai. > > Jadi TIDAK ADA KASUS untuk menyebut hal itu kecuali dengan sebutan "thagut" > bukan? > > > > Bagaimana dari sisi bahasanya, > > jika kita ingin bercerita perilaku yang mengacu pada dua sembahan tertentu, > mis. Lat dan Uzza, bukankah "al-ilaahan" ? > > > > - Original Message - > > From: Abdul Muiz > > To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > > Sent: Wednesday, February 10, 2010 9:29 AM > > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT > MENJADI MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > > > > sebenarnya yang unik itu bukan "al" (Bahasa Arab) atau "the" (bahasa Inggris) > karena memang fungsinya sebagai definit article kata sandang tertentu (isim > makrifat), unik itu karena satu-satunya isim dalam qamus arab yang tidak > mengenal bentuk dua dan jamak ya "Allah" saja, gak ada yang lain. Kalau kata > al kitab vs al kitabaan dan al kutub, al madrasah al madrasataan dan al > madrasaat, al ustadz vs al ustadzaan dan al asaatidz ya tidak unik, karena > memang definit article itu fungsinya memang menunjuk obyek tertentu bukan > yang lain. > > > > Saya juga pernah menyimak ada orang berkata, "tidak ada itu Allah-Allah > an bla bla bla. kalau ini jelas rancu (paling tidak menurut saya > pribadi, mungkin bagi yang berucap merasa tidak rancu). > > > > --- Pada Rab, 10/2/10, Ary Setijadi Prihatmanto > menulis: > > > > Dari: Ary Setijadi Prihatmanto > > Judul: Re: [wanita-muslimah] Re: Fw:i SEMOGA CATATAN KECIL INI DAPAT > MENJADI MODAL UNTUK SALING MEMAHAMI DAN TIDAK LAGI SALING MENCACI > > Kepada: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > > Tanggal: Rabu, 10 Februari, 2010, 8:53 AM > > > > Ustadz Mu'iz yss., > > > > IMHO, bagi yang berangkat dari dua suku kata, keunikan yang hanya ada kata > "tunggal", gak ada bentuk "dua"-nya atau "jamak"-nya berangkat dari suku "al" > itu sendiri yang definitif. Jadi keunikannya, malah berangkat dari kaidah > bahasa Arab, seperti yang ustadz Chodjim bilang. > > > > Sebagai ilustrasi, misalkan dalam bahasa Inggris, > > > > "The God" itu ya hanya ada bentuk tunggalnya "tuhan" tertentu/definitif. "The > Gods" punya makna berbeda sekali yang tetap tunggal ( "satu kumpulan tuhan" > tertentu/definitif, bukan kumpulan "The God"). > > > > "The Chair", "satu kursi yang itu"; "The two Chairs", "satu kumpulan (dua) > kursi yang itu". > > > > Saya melihat, bahwa awalnya, sesuai dengan konsep Tuhan yang abstrak, orang > mengacu Tuhan tertentu, spesifik, The God, dari "al"-"ilah" ~ "Allah". Namun > sejalan dengan waktu dan kebiasaan, kata "Allah" dengan sendirinya menjadi > "isim/noun" yang memiliki arti spesifik yang 'coined' dalam Al-Quran sebagai > nama "The God". > > > > Ustadz Chodjim, IMHO, berusaha mengembalikan kepengertian awal. > > > > Jika terjemahan "laa ilaah illallah" diberikan sebagai "tiada tuhan selain > Allah", dan Allah di sini sebagai "nama", bagi setiap orang "nama" ini akan > bermakna macam-macam sesuai yang ada dikepalanya dan itu membawa > k