http://www.lbh-apik.or.id/artikel-realitas%20pr%20ratna.htm

Kamis, 04 Agustus 2005
 
Realitas Perempuan Berhadapan Dengan Sistem Hukum
Oleh: Ratna Batara Munti


Sejak tahun 1996, LBH-APIK Jakarta telah mendampingi
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP),
umumnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan
kekerasan seksual seperti perkosaan, pencabulan dan
pelecehan seksual di tempat kerja. Jumlah kasus KTP
yang ditangani terus bertambah dari tahun ke tahun.
Mulai dari 90 kasus (1996), 240 kasus (1997), 227
kasus (1998), 295 kasus (1999), 343 kasus (2000), 471
(2001), 530 (2002), 627 (2003), dan terakhir sebanyak
817 kasus di tahun 2004.

LBH-APIK Jakarta menjadikan kasus-kasus yang masuk
sebagai titik tolak untuk melakukan serangkaian upaya
advokasi dalam rangka merubah sistim hukum kearah yang
lebih setara dan adil. Hal ini diwujudkan misalnya
dengan mengkritisi sejumlah kebijakan yang
diskriminatif (Seperti KUHP/KUHAP, UUP No.1/1974)
maupun dengan mengajukan kebijakan baru antara lain
dengan menyusun serta mensosialisasikan RUU Anti KDRT
sejak 1997, yang kemudian menjadi UU PKDRT No.
23/2004.

Selanjutnya, sejak tahun 2002, LBH-APIK Jakarta
bersama-sama dengan Komnas Perempuan, Convention Watch
UI dan Derapwarapsari melakukan kajian tentang peluang
dan pentingnya suatu Sistem Peradilan Pidana Terpadu
bagi kasus KTP. Kepentingan ini didasarkan pada
pengalaman di lapangan yang berhasil dihimpun sebelum
program ini berjalan maupun setelah dilakukannya
pemantauan terhadap kasus-kasus KTP di 6 wilayah,
yakni Medan, Palembang, Menado, Kalimantan Timur,
Kupang dan Jakarta. Pemantauan dilakukan dibawah
koordinasi LBH-APIK Jakarta bersama dengan LBH-LBH
APIK di daerah serta LBH yang memiliki visi misi
serupa.

Berangkat dari pengalaman LBH-APIK Jakarta
bersama-sama dengan jaringannya dalam penanganan
kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan,
khususnya kasus KDRT dan kekerasan seksual, tidak
mudah bagi perempuan sebagai korban atau pun yang
diposisikan oleh hukum sebagai “pelaku”(dalam konteks
ini pelaku pada dasarnya adalah korban KTP), untuk
keluar dari jeratan kekerasan. Banyak lapisan hambatan
yang mempersulit kondisi korban. Mulai dari kondisi
psikis dan ketergantungan korban terhadap pelaku,
tiadanya dukungan keluarga dan lingkungan sekitar,
stigma yang diberikan masyarakat (patriarki) atas
korban, bias aparat (adanya victim blaming/victim
participating) sampai tidak adanya perlindungan dari
negara melalui sistem hukum dan sosial yang
mendiskualifikasi korban atau bahkan pelanggengan
kekerasan itu sendiri melalui kebijakan yang
diskriminatif terhadap perempuan.

Relasi hirarkis dan ketergantungan korban pada pelaku
Faktor ketergantungan korban terhadap pelaku baik
secara psikis maupun ekonomis seringkali menjadi
hambatan awal pada diri korban untuk melaporkan dan
memproses kasus lebih jauh seperti melalui jalur
pidana. Ketergantungan pun seringkali disertai dengan
kekhawatiran korban terhadap kemungkinan meningkatnya
kualitas kekerasan yang bakal dilakukan pelaku
terhadapnya.

Adanya relasi dekat dan seringkali bersifat hirarkis
(dominasi-subordinasi) antara korban dengan pelaku,
yang menempatkan korban pada situasi powerless menjadi
kunci dari persoalan ketergantungan korban tersebut.
Situasi ini (relasi hirarkis) jelas berakar dari
konstruksi sosial di masyarakat patriarkhis yang
secara stereotype menempatkan perempuan sebagai
makhluk inferior, dan ironisnya negara pun turut
melanggengkannya misalnya melalui kebijakan mengenai
perkawinan. Dalam pasal 31 dan 34 UUP No.1/1974
disebutkan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga dan
pencari nafkah sedangkan istri sebagai pengurus rumah
tangga. Konstruksi seperti ini pada akhirnya mendorong
dan melanggengkan ketergantungan perempuan,
sekurang-kurangnya ketergantungan secara ekonomis.

Dalam kasus-kasus kekerasan domestik (KDRT), istri
memilih untuk berdamai dengan tindakan suaminya meski
ia sudah berkali-kali dianiaya, bahkan diperkosa
(dipaksa berhubungan seksual) dengan cara menyedihkan,
seperti memasukkan terong ke vagina istri.

Namun, pada kasus dimana istri sudah tidak tahan lagi
atas perlakuan suaminya, ia lebih memilih untuk segera
melapaskan diri dari ikatan perkawinan mereka. Itu
merupakan cara yang dianggap paling aman dan cepat,
ketimbang memproses ke jalur pidana. Selain juga
karena faktor kekhawatiran akan balas dendam dari
suami atau keluarga besar suami. Dapat dikatakan, 90%
dari kasus KDRT diselesaikan secara perdata. Meskipun
ada yang melaporkan kasusnya ke kepolisian, namun
lebih banyak yang tidak diteruskan dan lebih
menjadikan pelaporan tersebut sebagai bukti atau
alasan perceraian. Meski demikian, belakangan ini
terjadi perkembangan baru, menyusul lahirnya UU PKDRT
dan sosialisasi yang gencar melalui media, sudah mulai
banyak korban yang melaporkan kasusnya ke kepolisian
untuk diproses.

Stigmatisasi terhadap seksualitas perempuan dan
dampaknya.
Tidak dapat dipungkiri, meski masyarakat abad 21 ini
sudah memasuki era globalisasi dan meskipun wacana
penegakan Hak-hak Asasi Manusia sudah sedemikian
berkembang, namun, menyangkut stigmatisasi terhadap
seksualitas perempuan (perempuan baik-baik vis a vis
perempuan tidak baik) nampaknya masih kuat berakar
dalam budaya masyarakat. Pandangan yang dikotomis
tersebut pada akhirnya membuat perempuan tidak mudah
untuk mengakses hak-haknya (bahkan yang paling
fundamental/HAM sekalipun), baik ketika masyarakat
(termasuk aparat) memposisikannya sebagai korban
kejahatan atau pun sebagai “pelaku” kejahatan.

Dalam kasus kekerasan baik yang terjadi di rana
domestik ataupun publik, seperti kasus penganiayaan
fisik atau seksual misalnya perkosaan, perempuan
sebagai korban sejak awal telah dicurigai bahwa ia
sedikit banyak turut berkontribusi terhadap kejadian
yang menimpanya (victim participating). Bahkan dalam
banyak kasus perempuan sebagai korban yang justru
dipersalahkan. Misalnya “wajar saja diperkosa atau
dilecehkan karena pulangnya malam atau kerja di tempat
hiburan malam”. Bahkan cara berpakaian pun jadi
sasaran pembenaran terhadap apa yang menimpa korban.

Pandangan dikotomis terhadap seksualitas perempuan
juga menempatkan citra perempuan yang ‘baik-baik’
sebagai ‘tidak mungkin’ melakukan tindak kekerasan
atau seharusnya tidak melakukan kekerasan karena
dianggap bertentangan dengan “kodrat”nya (makhluk
lemah). Sehingga ketika perempuan kebetulan berada
pada posisi sebagai “pelaku”, penghakiman sejak awal
telah berlangsung. Komentar seperti “ah dia
benar-benar perempuan sadis masak sih tega-teganya
membunuh suaminya sendiri….” Atau “kok bisa-bisanya
ya…membunuh bayinya sendiri..” kerap muncul tanpa
mempertimbangkan konteks latar belakang yang
seringkali lebih komplek dan rumit dari yang
diperkirakan publik.

Contoh-contoh pengalaman korban sebagai “pelaku”
A. Kasus KDRT: Kosongnya dukungan sosial dan membunuh
sebagai solusi
Dari beberapa pengalaman mendampingi korban sebagai
“pelaku”, terlihat dengan gamblang betapa korban
ditempatkan pada situasi sulit yang kemudian
menjadikan kejahatan yang ia lakukan sebagai
satu-satunya cara untuk menghentikan kekerasan yang
berlangsung. Seorang istri, sebutlah namanya Suparmi,
telah melangsungkan perkawinan selama 15 tahun dan
hampir sepanjang perkawinan tersebut mengalami
kekerasan dari suaminya. Hidup dalam lingkaran
kekerasan membuatnya imun dan dianggap sebagai makanan
sehari-hari. Namun, sejak suaminya mengalami kesulitan
kerja, kuantitas dan kualitas kekerasan semakin
menjadi-jadi sehingga hampir tidak tertanggungkan
lagi, pemukulan dan tendangan hampir tiap hari
disertai penggunaan benda-benda hampir mengancam
nyawanya, hingga pada suatu hari ia tidak tahan lagi
dan memutuskan untuk mengakhiri hidup suaminya dengan
sebilah pisau dapur. Selama hidup dalam situasi
tersebut, tidak ada seorang tetanggapun yang
membantunya dan lingkungan sama sekali tidak peduli.
Ia pun sulit pulang kampung karena minimnya keuangan.
Dia tidak mengerti hukum dan hak-haknya. Ia hanyalah
perempuan sederhana yang hanya tahu bahwa ia pada
akhirnya harus “menyelamatkan” diri dari kekerasan
yang tidak mungkin ia hentikan sebelumnya.

B. Kasus PRT: Adanya Relasi Kuasa yang Tidak
Diperhitungkan
Seorang PRT dilaporkan melakukan pencabulan terhadap
anak majikan yang berusia 17 tahun oleh majikannya. Ia
akhirnya ditahan dan dijatuhi hukuman tanpa
mempertimbangkan kesaksian korban bahwa ia dipaksa
melayani anak majikannya karena khawatir atas
pekerjaannya. Ia adalah seorang ibu yang harus
membiayai kehidupan anak-anaknya di kampung, melalui
satu-satunya pekerjaan yang ia lakoni, sebagai PRT.
Hakim tidak melihat adanya relasi kuasa dan relasi
ketergantungan ini. Begitu mudahnya sistem hukum
menempatkan korban sebagai “pelaku” dengan dalih
perbuatan korban melanggar norma kesusilaan yang
seharusnya tidak dilakukan orang dewasa, tanpa melihat
lebih jauh adanya faktor ketidakberdayaan korban, baik
sebagai perempuan maupun sebagai PRT.

Kasus yang hampir sama menyeret seorang PRT yang
dituduh membunuh bayinya, tanpa mempertimbangkan
kekerasan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
oleh majikan serta kekhawatiran atas keberlanjutan
hidupnya sebagai PRT, serta persalinan darurat yang
terpaksa ia tempuh sehingga berujung pada kematian
bayi.

C. Kasus Perdagangan Perempuan
Terakhir, dalam kasus-kasus perdagangan perempuan dan
anak, sistem hukum dan sosial termasuk aparatus
penegaknya sangat mudah membalikkan posisi korban
sebagai pelaku, dengan menuduhnya sebagai pelanggar
kesusilaan atau penjahat narkoba (ketika didapati
korban membawa shabu-shabu). Konteks adanya sindikat
atau pihak-pihak yang mengambil keuntungan atau
memanfaatkan/mengeksploitasi korban dan segala hal
yang pada akhirnya membawa korban pada situasi
demikian tidak menjadi hal yang penting untuk
ditelusuri. Padahal realitas pengalaman korban inilah
yang mengungkapkan bahwa ia sebenarnya adalah KORBAN
DAN BUKAN PELAKU.

Respon Sistem Hukum Terhadap Kasus-kasus KTP
Hukum yang berlaku pada dasarnya merupakan wujud atau
cermin dari cara pandang yang eksis di masyarakat
ketika hukum tersebut dirumuskan. Hukum itu sendiri
adalah sebuah produk kultural. Sehingga tidak
berlebihan bila hukum yang berlaku merepresentasikan
budaya atau cara pandang /nilai/norma yang eksis di
masyarakat yakni cara pandang yang menstigmatisasi
perempuan, mem’blaming’ perempuan dan mencurigai
seksualitas perempuan. Karena para pembuat hukum dan
aparatusnya adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.

Merujuk pada hukum yang berlaku, khususnya KUHP dan
KUHAP, dalam rumusannya (azas dan norma) telah
mendiskriminasikan perempuan. Realitas pengalaman
perempuan didiskualifikasikan sebagai sesuatu yang
tidak penting untuk dirumuskan di dalam hukum. Hal ini
tercermin, sebagai berikut:

a. Sejak awal, kekerasan terhadap integritas tubuh
perempuan telah direduksi menjadi semata-mata
pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Dalam hal ini
yang dilindungi adalah masyarakat (‘rasa susila’)
ketimbang perempuan sebagai korban kejahatan.

Dalam KUHP, pasal-pasal kejahatan terhadap integritas
tubuh dan seksualitas perempuan di masukkan di dalam
bab kejahatan terhadap kesusilaan, sehingga pendekatan
yang digunakan tidak berorientasi pada situasi korban.
Tetapi sejauhmana masyarakat menilai hal tersebut
sebagai pelanggaran terhadap rasa susila di masyarakat
Akibatnya, pengalaman istri misalnya, yang menerima
tindakan perkosaan atau penganiayaan seksual dalam
perkawinan tidak dikategorikan sebagai korban
kejahatan perkosaan. Selain itu, banyak bentuk dan
cara perkosaan yang tidak diakomodir sebagai bentuk
perkosaan dan cara perkosaan. Sehingga seringkali
kasus perkosaan direduksi semata-mata menjadi kasus
pencabulan atau yang lebih buruk sebagai peristiwa
hubungan seksual biasa.

b. Aturan pembuktian yang tidak mengakui pengalaman
dan konteks kekerasan terhadap perempuan dan
anak-anak. Seperti keharusan adanya dua saksi
menyulitkan pengungkapan kasus kekerasan yang
seringkali terjadi di wilayah privat. Juga aturan
mesti ada ancaman atau bentuk paksaan mengabaikan
realitas adanya relasi domestik/dekat yang hirarkis
(dominasi-subordinasi) antara korban dan pelaku
sehingga unsur tekanan psikis dan berbagai dimensi
ketergantungan korban sudah cukup membuat korban tidak
berdaya, tanpa perlu disertai kekerasan fisik.

c. Bias aparat penegak hukum yang menstigmatisasi
perempuan. Dalam setiap proses pemeriksaan terjadi
victim blaming atau victim participating, yakni
perempuan sebagai korban dituntut untuk membuktikan
bahwa ia benar-benar “tidak turut mengambil
keuntungan” dalam peristiwa tersebut. Misalnya,
sebagai korban perkosaan, pertanyaan seperti “apakah
anda ikut bergoyang” nampaknya menjadi standar
pertanyaan yang perlu diajukan dalam proses BAP. Ini
artinya, perkosaan dipersepsikan tidak lebih sebagai
hubungan seksual biasa. Sehingga korban lah yang
dibebankan pembuktian untuk mengatakan sebaliknya.
Oleh sebab itu pula lebih banyak kasus perkosaan yang
didiskualifikasi atau direduksi menjadi ‘pencabulan’
dalam dakwaan dan hakim kemudian menjatuhkan hukuman
yang tidak adil.

d. Selain itu aparat tidak memahami konteks kekerasan
yang dialami korban serta adanya berbagai faktor
khususnya relasi kuasa yang melatarbelakanginya,
sehingga aparat mudah menjadikan korban KTP sebagai
“pelaku” kriminal. (Lihat kasus KDRT, PRT dan
Perdagangan perempuan diatas)

e. Soal hak-hak pelaku atau tersangka yang tidak
berjalan dalam kasus KTP. Dalam sistem hukum kita,
pada dasarnya memberikan tekanan terhadap hak-hak
pelaku ketimbang korban. Misalnya, dalam pendampingan,
KUHP secara eksplisit menyebutkan hak tersangka untuk
mendapat bantuan hukum dan pendampingan di pengadilan.
Sementara hak-hak korban sangat sedikit diatur dan
karena asumsinya korban diwakili oleh Jaksa, tidak ada
ketentuan eksplisit mengenai pendampingan di
pengadilan sebagaimana yang diatur untuk pelaku.
Namun, semua ketentuan diatas khusus berkaitan dengan
hak-hak pelaku, sejauh itu menyangkut “pelaku”
perempuan sebagai korban KTP tidak otomatis bisa
berjalan atau sulit diakses oleh perempuan. Adanya
bias dan stigmatisasi serta penghakiman sejak awal
kepada perempuan “pelaku” jelas menjadi faktor utama
pengabaian hak-hak perempuan tersebut. Dalam banyak
kasus, aparat tidak melakukan kewajibannya untuk
menunjuk penasehat hukum bagi “pelaku”, sementara
kejaksaan juga tidak mempersoalkannya, begitupun hakim
seringkali memperlakukan “pelaku” sebagai korban KTP
sama seperti pelaku-pelaku kriminal biasa.

f. Terakhir, aparat kebanyakan masih enggan
menggunakan instrumen-instrumen hukum yang telah lama
ada seperti UU No 7 /1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
perempuan sebagai pertimbangan hukum, atau yang baru
seperti UU Penghapusan KDRT No.23/2004 dan UU
Perlindungan Anak No.23/2002. Hukum yang digunakan
seringkali berkutat hanya pada KUHP dan KUHAP.
Keengganan melakukan terobosan hukum ini juga menjadi
cermin kurang tanggapnya aparat terhadap kebutuhan dan
kepentingan korban.

Menuju Paradigma Hukum Baru : Menggagas Sistem
Peradilan Pidana Terpadu bagi Penanganan Kasus KTP.
Pada dasarnya hukum bukanlah sesuatu yang statis, dia
harus berkembang merespon kebutuhan di tengah
masyarakat, dalam hal ini kebutuhan kelompok perempuan
sebagai korban kekerasan yang seringkali dipinggirkan.
Diperlukan cara pandang hukum yang bersifat yuridis
sosiologis, khususnya sosiologis feministik. Eugen
Ehrlich, salah seorang tokoh sociological
jurisprudence mengutarakan bahwa saat ini pusat gaya
tarik perkembangan hukum tidak pada ilmu hukum, juga
tidak pada keputusan hakim, tetapi dalam masyarakat
itu sendiri (in society it self).

Pada konteks inilah penting untuk membangun sebuah
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) yang
berkeadilan gender, yaitu sebuah sistem terpadu yang
menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/pihak
yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan dan adanya akses pelayanan yang mudah dan
terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan
kasus kekerasan terhadap perempuan. Adapun
pihak/instansi yang terkait adalah meliputi pendamping
korban secara medis, psikologis, dan hukum (advokat
dan paralegal), penyedia layanan rumah sakit, penyedia
layanan women crisis centre, instansi polisi atau awak
RPK, para Jaksa dan instansi kejaksaan, panitera, para
hakim, instansi kehakiman, dan instansi rumah tahanan
dan penjara. Kebutuhan dan kepentingan korban menjadi
dasar dari upaya membangun Sistem Peradilan Pidana
terpadu ini. Dengan demikian sistem ini bertolak pada
perspektif korban yang mensyaratkan korban ditempatkan
pada pusat sistem itu sendiri (sistem peradilan/sistem
hukum), yakni sebagai subjek atau pelaku utama dan
bukan semata-mata sebagai pelengkap/objek yang hanya
didengar keterangan/pengakuannya tetapi di sisi lain
diberi beban pembuktian yang kembali mengobjektifikasi
dirinya. Sebagai subjek ia berhak didengar
keterangannya, mendapatkan informasi atas upaya-upaya
hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan
yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya
atas perampasan hak-haknya dan kekerasan yang
dialaminya.

Adanya sistem peradilan pidana terpadu merupakan
sebuah kebutuhan yang niscaya dan mutlak diwujudkan.
Oleh karena, terselenggaranya sistem hukum yang lebih
adil pada korban, khususnya perempuan sebagai korban
kekerasan merupakan prasyarat bagi tegaknya prinsip
persamaan dan keadilan untuk semua (equality and
equity before the law).


Ratna Batara Munti Direktur LBH-APIK Jakarta 

Send instant messages to your online friends http://asia.messenger.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:[EMAIL PROTECTED]
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke