nafkah utk istri..? (bag 2)     Jan 22, '08 8:22 AM
for everyone
Hukum Menggaji Istri, Wajibkah?
Publikasi: 08/08/2005 09:15 WIB

Assalamu'alaikum Wr. Wb.,

Pak Ustadz yang dirahmati Allah,
Terkait dengan ulasan Pak Ustadz tentang haknya isteri mendapat "gaji"
(Indahnya Menjadi Isteri Sesuai Pandangan Syariah) saya ingin
bertanya, apakah itu hukumnya wajib atau sekedar sunah? Bagaimana
dengan suami yang tak mampu "menggaji" isteri, apakah dia berdosa?
Bagaimana dengan isteri yang diam-diam menyisipkan anggaran rumah
tangga ke rekeningnya? Apakah termasuk pencurian, karena si isteri
telah mengurangi jatah hidup anggota keluarganya, yang seharusnya
(misal) mendapat telur dan sepotong ayam berganti menjadi telur dan
perkedel?

Mohon penjelasannya Pak Ustadz dan sebelumnya saya ucapkan banyak
terima kasih.

Wassalam,
-akbar-


Jawaban:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du

Apa yang kami tuliskan pada jawaban sebelumnya memang cukup banyak
yang terkaget-kaget. Sebab selama ini banyak orang yang memandang
bahwa Islam sama saja dengan sistem konvensional dan terbelakang
lainnya, yang tidak memberikan hak apa-apa kepada seorang isteri.
Padahal justru syariat Islam sangat memberikan ruang yang luar biasa
lebar buat seorang isteri, termasuk dari segi nafkah.

Sebab hak untuk mendapatkan nafkah bagi seorang wanita dari suaminya
telah dijamin oleh Allah SWT di dalam kitabnya. Bahkan ketika hendak
menganjurkan para pemuda untuk menikah, Rasulullah SAW hanya
mengkhususkan kepada para pemuda yang sudah punya kemampuan, terutama
dari sisi finansial.

"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah punya kemampuan
untuk menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu dapat menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan." (Riwayat Bukhari)

Adapun bila seorang pemuda masih belum punya kemampuan, Rasulullah SAW
tidak menganjurkannya menikah, tetapi menganjurkan puasa saja. Di
balik hadits ini ada sebuah kejelasan bahwa urusan memberi nafkah
kepada isteri tidak bisa disepelekan begitu saja. Apalagi memanfaatkan
sifat malu dan qanaah seorang isteri, sehingga suami jadi bebas tidak
merasa perlu mencari nafkah yang bisa mencukupi isteri dan keluarganya.

Padahal justru Islam memberikan hak penuh kepada isteri untuk
menyebutkan syarat-syarat itu, jauh sebelum seorang laki-laki
menikahinya. Memang bukan berarti setiap suami wajib menggaji
isterinya secara persis sebagaimana pada jawaban sebelumnya, namun
bila di awal menikah seorang suami sudah menyepakati permintaan yang
demikian, wajiblah atasnya meluluskannya.

Karena itulah, di beberapa negara muslim terjadi hal yang sangat
kontradiktif dengan di Indonesia. Misalnya di Mesir, seorang laki-laki
yang belum jelas punya nafkah yang mapan tidak mungkin berani-berani
melamar seorang wanita yang disukainya. Menjadi kebiasaan di negeri
itu bahwa seorang calon suami harus punya rumah mafrusyah (lengkap
dengan isinya) serta segala keperluan lainnya. Belum lagi masalah
mahar yang tidak pernah berbentuk seperangkat alat shalat, seperti di
negeri kita. Di negeri itu, jarang sekali ditemukan suami menikah
lagi, barangkali salah satunya karena perhatian yang lebih pada
masalah nafkah ini. Yakni bagaimana agar nafkah yang diberikan suami
kepada isteri bisa mencukupi standar kebutuhan hidupnya.

Seorang calon isteri yang cerdas secara syariah, tentu tidak merasa
malu atau risih bila mengajukan syarat seperti yang telah kami
jabarkan. Sebab hak itu memang diberikan dari Allah, tidak ada yang
salah bila seorang isteri menggunakan haknya. Dan buat calon suami
yang memang sejak awal punya komitmen dengan syarat yang diajukan
isterinya, menjadi kewajibannya untuk memenuhi setiap nafkah yang
telah mereka sepakati.

Jadi kira-kira seperti Anda melamar di sebuah perusahaan. Dalam
interview, biasanya anda ditanyakan tentang kemampuan kerja. Lalu bila
perusahaan merasa cocok dengan spesifikasi yang anda miliki, biasanya
anda akan ditanya besar salary yang anda minta. Kalau ada kecocokan,
maka jadilah anda karyawan di perusahaan itu. Kewajiban Anda sebagai
karyawan bekerja sesuai dengan ketentuan perusahaan dan kewajiban
perusahaan adalah menjadi bahwa tiap bulan anda menerima salary.

Ketika seorang wania muslimah dilamar, wajar bila ditanya ini itu yang
mungkin saja terkait dengan kemampuan dan keterampilannya. Kalau calon
suami merasa cocok dengan keadaan calon isteri, seharusnya ada
kesepakatan di awal tentang besar nafkah yang akan diterimanya. Maka
bila kesepakatan itu telah ditetapkan, masing-masing pihak terikat
untuk menjalankan kewajibannya dan masing-masing berhak atas apa yang
seharusnya diterimanya. Meski pun dalam hal ini, suami adalah sebagai
pemimpin buat rumah tangganya.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain , dan
karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara.
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisa: 34)

Kalau di tengah jalan ada masalah dengan keuangan keluarga, misalnya
suami di PHK dan jadi pengangguran tanpa pemasukan, maka suami boleh
saja melakukan negosiasi ulang kepada isterinya. Tentu seorang isteri
yang shalihah tidak berprinsip ada uang abang disayang tidak ada uang
abang ditendang. Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik dan musyawarah.

Apa yang telah kami gambarkan pada jawaban sebelumnya, memang bukan
satu-satunya bentuk yang baku dalam manajemen keuangan keluarga. Itu
hanyalah sebuah model pilihan yang bisa dipilih. Sedangkan yang
biasanya kita saksikan juga model lainnya, hanya bedanya, kalau model
yang telah kami sebutkan itu sangat jelas menonjolkan sisi hak seorang
wanita. Sedangkan yang biasanya kita lihat, lebih banyak menonjolkan
sisi di mana seorang isteri melepaskan semua hak-hak nafkahnya.
Menerima apa adanya dari suami, karena yang menyatukan keduanya bukan
materi melainkan kecintaan kepada Allah SWT. Model yang ini juga tidak
salah-salah amat sih. Toh masing-masing ada kelebihan dan
kekurangannya. Yang bijaksana adalah menggunakan model sesuai dengan
kondisi dan keperluannya.

Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc 

Kirim email ke