Widya Çastrena Dharmasiddha !

At 18:25 11-11-2003 +0700, "Andoko" wrote:

>agama dalam hidup sehari-hari, namun tetap ada batasnya.

Saya sependapat.


>1. Saya Kristen, dekat dengan seorang wanita muslim, buat saya no problem,
>kita saling menghargai,

Ini hubungan sebagai sesama manusia. Saya sependapat.


>di muslim, adalah haram bila wanita muslim menikah dengan pria non muslim.

Menurut saya tidak ada hubungan antara pernyataan di atas dengan pernyataan
sebelumnya. Dekat tidak harus berarti akan atau akhirnya akan menikah, bukan
? Istilah "dekat" pun tidak sama untuk setiap orang. Ada yang mengartikan
badaniah, ada yang rohaniah.


>2. Ayah saya (muslim), dan beberapa temannya, termasuk dalam aliran yang
>pantang mengucapkan selamat natal, dan dia jelaskan baik-baik bahwa itu
>keyakinannya. Mungkin jumlah orang yang berkeyakinan seperti itu sedikit,
>tapi ada.

Yang masih teringat oleh saya yang pernah mengucapkan itu, adalah Buya Hamka
(alm). Hal yang menjadi landasan berbeda antara lain adalah keyakinan. Saya
merasa nyaman dan menghormati ketika melihat siapa pun -tidak perduli apa
keyakinannya dalam beriman- menjalankan secara taatazas (consistent) ajaran
agamanya.


>adalah karena dahulu, orang Indonesia itu berusaha menutup mata dan
>menganggap bahwa agama-agama itu sama, padahal beda, mas.

Saya justru merasa takjub ketika melihat adanya perbedaan yang ada.
Bagaimana si A bisa meyakini apa yang ia anut, sementara itu berbeda dengan
yang saya yakini ? Bagaimana pula si B, yang berbeda dengan si A dan saya,
namun yakin sepenuh hatinya ? Mereka pun berpikiran sama mengenai saya,
namun ketika kita melakukan sesuatu secara bersama dengan landasan keyakinan
masing-masing maka yang hadir adalah rasa kebersamaan.


>jangan
>dengan niatan baik kita, namun pengetahuan kita dangkal, kita malah
>menyulitkan orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita.

Omnia labor vincit. Jika kita mempunyai niat baik, bersandarkan pada rasa
hormat pada Yang Memiliki Alam ini, maka itu pasti akan diatur agar baik
pada akhirnya. Buah suatu perbuatan terkadang baru akan tampak lama setelah
kita mati. Saya cukup 'beruntung' untuk menyaksikan beberapa hal saat saya
masih hidup. Dan 'keberuntungan' itu sebetulnya waktu yang diberikan agar
berbuat dengan lebih baik lagi.

Keberadaan Ksatrian.or.id juga saya anggap sebagai keberuntungan itu. Saya
harus menantikan beberapa tahun sebelum akhirnya diberi rezeki untuk
menghadirkannya. Itu bukan karena usaha seorang manusia, karena pada
dasarnya manusia merupakan alat untuk menghadirkan rencana dan kebesaran
Sang Pencipta.


>berdoa menurut agamanya masing-masing, namun kalau acara Natalan/kebaktian,
>apakah nanti ada versi doa untuk orang-orang yang non-Kristen?

Dalam Perayaan Natal, acara dibagi dua : liturgis (dijalankan sesuai dengan
yang berlaku dalam beribadah) dan bukan liturgis. Para tamu (Muspida Tingkat
I dan jajaran lain di bawahnya) memasuki Gedung Olah Raga Palembang setelah
liturgis. Sebelumnya mereka menanti dalam ruang tamu. Setiap kali Perayaan
Natal Rakyat (d/h Natal ABRI-Rakyat), ketiga unsur Muspida Tingkat I
(Gubernur, Kapolda dan Pangdam) selalu hadir. Saya tidak tahu bagaimana
keadaannya di daerah lain.


>setiap doa di kristen, pasti ada kalimat "dalam
>nama Yesus, Allah kita" atau sejenisnya, sementara agama islam tidak
>mengakui kalimat itu.

Setiap Persaudaraan berkumpul, selalu dibuka dan ditutup dengan doa. Yang
ditunjuk -secara bergilir- memimpin, hanya mengucapkan, "Marilah kita berdoa
sesuai dengan keyakinan masing-masing, agar hal yang kita lakukan berguna
bagi semua." Setelah itu suasana hening sekitar 1 menit, memberikan
kesempatan bagi setiap yang hadir untuk berbicara dengan Penciptanya. Tidak
ada pembacaan atau pengucapan doa oleh satu orang.


>> Justru persentase terbesar keengganan datang
>> dari kaum muda Kristen sendiri, khususnya Protestan dan lebih khusus lagi
>> dari yang segaris atau sejajar dengan sejumlah jemaat Kristen di Bandung,
>> yang percaya bahwa peristiwa kiamat bisa diperhitungkan waktu
>> kedatangannya.

>saya rasa kita intropeksi jujur pada diri sendiri deh, kalimat diatas kalau
>kita artikan menyatakan sejumlah yang banyak, atau sejumlah sedikit jemaat
>Kristen di Bandung percaya bahwa peristiwa kiamat bisa diperhitungkan ?

Seperti yang sudah saya tulis : "sejumlah jemaat". Maaf, karena
kalimat-kalimat yang saya gunakan kurang 'kena'. Boleh dicoba lagi, kan ?

Menurut pengalaman dan pengamatan saya, ada orang yang membuat jarak dengan
lingkungannya, baik kecil mau pun besar. Memang, ukuran "kecil" dan "besar"
relatif adanya, tapi baiklah kita maklumi saja dulu mengenai kerelatifan itu.

Saat orang membuat jarak, maka ada kemungkinan pengetahuannya mengenai
lingkungan berbanding terbalik. Artinya semakin besar jaraknya, semakin
kecil pula pengetahuannya mengenai lingkungan. Sebagai contoh, anak yang
terbiasa dimanja dan amat dekat dengan orang tuanya, biasanya menjadi gentar
ketika dilepas sendirian. Psikologis, hal itu bisa dipahami, karena
ketidaktahuan atau kekurangtahuan antara lain bisa menimbulkan ketakutan.

Sekarang, mari kita perbesar : seorang itu berkumpul dengan beberapa orang
lain yang juga berpikiran serupa. Salah satu kemungkinan yang ada ketika
mereka berkumpul, adalah semakin berjaraknya mereka dengan lingkungan dan
hanya mengurus diri mereka sendiri. Tergantung pada latar belakang kejiwaan,
sosial, budaya dlsbgnya, maka kumpulan itu bisa bertumbuh menjadi eksklusif
atau inklusif. Hal itu bisa terjadi dalam bentuk dan rupa apa pun:
kemiliteran, politik, juga keagamaan.

Kenapa pernah ada -saya lupa membaca di mana- yang mengatakan bahwa
Indonesia menjadi paria di antara bangsa-bangsa ? Saya berpendapat bahwa
salah satu sebabnya adalah karena sebagai bangsa kita -suka tidak suka-
kurang bergaul. Ini bisa kita perluas, sehingga menjadi perbincangan yang
membutuhkan paramater yang jauh lebih banyak, sesuatu yang di luar kemampuan
saya. Jadi, mari kita menungkik -ini kata Asmuni Srimulat, dulu- lagi ke
titik semula.

Ketika pada 28 Juli 2002 sekitar 130 pemudi dan pemuda antariman Kota
Palembang melakukan kegiatan pengecatan marka jalan protokol, maka siapa pun
-yang tidak mengenal mereka- tidak bisa membedakan apakah yang Tionghoa
beragama Katholik atau Buddha, karena di Palembang sebagian besar warga
Tionghoa ada pada kedua agama tersebut. Hal yang sama terjadi ketika tidak
ada yang bisa membedakan siapa yang beragama Hindu, Muslim dan Protestan,
yang umumnya dianut oleh orang bukan Tionghoa.

Yang tampak pada penggalan jalan sepanjang ~500 meter, adalah sekumpulan
kaum muda yang saling membantu. Siapa yang bisa menyangka bahwa mereka
masing-masing merupakan salah satu unsur "hard core" dalam pelayanan pada
umat masing-masing, karena mereka adalah pegiat di Pura, Vihara, Masjid dan
Gereja ? Bukankah kebersamaan itu yang seyogyanya akan menjadikan Republik
kuat di masa depan ?

Ada harapan, bahwa sekitar 20~30 tahun lagi, ketika mungkin saja di antara
mereka ada yang digariskan bertemu dalam kedudukan yang cukup menentukan
negara ini (tokoh militer, pedagang besar, birokrat, dll), maka mereka sudah
pernah mengenal dan perkenalan itu terjadi dalam suatu suasana yang baik.
Mereka tidak akan ragu untuk saling mengingatkan ketika yang lain melakukan
sesuatu yang menyimpang.

Pada kenyataannya, mereka hanya sedikit, bagai setitik air pada lautan luas
kaum muda yang saling mengambil jarak. Bisa dibayangkan bagaimana wajah
Republik ini 1 abad lagi, kalau hal itu dibiarkan begitu saja ? Lalu,
lihatlah apa yang dinyatakan oleh orang-orang semacam Imam Samudra atau
Sibuea di Bandung. Ekstremitas akibat hanya sibuk dengan sesamanya.


>Saya
>percaya, Mas Syarif tidak ada niat buruk sama sekali,

Saya hanya mengembalikan itu pada Sang Pencipta. Hanya Dia yang tahu apa
yang ada dalam hati setiap kita. Bagi saya, ungkapan "Dulce et patria est
pro patria mori" dan "pro grege et patria", dalam sekali maknanya.
Pengorbanan justru terasa ketika berada dalam kekurangan, sementara kita
merasa dipanggil untuk berbuat lebih baik pada Tanah Air.


>namun, kadang kadang,
>kalimat yang kita pergunakan membawa misleading information.

Sudah menjadi tugas kita -khususnya bagi yang merasa terpanggil- untuk
membukakan pandangan rekan sebangsa. Apa artinya kita mempunyai pengertian
dan pengetahuan, kalau hal itu tidak dibagikan pada yang lain ? Kalau pun
ajakan itu dianggap tidak baik, yah, serahkan saja pada yang kuasa. Biarlah
Dia saja yang mengatur bagaimana baiknya.


>for my friends, sorry kepanjangan.

Kalau tulisan saya ini dianggap tidak sejalan lagi dengan kerangka milis,
mohon kiranya saya ditegur. Untuk Pak Andoko, saya senang mendapatkan
tanggapan dari Anda. Saya 'dipaksa' untuk memerikan apa yang mungkin tampak
absurd.


Sharif Dayan
--
-== (Defense site) http://www.ksatrian.or.id ==-
-== (Defense forum) [EMAIL PROTECTED] ==-
-== (Archive) http://groups.yahoo.com/group/hankam/messages/ ==-
-== (Main Depo) http://groups.yahoo.com/group/hankam/files/ ==-
-== (Depo 2) http://groups.yahoo.com/group/hankam2/files/ ==-
-== (Question) - <[EMAIL PROTECTED]>  ==-


--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke