Benarkah Jelangkung itu Menyesatkan?
Edizal

Jelangkung, jelambek.
Hadirlah kau ke sini.
Datang kau tak dijemput, pergi kau tak diantar.

Kira-kira begitu ungkapan magis yang kami gunakan untuk mengundang roh halus 
manakala aku masih memamah bangku SMA di Padang dulu. Alat yang dipakai adalah 
keranjang plastik kecil yang bagian bawahnya berlubang-lubang, pensil, dan 
secarik kertas putih. Kami memegang keempat sisi keranjang yang di bagian 
bawahnya sudah dipasangi pensil.

Keranjang tersebut akan bergerak dengan sendirinya menuliskan huruf atau gambar 
di atas kertas putih menanggapi pertanyaan yang diajukan, sesuatu yang sangat 
menggetarkan hati.

Jelangkung ini punya kemampuan yang luar biasa sehingga dapat mengetahui dan 
menjawab pertanyaan yang disampaikan. Bisa ditanyakan adakah seseorang itu 
mencintai kita atau tidak dan sebagainya. Jadi, jelangkung berlaku laiknya 
seorang nabi yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Tuhan menyampaikan 
pesan terhadap umatnya.

Wasiat yang disampaikan sang jelangkung ini diamini oleh banyak orang yang 
melakukannya, termasuk saya waktu itu dan orang muda lain atau orang yang 
benaknya kurang tersentuh oleh ilmu logika. Bagi mereka yang memercayai 
kemampuan roh halus lewat jelangkung sering menyandarkan keputusan hidupnya 
pada permainan yang kental mistis ini.

Praktik ini hanyalah satu dari banyak media yang dipercayai mampu mendatangkan 
roh halus untuk merundingkan sesuatu atau mengusir penyakit yang menghinggapi 
seseorang, seperti juga shamanisme atau kedukunan yang memainkan peranan 
penting dalam masyarakat primitif untuk berkomunikasi dengan makhluk halus.

Bahkan dalam masyarakat yang sebelah kakinya sudah berada dalam ranah modern 
dan sebelahnya lagi masih berada di ranah primitif seperti Indonesia, fenomena 
ini masih terlihat jelas lewat nyanyian, tarian, meditasi, dan sebagainya baik 
di dusun maupun kota.

Tarian Angguk yang berkembang di Yogyakarta yang sarat dengan kemistisan 
hanyalah salah satu produk saja dari hadirnya kegiatan berhubungan dengan roh 
halus di kota besar. Agaknya lagu dalam kategori dangdut dan rock 'n' roll atau 
tarian breakdance dengan kepala yang berputar-putar di lantai belum lagi 
disukai oleh roh halus sehingga tidak dimasukkan ke dalam daftar media yang 
bisa digunakan.

Pada waktu mengikuti perkuliahan di UPI, Bandung, aku bekerja sambilan di 
sebuah percetakan kecil untuk penambah-nambah biaya hidup. Seorang teman lama 
yang kuliah di ITB kadangkala datang berkunjung ke kosku dan beberapa kali 
kuajak melihat-lihat percetakan kami.

Suatu hari terjadi kehebohan di percetakan tersebut karena uang dalam tas raib 
tanpa bekas. Malangnya, teman lamaku tersebut kebetulan berada di sana saat itu 
sehingga termasuk salah seorang yang penting dicurigai sebagai pelakunya.

Suasana yang tidak menyenangkan harus kutahan atas sorotan tajam mata kemarahan 
banyak orang di percetakan ke arahku karena ketegasanku menolak tuduhan 
terhadap teman tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dia adalah 
orang yang berhati baik dan berasal dari keluarga sembada yang tidak pernah 
kekurangan uang. Akhirnya, orang-orang yang berada di sana memutuskan minta 
bantuan Tuhan lewat pembacaan ayat Qoran untuk mencari tahu siapa gerangan yang 
menilap uang tersebut.

Seutas tali yang di ujungnya dikebatkan ke kunci diselipkan di antara halaman 
Qoran yang tebal. Empat orang dari kami menengadahkan masing-masing satu 
telapak tangan dan di atasnya ditempatkan Qoran tersebut sehingga sang kunci 
berada dalam posisi menggantung. Pengadilan pun dimulailah. Salah seorang dari 
kami menyebutkan nama seseorang dan membacakan ayat kursi dalam bahasa Arab 
yang artinya tidak kupahami (mungkin juga oleh yang lainnya).

Sang kunci hampir tidak bergeming ketika nama orang lain dan ayat kursi selesai 
dibacakan, tapi sang kunci cukup antusias menggoyang-goyangkan badannya 
manakala giliran nama temanku disebut. Ini membuatku sangat terpana dalam 
ketidakpercayaan.

Aku sadari betapa mengemukakan sanggahan atas putusan ala-jelangkung lewat 
pembacaan Qoran tersebut punya risiko yang tinggi karena sama saja artinya 
dengan menolak titah Tuhan yang didukung oleh mainstream masyarakat. Sudah ada 
asumsi sebelumnya bahwa tidak mungkin Tuhan mendustakan umatnya lewat 
penggunaan sabdanya.

Namun, aku tidak bergeming atas kepercayaan diri yang berakibat aku dijauhi. 
Itu merupakan suatu konsekuensi logis atas resistensi yang menyebabkan aku 
kehilangan konsituen. Untungnya semua orang itu cukup waras dan tidak 
memerkarakan teman tersebut karena hakim korup sekalipun tidak akan mau 
menerima perkara yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara kasat mata.

Sekitar dua hari berselang sesudah pembacaan ayat suci Qoran itu, muncul lagi 
kehebohan baru. Belakangan ibu warung yang ada dekat percetakan kami merasa 
heran atas seringnya seorang anak laki-laki murid SD jajan di sana padahal sang 
anak berasal dari keluarga kebanyakan.

Bertanyalah si ibu warung kepada ibu sang anak untuk melenyapkan keheranannya. 
Karena tidak pernah memberikan uang jajan banyak kepada sang anak, orang tua 
tersebut menginterogasinya dan beroleh jawaban bahwa uang tersebut ditemukannya 
dalam tas yang ada di percetakan kami.

Kejadian tersebut ikut menghancurkan keyakinan dan melenyapkan ketakutanku atas 
hal-hal yang berbau mistis, tapi perlu waktu yang panjang pula sampai menemukan 
jawaban secara empiris apa sebenarnya yang berada di balik misteri irasional 
tersebut. Televisi NHK Jepang yang menayangkan programa yang berkaitan dengan 
jelangkung awal musim gugur tahun lalu menguakkan kabut misteri yang terpendam 
dalam benakku bertahun-tahun itu.

Kokkuri-san, kokkurisan.
Otsuri kudasare.
Saa saa hayaku otsuri kudasare.

Ungkapan magis kokkurisan (jelangkung) di atas digunakan oleh orang-orang Zaman 
Meiji (1868-1912) yang praktiknya pertama kali diperkenalkan oleh marinir 
Amerika yang berlabuh di Kota Shimoda, Provinsi Shizuoka, tahun 1884.

Orang Amerika menggunakan istilah "table-turning" untuk menunjukkan permainan 
ini dan alat yang digunakan ialah meja berkaki tiga yang tidak stabil 
kedudukannya. Tiap orang meletakkan sebelah tangannya di atas meja tersebut 
tanpa memberikan beban atau tenaga di atasnya. Apabila jawaban atas suatu 
pertanyaan bersifat positif, maka sang meja akan mencondongkan badannya secara 
otomatis.

Boleh jadi marinir Amerika memperkenalkan jelangkung ini hanya sebagai 
permainan belaka, tapi orang Jepang menghubungkannya dengan kekuatan gaib yang 
memengaruhinya. Karena dipahami adanya roh halus yang bekerja di dalamnya, 
keberadaan kitsune (rubah) yang sering dianggap punya kemampuan supranatural 
dan tanuki (cerpelai) yang sering dianggap bisa berubah bentuk disembulkan. 
Dengan demikian, penulisan huruf kanji dari nama binatang tersebut digunakan 
untuk menamakan permainan baru ini menjadi kokkuri yang dibentuk dari huruf 
kanji nama kedua binatang tersebut.

Alat yang digunakan untuk jelangkung pada Zaman Meiji itu beragam, termasuk 
yang terbuat dari tiga bambu yang diikatkan menyilang membentuk kaki meja dan 
di atasnya ditaruh baki atau tutup periuk.

Tahun 1885 permainan tersebut menjadi sangat populer yang merambah ke seluruh 
Jepang dan ini pun ditulis oleh Harian Asahi pada waktu itu. Ada semacam 
kontradiksi karena pada masa itu ditengarai dengan gairah yang tinggi 
memperoleh teknologi Barat dalam proses modernisasi sementara hal yang bersifat 
mistik ini pun diadopsi pula.

Kehadiran kokkurisan yang dimanfaatkan untuk menanyakan cuaca, hasil panen, dan 
sebagainya itu menjadi pemicu timbulnya permasalahan sosial. Seorang laki-laki 
naik darahnya ke ubun-ubun sehabis diinformasikan oleh kokkurisan bahwa positif 
istrinya main serong dengan laki-laki lain sehingga minta cerai.

Keadaan sosial yang tidak sehat ini membuat Enryo Inoue, seorang filsuf yang 
juga berkecimpung dalam ranah psikologi, turun tangan untuk mengkaji gejala 
gaib ini dalam upayanya memodernisasikan pikiran orang Jepang masa itu. 
Terlihat betapa alat ini akan bengong saja kalau tangan-tangan tidak diletakkan 
di atasnya atau meja berkaki empat yang digunakan. Karakteristik lain alat ini 
adalah hanya bisa bergerak untuk menanggapi "yes-no question" saja dan hilang 
akal kalau ditanyakan peristiwa apa yang bakal terjadi di masa mendatang.

Kajiannya lewat observasi yang teliti tersebut memberikan kesimpulan bahwa 
kokkurisan itu bergerak bukanlah karena dimasuki roh halus, melainkan 
digerakkan oleh otot bawah sadar peserta sendiri. Hal ini dimungkinkan oleh 
pasokan informasi sebelumnya ke dalam otak berdasarkan keinginan diri yang 
menyusup dalam alam bawah sadar sehingga alat tersebut bergerak seolah-olah 
tanpa pengaruh otot manusia.

Manakala arus spiritualisme modern dari Amerika mengaliri Eropa pada musim 
salju tahun 1852-1853, jelangkung merupakan media yang paling populer digunakan 
untuk berkomunikasi dengan roh halus. Karena tradisi berpikir yang kuat orang 
Eropa yang didasarkan atas adagium "ilmu lahir dari pertanyaan yang muncul dari 
keingintahuan", banyak ilmuwan segera saja merenung dan mencari jawab atas 
fenomena gaib tersebut. 

Misalnya, Asparin dan Profesor Thury dari Swiss menarik kesimpulan bahwa 
gerakan meja tersebut disebabkan oleh kekuatan fisik yang berasal dari badan 
peserta sendiri yang mereka namakan "ectenic force".

Sementara itu Michael Faraday, ahli kimia dan fisika Inggris, tahun 1853 
menggelarkan simpulannya bahwa gejala tersebut disebabkan oleh gerak otot bawah 
sadar dan ini setali dengan teori yang dikemukakan oleh Enryo Inoue. Tidak 
diketahui adakah Enryo Inoue mengemukakan simpulannya selepas membaca 
penelitian Michael Faraday yang sudah muncul 30 tahun sebelumnya.

Menyebarnya teori Enryo Inoue akan fenomena yang sonder nilai kebenaran 
tersebut menyebabkan sosok jelangkung kian menghilang di seluruh Jepang. Walau 
ada yang masih melakukannya dengan berbagai variasi (khususnya dengan koin) 
terutama dalam kalangan anak muda, itu hanyalah sebagai hiburan atau permainan 
belaka tanpa dipercayai adanya kekuatan gaib yang memengaruhinya.

Dibandingkan dengan bangsa Jepang yang sudah maju, bangsa kita masih terjerat 
kakinya dalam lecah berbagai takhyul yang menakutkan dan ini memengaruhi 
perkembangan benak manusia Indonesia. Banyak orang yang percaya dunia halus 
yang bisa ikut campur urusan dunia fana sehingga mereka merasa harus 
berbaik-baik atau menyenangkan hati roh halus.

Seringkali pula seorang perantara (dukun) menjadi penting sebagai penyampai 
pesan tersebut. Kepercayaan ini banyak menenteramkan hati manusia yang 
kemampuan logikanya masih rendah dalam memahami gejala alam, namun menjadi 
penghambat kemajuan Indonesia yang terus tertinggal jauh dari negara maju.

Orang tua Indonesia yang berpikiran purba mewariskan takhyul kepada 
anak-anaknya dan kemudian diteruskan lagi kepada cucu-cucunya. Kebiasaan atau 
pandangan hidup yang sudah mendarah daging akan sukar lenyapnya. Namun, sejalan 
dengan geliat waktu, lambat laun mata rantai informasi negatif ini akan 
terputus dengan sendirinya apabila anak-anak diajar berpikir kritis dengan 
memanfaatkan nalarnya seoptimal mungkin.

Orang dewasa perlu lebih aktif menebarkan pengetahuan yang bersifat empiris 
seluas mungkin dan bukannya terus-menerus memasok pengetahuan yang mencacati 
otak generasi muda.

Kecerobohan orang masa lampau yang telat berevolusi, mencampuradukkan antara 
yang nyata dan yang ilusi, mestinya tidak diikuti. Jelas tidak berdosa 
menguakkan sesuatu yang bersifat irasional demi masa depan generasi muda. 
Dengan begitu, kelak kita akan bisa menikmati rangkaian prosesi kematian 
kebiasaan atau ideologi yang menodai pikiran masyarakat kita, termasuk 
jelangkung yang menyesatkan ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002), "jelangkung" diartikan 
sebagai "Boneka (orang-orangan, yang dilengkapi alat tulis di tangan, digunakan 
untuk memanggil arwah, dan jika arwah itu telah masuk ke dalam boneka tersebut 
diadakan tanya jawab, jawaban sang arwah diberikan melalui tulisan tangan 
boneka itu)".

Andai ahli bahasa, ahli kedokteran, ahli kimia, dan sebagainya yang menjadi 
tulang punggung pembuatan kamus besar ini sepakat bahwa makna "jelangkung" 
tersebut menyesatkan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka pemaknaan tersebut 
haruslah diganti secepat mungkin dengan memasukkan kata, misalnya,  "... yang 
terjadi akibat geliat otot yang bergerak di luar kesadaran manusia".

Indonesia mesti lebih cepat meraup pengetahuan sebanyak mungkin dari negara 
maju dengan berbagai cara agar dapat menguakkan kegaiban apa yang bernaung di 
balik banyak misteri yang membuat kita hidup tersesat tanpa sadar di dunia 
nyata ini.



      

Kirim email ke