Dimuat pada Harian Batak
Pos, 28 Februari 2009

 

 

KPU Jangan Berpolitik
dan Berpolemik

Oleh
Dr Victor Silaen, MA

 

   
Seperti halnya lembaga-lembaga independen negara yang didirikan
pasca-Soeharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk lembaga quasi-negara yang
para komisionernya berasal dari berbagai kalangan dan bersifat independen. 
Artinya,
mereka digaji dan difasilitasi oleh negara, namun bukan merupakan subordinasi
dari pemerintah atau lembaga eksekutif. Itu sebabnya, secara hukum, kerja-kerja
mereka dilandasi dengan sebuah perundang-undangan. Mereka mendapat mandat dari
lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melaksanakan segala
sesuatu yang sudah diproses secara politik menjadi sebuah kebijakan publik yang
sah dan mengikat.

 

    
Berdasarkan itu, bolehkah KPU berpolitik? Jelas tidak. KPU hanya berwenang
melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh para elit politik di DPR. Terkait
pemilu, maka KPU-lah penyelenggaranya. Di ranah dan ruang-lingkup itulah pula
kelak KPU harus memberi pertanggungjawaban: penyelenggaraan pemilu. Soal
bagaimana aturan main pemilu itu sendiri, tentu KPU juga tidak usah pusing dan
repot memikirkannya. Sebab, aturan main merupakan bagian dari apa yang harus
dipikirkan oleh para politisi di DPR. 

 

    
Terkait itu, lalu mengapa untuk sekian waktu lamanya KPU sempat masuk ke
dalam wacana “suara terbanyak versus zipper
system”? Mengapa pula harus ikut-ikutan berpolemik, ketika wacana tersebut
kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra terhadap zipper system? Bahkan 
salah seorang komisionernya, Andi Nurpati,
pernah “ngotot” dengan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan peraturan 
tersebut kendati perppu
(peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait zipper system itu tidak 
dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani
gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Heran sekali, kok
terkesan KPU malah siap menabrak peraturan?

 

     Tak
heran jika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peringatan keras kepada
KPU terkait itu. Menurut MK, tindakan KPU tersebut mencerminkan mereka tidak
mengerti hukum. Sebab, berdasarkan konstitusi, putusan MK bersifat final dan
mengikat. Putusan MK juga merupakan negative legislator yang kekuatannya
setara dengan UU. “Keputusan MK sudah jelas. Saya ingatkan agar KPU tidak perlu
berwacana tentang teori hukum. Kalau persoalan hukum, di sini (MK) sudah
gudangnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, 18 Februari lalu. 

 

    
Mahfud menegaskan, jika KPU beralasan memerlukan peraturan pemerintah
perppu atau revisi terlebih dahulu, berdasarkan teori ataupun konstitusi yang
berlaku, maka hal itu sama sekali tidak benar. “Yang memerlukan perppu atau
revisi UU hanya yang menimbulkan kekosongan hukum untuk materi muatan UU, bukan
yang menyangkut teknis pelaksanaannya,” katanya.

 

     Rencana
KPU mengatur satu dari tiga caleg (calon anggota legislatif) terpilih harus
mewakili perempuan (zipper system) juga
dinilai Mahfud sebagai ketentuan di luar putusan MK. Menurutnya, UU Nomor
10/2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK tidak mengharuskan wanita duduk di
kursi DPR. “MK mengatur ketentuan dalam setiap tiga caleg harus ada satu caleg
perempuan dan itu tidak dibatalkan,” tegasnya. KPU seharusnya melaksanakan UU,
termasuk pembatalan UU yang diputuskan MK. Artinya, kalaupun ada materi baru
yang seharusnya menjadi muatan UU, KPU tidak berwenang mengatur.

 

    
Terkait dengan gagasan untuk kemajuan politik kaum perempuan di Indonesia, kita
tentu saja patut mendukungnya. Kita harus bahu-membahu memperjuangkannya, di
pelbagai sektor kehidupan dan di semua wilayah kedaulatan negara ini. Itulah
sebabnya, penyadaran masyarakat akan keniscayaan kesetaraan gender perlu
terus-menerus dilakukan. Artinya, ini harus menjadi pekerjaan rumah kita
bersama, sekarang dan ke depan. Jadi, tidak perlulah KPU merasa bahwa lembaga
ini sedang memikul beban berat demi memperjuangkan kemajuan politik kaum
perempuan Indonesia. Artinya, ke depan, KPU tidak perlu lagi berpolemik di
seputar wacana ini. KPU harus menyadari posisinya sebagai lembaga pelaksana
dari hal-hal yang sudah diputuskan sebagai kebijakan publik oleh DPR.

 

    
Kembali pada zipper system,
haruslah disadari bahwa di tahapan caleg hal ini sudah ditetapkan, bahwa setiap
partai politik yang menjadi kontestan Pemilu 2009 harus menyediakan kuota 30%
bagi caleg perempuan. Itulah sebentuk dukungan resmi negara ini bagi kaum
perempuan demi mencapai kemajuan politiknya. Kalau zipper system mau diterapkan 
lagi di tahapan aleg (anggota
legislatif) untuk para caleg terpilih nanti, mungkin bisa saja dipertimbangkan
jika tidak ada keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”. Tapi soalnya,
bukankah MK melalui keputusan terbarunya itu sudah menetapkan bahwa para caleg
terpilih yang akan ditetapkan sebagai wakil rakyat nanti haruslah berdasarkan
“suara terbanyak”? 

 

    
Keputusan MK merupakan revisi dari UU Nomor 10/2008, sehingga karena itu
ketetapan tentang “suara terbanyak” merupakan peraturan yang setingkat UU.
Inilah hukum positif dan memiliki kekuatan yang mengikat publik. Ia jelas harus
berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak, agar kepastian hukum
dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah dan yang sesuai
dapat ditentukan. Itu berarti, untuk hasil pemilu nanti, tak pada tempatnya
lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum perempuan yang
masuk ke lembaga legislatif. 

 

     Inilah yang harus dipahami secara klir oleh
semua pihak. Siapakah yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat
atau para caleg? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting ketimbang para
calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para caleg.
Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat demi
mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat. Jadi,
tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya rakyat
disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang turut
serta). Itu pula sebabnya pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, dan pesta
demokrasi adalah pestanya rakyat.  

 

    Dengan
demikian maka selaraslah keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak” sebagai
penentu layak tidaknya seorang caleg menjadi aleg di satu sisi dan pemilu
sebagai pestanya rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil
rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut,
melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih.
Dengan begitu kedaulatan rakyat semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi 
Indonesia
semakin berkualitas. 

 

    Jadi, soal siapa-siapa nanti yang terpilih
menjadi wakil rakyat nanti, biarlah rakyat yang memutuskannya melalui pemilu
secara bebas. Entah laki-laki atau perempuan, kita semua harus menerimanya.
Tidak satu pun pihak, termasuk partai politik yang bersangkutan, yang berwenang
mengintervensi para caleg terpilihnya nanti.   


 

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com). 




      

Kirim email ke