Melalui Nafs Kita Menuju Manusia Sempurna
Seri Ke 23. Belajar Tasawuf tentang Nafs dan Ruh
Oleh : Ferry Djajaprana dkk

Menjadi manusia sempurna adalah sifat yang paling mulia dan menjadi harapan bagi setiap individu. Dalam hal ini, yang dimaksud kesempurnaan adalah menyucikan diri dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji.

Sifat tercela contohnya kebodohan, amarah, dendam, irihati, kikir, sombong, angkuh, congkak, cinta kedudukan, banyak bicara, tamak, panjang tangan dan berbagai sifat buruk lainnya. Sebaliknya sikap terpuji adalah pengetahuan, kesabaran, kesucian bathin, kemurahan hati, ketabahan, bersyukur, bertawakal kepada Allah, sikap hidup sederhana, menilai diri sendiri dengan cermat, mencintai sesama mahluk, bijaksana, bersikap terbuka dan sikap baik lainnya.

Tujuan para penempuh jalan spiritual (salik) adalah mencapai kesempurnaan dan suci dari perangai buruk, yang merupakan suatu proses yang diperintahkan oleh syariah. Sayangnya untuk mencapai kesempurnaan itu tidaklah mudah, karena para salik harus memahami dulu tentang siapa dirinya yang sesungguhnya.

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna, dimana di dalam dirinya terdiri dari dua komponen utama, yaitu jasad dan ruh. Jasad adalah jiwa kasar dan kasat mata, sedangkan ruh adalah jiwa halus yang tidak kasat mata. Ruh adalah kenyataan terdekat tetapi sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat, karena ia selalu hadir kemanapun kita bergerak; ia adalah penyebab kehidupan dan gerakan itu sendiri. Ruh begitu terjauh karena tak terjangkau oleh akal pikiran.

Di kalangan para sufi, ruh tidak didefinisikan, tetapi ia dilihat sebagai alat manusia untuk berhubungan dengan tuhannya. 1)

Menurut Al Ghazali 2), dalam koridor hubungan dengan Tuhannya ruh dibagi menjadi dua kategori, pertama, ruh yang berhubungan dengan jasad. Ruh ini berhubungan erat dengan jantung, beredar bersamaan dengan darah. Jadi kalau detak jantung berhenti maka berakhir pula "kontrak" ruh ini. Ruh dalam kategori ini merupakan sumber pengindraan, jadi seperti listrik menerangi tubuh kita. Ruh ini adalah pemberi kehidupan. Ruh kategori ke dua, adalah ruh yang halus dalam diri manusia, yang memungkinkan mengetahui dan mempersepsi, pengertian ini sama dengan hati sebagai sesuatu yang halus, yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian (lathifah rabbaniyh ruhaniyah).

Ruh sering juga diartikan dengan jiwa (Sansekerta : Jiva, Inggris : Soul, Yunani Psyche atau pneuma). Jiwa ini merujuk pada pelaku pengendali atau pusat pengaturan. Jiwa dalam diri manusia mengacu pada substansi imaterial yang selalu ada di tengah-tengah perubahan kehidupan, yang menghasilkan dan mendukung kegiatan psikis. 3)

1) Yunasril Ali,  Ruh Jenjang-jenjang ruhani, Penerbit Serambi, Jakarta, 2003
2) Al Ghazali, Ihya Ulum Al din,
3) Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2005

Ruh atau roh (Inggris : Spirit, Latin : Spiritus, Yunani : Psyche) 4) istilah ini menunjukkan kepada prinsip kehidupan. Roh ini mengacu kepada jiwa, nafas kehidupan. Definisi roh ini mengacu kepada ilmu filsafat, jadi maknanya dengan ilmu tasawuf masih tidak jauh berbeda. Selanjutnya kami akan membahasnya dari ilmu tasawuf saja agar tidak melebar masalahnya.

Hubungan Ruh dengan Nafs

Dari pengertian penjelasan definisi diatas tersirat bahwa ruh dan nafs adalah serupa tapi tidak sama. Kesamaannya yaitu menyangkut pada "diri" yang memberikan makna bagi kehidupan. Baik sebagai pemberi daya hidup pada jasad maupun memberi makna kehidupan.

An Nafs, adalah jiwa psikis, wujud halus dari suatu individu, "Aku", berlawanan dengan roh atau dengan akal, nafs muncul dalam aspek negatif, karena ia muncul dari kecenderungan individualistik atau egosentrik.

Hubungan ruh dengan nafs, memiliki keterkaitan. Sebagian ulama menyatakan keduanya identik, landasannya QS. Az Zumar 39:42.

Sebagian ulama menyatakan berbeda, menurut Muqatil bin Sulayman, seorang theolog Murjiah, menyatakan manusia memiliki tiga komponen dalam dirinya, yaitu : hayat, ruh dan nafs.

Sebagai ilustrasi, jika seseorang tidur, maka nafsnya keluar dari badannya, nafsnya bisa beraktivitas diluar jasad, namun dia tetap terikat dengan jasad. Mimpi adalah aktivitas dari nafs-nya, sehingga bisa bertemu dengan nafs yang lain. Sementara hayat dan ruh tetap dalam jasad. Jika jasad dan ruh membalikkan badan seseorang maka nafs akan kembali secepat kilat. Jika Allah mematikan seseorang, Dia akan mengembalikan nafsnya kepada jasadnya.

Umumnya para sufi berkesimpulan bahwa nafs lebih dekat hubungannya dengan dimensi fisik yang berasal dari tanah. Oleh sebab itu corak tanah lebih dominan pada nafs. Jadi, nafs adalah sumber ahlak tercela, sementara itu ruh adalah sumber ahlak terpuji, namun demikian, nafs dapat ditundukkan ke arah positif, sehingga akan mengasilkan ahlak atau hal-hal yang bersifat baik juga.

Menurut Titus Burckkardt 5), menjelaskan  beberapa perbedaan nafs, yaitu :
1. An Nafs Al Hayawaniyah, jiwa binatang, jiwa yang patuh secara pasif kepada dorongan-dorongan alami.
-----------------------
4)  Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2005
5)Titus Burckkardt, "An Introduction To Sufi Doctrine", Second Impression, 1981, The Aquirian Press, Wellingborough, Great Britain. Diterjemahkan Azyumardi Azra, Mengenal ajaran kaum sufi, Dunia Pustaka Jaya, 1984,p.166).



2. An nafs Ammarah, jiwa yang memerintah, hawa nafsu dan jiwa egoistik.
3. An Nafs Al-lawwamah, jiwa yang membakar, jiwa yang sadar akan ketidak sempurnaan diri sendiri. 4. An Nafs Muthmainnah, jiwa yang damai, jiwa yang telah bersatu kembali ke roh Tuhan dan beristirahat dalam kepastian.
Ketiga jenis roh yang terakhir dibuat berdasarkan pernyataan Al Quran.

Karena nafsu adalah sisi negatif (kejelekan) yang ada di tiap-tiap manusia, maka nafsu itu harus dikendalikan. Bukan dihilangkan. Jangan sampai kita dikendalikan (menjadi budak) nafsu. Untuk memahaminya, kita harus terus menerus mawas diri. Terus berusaha ingat siapa kita, memahami siapa diri kita.

Surat Yusuf, ayat 53, artinya :"Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali NAFSU YANG DIBERI RAHMAT oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang".


Untuk mendefinisikan nafs para mutasawif (ahli tasawuf) klasik dan mutasawif kontemporer berbeda-beda, pada Al Quran menyebutkan tiga, pertama, nafs ammarah, kedua nafs al lawamah, dan terakhir nafs muthmainah. Kalau menurut Agus Sunyoto 6), dalam karyanya tentang Syeikh Siti Jenar, dalam buku cerita "Suluk Malang Sungsang" membagi nafs dalam delapan tingkatan, yaitu, Pertama, nafs al hayawaniyyah, Kedua, nafs ammarah, Ketiga, nafs lawammah, Keempat, nafs muthmainnah, Kelima, nafs raddiyah, Keenam, nafs mardiyyah, Ke tujuh, nafs kamilah, Terakhir, nafs insan kamil.

Rumi membagi menjadi tujuh jiwa, dengarkan puisinya:

Aku mati sebagai mineral, menjelma tumbuhan
Aku mati sebagai tumbuhan, dan terlahir binatang
Aku mati sebagai binatang, dan kini menjadi manusia
Dan melambung bersama para malaikat
Bahkan setelah menjelma malaikat, aku harus mati lagi
Apabila aku korbankan jiwa malaikat ini,
Aku akan menjelma menjadi sesuatu yang tak terpahami.

                        Rumi

Menurut Robert Frager, dalam kitab karangannya "psikologi sufi untuk transformasi, hati, diri dan jiwa", menyebutkan ada tujuh jiwa, atau tujuh sisi dari keseluruhan jiwa kita. Masing-masing mewakili tingkat evolusi yang berbeda: Jiwa mineral, nabati, hewani, pribadi, insani, rahasia, dan maharahasia. 6) Agus sunyoto, Suluk Malang Sungsang, Penerbit Pustaka Sastra - LKIS, Yogyakarta,2005 7) Robert Frager, Psikologi sufi untuk transformasi, hati, diri dan jiwa, Penerbit Serambi, Jakarta, 1999


Tingkatan Nafs menurut Abdul Fattah Rashid hamid, Ph.D ada tujuh, yaitu An-Nafs al-Ammarah, An-Nafs al-Lawwamah, An-Nafs al-Mulhima, An-Nafs al-Qana'ah, An-Nafs al-Mutma'innah, An-Nafs al-Radiyah, An-Nafs al-Kamilah.

Menurut Ibn Qayyim Al Jawziyyah, banyak orang mengira bahwa manusia memiliki beberapa nafs (nafs ammarah, lawwamah dan muthmainanah dll), katanya sebenarnya manusia itu hanya memiliki satu nafs, tetapi satu nafs ini bisa berubah-ubah namanya sesuai dengan perubahan sifat yang mendominasinya, ketika dia bertabiat buruk, sembrono (careless) maka disebut nafs ammarah bi al-su (nafs yang mengajak kepada kejahatan). Nafs pada tahapan ini masih didominasi tabiat ketanahan yang ada pada jazad, sehingga selalu mengajak kepada yang negatif.

Ketika nafs ammarah ditundukkan dengan ajaran agama, maka sifatnya akan berubah menjadi baik, tetapi sesekali melakukan pelanggaran aturan Illahi. Nah, setiap kalai melanggar ia akan merasa menyesal apabila melakukan hal ini disebut nafs lawwamah.

Apabila nafs lawwamah selalu konsisten dilakukan diatas jalur Illahiyah, maka wataknya akan berubah, sifatnya senantiasa terarah pada kebaikan. Nafs yang demikian disebut nafs muthmainnah, yakni nafs yang merasa tentram, damai, tidak pernah berkeluh kesah, dia merasa dekat dengan Allah, senantiasa rela dengan apa yang datang dari Allah (ikhlas).

Biasanya para sufi ketika meneropong perjalanan ruhani manusia (dirinya) merujuk pada isyarat dari ayat-ayat al-Qur'an tentang Nafs, antara lain "Ya ayyuhanafsul mut'mainah, irji'i illa Robbiki Rhodiatan Mardhiyah, fadkhuli fi ibaadi wadkhuli jannaati" (Hai jiwa/nafs yang tenang, kembalilah kepada Tuhan Rabb-mu dengan (kondisi jiwa) Ridho kepada Allah dan Allah pun Ridho kepadamu). Dari ayat ini tergambarkan 3 stasiun (maqomat) jiwa pada 3 tahapan tertinggi: Nafs al-Mutmainah, Nafs al-Rhodiah, Nafs al-Mardhiyah, yang akan dan sedang dilalui oleh para salik (penemuh jalan ruhani) setelah sebelumnya meninggalkan beberapa stasiun/maqomat yang lebih rendah seperti: Nafs al-Amarah bi Suu'i (Nafs al-Hayawaniyah/Bahimiyah), Lalu lanjut ke Nafs al-Lawwamah, yaitu Nafsu yang masih bolak-balik antara berbuat dosa dan taubat, antara taat dan maksiat, sebagaimana kebanyakan kita (khususnya saya) masih ditahap nafs al-lawwamah, lalu ada tahapan/stasiun/maqomat berikutnya: Nafs al-Mulhamah, sebelum Nafs al-Muth'mainah. Wallahu 'Alam bi shawab. Mari kita pelajari lagi, perjalananan evolutif al-nafs ini, atau transubstantial movement ruhani manusia (al-harakat al jawhariyah) ini, misalnya dari buku/risalah Awsaf al-Asraf karya Khwajah Nassir al-Din al-Thusi, yang beberapa tahun yang lalu sudah ditererjemahkan dari edisi Bahasa Inggris ke Indonesia oleh Akhmad Y. Samantho berjudul: "SIFAT-SIFAT KEMULIAAN", terbitan Pustaka Intermasa Jakarta, 2004.

Dari penjelasan di atas, banyak terjadi perbedaan pendapat para mutasawif, karena ilmu tasawuf adalah ilmu pengalaman pribadi, penjelasan perbedaan ini untuk memperkaya khasanah pemahaman kita, untuk itu kita sebaiknya bisa fleksibel dalam memahaminya.



Terlalu banyak dugaan-dugaan para ahli sufisme untuk mendefinisikan tentang nafs, boleh jadi ini merupakan takwil dari QS. Az Zumar (39):42, yang artinya " Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya: Maka Dia tahanlah Jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir".

Tafsir dari ayat di atas adalah pernyataan bahwa Allah mengendalikan manusia dengan cara memegang jiwa ketika mati dan waktu tidur. Jadi terserah Allah mau diapakan jiwa kita. Caranya, Allah menempatkan ruh di dalam diri seseorang sebagai bagian dari Eksistensin-Nya, sehingga pada saat tidur ataupun kematiannya, jiwa tetap dalam genggaman-Nya atau kekuasaan Ruh- nya.


Ruh

Meskipun badan sudah hancur pada saat kematian, jiwa masih hidup karena pengaruh dari Ruh. Terakhir, menjelaskan bahwa semua itu mengandung hikmah dan menjadi pelajaran bagi orang yang berfikir.

Selanjutnya pada QS Al Isra (17):85, Allah berfirman "Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Pada ayat diatas kita menjadi lebih paham bahwa Ruh dengan Jiwa itu berbeda. Pemahaman tentang ruh lebih rumit, namun bukan kita tidak boleh mempelajarinya. Kata 'illa qallila" menunjukkan, bahwa meskipun hanya sedikit, Allah masih memberikan ilmu tentang Ruh itu kepada manusia.

Menurut Sachiko Murata, ruh tidak dapat didefinisikan, namun pengetahuan diskursif tentang sifat-sifat ruh dalam kenyataan diberikan oleh pengalaman manusia dan teks-teks wahyu. Kenapa ruh tidak dapat di definisikan? Karena ruh tidak memiliki ukuran, tidak dapat diindrai, tidak dapat dibagi-bagi. Ringkasnya ruh bersifat transenden.

Melalui al Quran, kita mendefinisikan ruh :
1) wahyu.
Q.S. Assyura [42]:52 "Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh (al Quran) dengan perintah kami".

2) Berarti rahmat Allah yang berupa pertolongan, kemauan dan kekuatan bathin.
QS Al Mujahaddah [58]:22 "Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan iman di dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya".



3)Ruh berarti Jibril A.S.
QS Al Qadr [97]:4 "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya".

4. Ruh berarti Isa Ibn Maryam A.S.
QS. AnNisa [4]:171 "Sesungguhnya Al Masih Isa Ibn Maryam, adalah utusan Allah dan [yang terjadi] dengan kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan [dengan tiupan] ruh dari-Nya".

5. Ruh semakna dengan Nafs yang memberi kehidupan dengan manusia
QS Al Zumar [39:42] " Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya: Maka Dia tahanlah Jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir".

Bisa disimpulkan dari penjelasan itu bahwa ruh merupakan pemberi daya hidup atau pemberi makna hidup bagi manusia. Oleh karenanya, hidup tak bisa lepas dari ruh. Tak mungkin hidup tanpa ruh. Demikian juga, tanpa wahyu (Al Quran) hidup tak mungkin memiliki makna, demikian juga tanpa rahmat hidup seperti hampa.

Ibn Qayyim Al Jawziyyah mengungkapkan, ruh disebut demikian karena dia menghidupkan jazad. Seperti kata RIH (artinya angin) yang juga mendatangkan kehidupan bagi mahluk. Dari kata ruh membentuk kata RAWH ( Rahmat ) dan RAHAH (Bhs Ind. Istirahat), istirahat juga memberikan kontribusi kepada kehidupan.

Kehidupan di dunia ini tidak mungkin ada tanpa angin, kehidupan akan sirna tanpa rachmat, dan perlu istirahat dari berbagai aktivitas.



Nafs al kamilah (nafs yang sempurna)

Nafs al-Kamilah adalah tingkatan manusia yang telah sempurna (al-Insan al-Kamil). Kesempurnaannya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian dan telah memahami pengetahuan yang sempurna tentang Allah. Memahami diri yang sebenar-benarnya (diri sejati) dan memahami diri bersatu dengan Allah. Syech Siti Djenar mengatakan "Manunggaling kawula lan Gusti".

Rumi, dengan indah menagkap kondisi ini, "Ah... alangkah senangnya orang yang terbebas dari dirinya dan menyatu dengan eksistensi zat yang maha hidup".





Menurut Robert Frager 8), yang biasanya mengutip Syekh Muzaffer, dari tarekat Naqshabndiyah, menjelaskan nafs ketujuh ini disebut Jiwa Maharahasia, ia adalah percikan Ilahi di dalam diri masing-masing kita. Definisinya melampaui pemahaman manusia dan melampaui batasan jiwa lainnya.

Syekh Abd Al khaliq Al Shabrawi 9), seorang guru besar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mursyid Tarekat Khalwati, dikenal sebagai pengembara spiritual tanpa henti, menjelaskan tentang jiwa sempurna (nafs al kamilah) sebagai berikut :

"Perjalanannya adalah "dengan" Allah
Alamnya adalah keragaman di dalam kesatuan dan kesatuan di dalam keragaman.
Letaknya di Yang Paling Tersembunyi menyerupai ruh terhadap badan.
Keadaannya adalah kekal (baqa)"

Orang yang berada pada maqam ini hanya mendambakan ridha Tuhan-nya. Gerakannya adalah amal saleh, setiap nafasnya merupakan ibadah. Jika manusia melihatnya , mereka teringat kepada Allah - karena dia adalah wali Allah yang sempurna (?).

Orang yang berada di maqam ini selalu beribadah, baik dengan seluruh raga, lidah dan hatinya. Tidak ada kebencian dalam dirinya kepada setiap mahluk. Dia tak takut kepada siapapun kala berbicara karena Allah. Kehendaknya adalah kehendak Yang Mahabenar (Al Haqq). Allah langsung mengabulkan permohonannya.


8) Robert Frager, Psikologi sufi untuk transformasi, hati, diri dan jiwa, Penerbit Serambi, Jakarta, 1999 9) Syekh Abd Al Khaliq Al Shabrawi, Maratib Al Nafs (The degrees of the self - Bhs Ind. Biarkan Dirimu Tumbuh Sempurna), PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003


-oOo-

Note :
Tulisan di atas dirangkum dari diskusi tentang An Nafs, pada milis (mailing List) http://tasawuf.multiply.com, kami mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah berpartisipasi menjawabnya.

Penulis,
Ferry Djajaprana
http://ferrrydjajaprana.multiply.com


Penulis bisa dihubungi melalui alamat email :  [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke