Baru-baru ini media massa merasa perlu memampangkan foto kyai Aa Gym yang baru 
saja beroleh anak kedelapan dari hasil poligaminya. Sementara banyak orang 
mengelu-elukan kehadiran sang jabang bayi tersebut sebagai titipan Tuhan, 
terasa kesedihan menjalari seluruh tubuhku. Kyai yang selalu berkoar-koar akan 
perlunya menyelamatkan orang yang malang di dunia ini memagut kontradiksi jalan 
hidup yang memalukan. Tapi, Aa Gym tidaklah sendirian karena sikapnya tersebut 
mewakili umat manusia yang berjiwa gulma lainnya di Indonesia.

Manakala jutaan anak-anak terlahir dan merana kurang gizi saban hari, berita 
penambahan anak bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan apalagi 
disanjung-sanjung. Egoisme sudah terlalu berkarat dalam jiwa manusia dan tega 
memicingkan mata terhadap anak-anak yang kelaparan. Tengoklah benua Afrika yang 
memiliki catatan sejarah derita yang panjang hingga detik ini dan belum juga 
bisa diselamatkan oleh manusia lain yang merasa dirinya lebih superior dari 
mereka. Ada barisan panjang manusia yang letih berselimutkan kulit saja 
pembungkus tulang di benua hitam tersebut.

Tak perlu kita memanjangkan leher jauh-jauh ke balik bumi itu dan cukuplah 
melihat dalam negeri sendiri betapa banyaknya saudara kita yang mengisi catatan 
hariannya dengan tetesan air mata yang memilukan. Pulau Jawa (hanya 7% dari 
keseluruhan daratan Indonesia) yang memikul 60% dari keseluruhan populasi 
Indonesia sangat kentara mempertunjukkan tragedi penistaan orang atas orang 
dalam persaingan hidup yang mengerikan. Persaingan hidup yang sudah mencekik 
leher mengompori orang untuk menjadi egois melahirkan masyarakat yang bagai 
tukak bernanah yang menyebarkan aroma busuk ke mana-mana.

Makanya tidaklah mengherankan kalau Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pernah 
mengusulkan agar keluarga yang bermukim di Pulau Jawa memiliki satu anak saja. 
Ini merupakan seruan yang waras. Tapi, adakah gemanya bisa menyentuh kalbu 
manusia di Indonesia yang kebanyakan tidak mampu berpikir secara logis dalam 
hidupnya tersebut?

Sebentar lagi penduduk Indonesia akan meloncati angka 250.000.000 orang. 
Padahal dari laporan PBB pada 1969 penduduk Indonesia berjumlah 113.000.000. 
Hanya kurang dari 40 tahun saja, penduduk Indonesia sudah membengkak dua kali 
lipat beranak pinak seperti babi. Penduduk dunia pun sudah melonjak ke angka 
6.700.000.000.

Ada baiknya melihat keberhasilan pemerintah Cina dalam mengekang pertumbuhan 
penduduknya tanpa mengekang urat nadi libido pejantan di sana. Kebijakan satu 
orang anak yang diterapkan Cina sejak tahun 1979 sangat banyak membantu 
kesejahteraan rakyatnya dan membantu bumi yang sudah kepayahan menyusui spesies 
manusia yang menyampah di mana-mana.

Hasrat kelangsungan hidup yang merupakan tuntutan dari DNA sering membuat 
banyak orang membantai yang lainnya. Nyawa-nyawa murahan yang terlalu banyak 
dilemparkan Tuhan + manusia ke atas bumi ini tidak diasupi cukup gizi untuk 
mengembangkan benaknya, tempat tumbuhnya nalar yang sehat dan rasional itu.

Tiap hati yang manusiawi menghendaki keharmonisan hidup dan rasa toleransi yang 
tinggi untuk mengurangi momok krisis multidimensional yang berkepanjangan ini. 
Dambaan saya adalah berkurangnya jumlah penduduk sekurang-kurangnya mencapai 
angka 1/4, menjadi sekitar 1.500.000.000 saja. Akan lebih ideal lagi apabila 
satu nol di belakang angka tersebut menjadi hilang. Dengan begitu, persaingan 
hidup melunak dan pun para binatang ceria kembali beroleh haknya sebagai 
khalifah yang sah di atas bumi ini.

Adalah kesalahan fatal berpandangan bahwa Tuhan pasti memberi rezeki yang 
pantas bagi setiap manusia yang dilahirkannya. Tuhan itu bersifat netral dan 
dia tetap saja memalingkan wajahnya dari tragedi hidup manusia yang hiruk-pikuk 
dalam keserakahannya. Milyaran dan bahkan triliunan contoh bisa diterakan 
sampai habis tinta air laut mengering, mulai dari penganiayaan, perampokan, 
pembunuhan, terorisme, peperangan, perkosaan, genocide, dan sebagainya dan 
sebagainya yang memenuhi halaman sejarah perjalanan hidup manusia jauh sebelum 
sahelanthropus tchadensis muncul menunggangi planet ini.

Kelihatan kian tolol saja kalau meratap-ratap menyebut-nyebut nama Tuhan agar 
nasibnya menjadi lebih baik atau negaranya diberkahi rahmat. Setolol tiga uang 
dengan zikir akbar yang sering diperbuat oleh para pelacur agama di Indonesia 
yang senang berkumpul menyemut di suatu tempat menengadahkan tangan pada Tuhan 
yang membisu tersebut. Sebaliknya, kalau mereka pakai otak untuk berpikir, 
pastilah akan dipahami bahwa itu adalah perbuatan yang tak berguna dan 
buang-buang waktu + tenaga saja. Lebih baik mengumpulkan sampah yang berserakan 
di mana-mana ketimbang kumpul-kumpul yang tak karuan itu. Atau, serukan tidak 
perlunya beranak lewat kontrasepsi, pencopotan buah pelir, dan sebagainya yang 
lebih masuk akal daripada meratap-ratap kepada Tuhan yang sudah tidak mendengar 
itu. By the way, adakah orang Indonesia punya otak?

Jadi, ketimbang punya anak sendiri, lebih mulia mengadopsi anak lain yang sudah 
dilahirkan malang oleh Tuhan. Tidak ada salahnya semua orang Indonesia punah 
dari atas bumi ini demi keharmonisan hidup generasi yang akan datang, demi 
kemaslahatan makhluk hidup di dunia ini. Dengan sendirinya, sikap hidup 
rendahan dengan membiarkan manusia lain letih dalam kelaparan menuju terminal 
kematian bisa lenyap dengan sendirinya.

Seandainya bertanya Tuhan apakah mau dilahirkan ke atas bumi sembari 
menayangkan film masyarakat yang akan dimukimi, akankah Anda mengacungkan 
tangan? Saya sendiri akan menolak mentah-mentah dilahirkan ke atas bumi karena 
sebagian besar hari-hari tiap manusia diisi oleh penderitaan, penyakit, dan 
kekecewaan. Sedih melihat pintu orang kaya yang diketuk tak terbuka, sikap 
hidup murahan dari para pemimpi surga yang mendiskriminasikan manusia lain, 
manusia yang terlalu lemah sehingga menuruti saja suruhan Tuhan mengafirkan dan 
melaknati pemeluk agama lain, tragedi berkelanjutan yang bermahkotakan air mata 
dan darah, dan sebagainya dan sebagainya.

Tidak sejumput pun jaminan dari Tuhan bahwa anak yang akan dilahirkan tersebut 
akan mengabdi pada orang tuanya atau menjadi sinar harapan dalam masyarakat. 
Mungkin dia akan menjadi orang yang betul-betul menghormati orang tuanya + 
orang lain, menjadi orang sekaliber Einstein atau Bill Gates. Sebaliknya, 
mungkin dia akan menjadi pembunuh, pemerkosa, teroris seperti Amrozi dan 
konco-konconya, pengidap skizofrenia atau sudah lumpuh sedari kecil yang akan 
menyusahkan keluarga dan masyarakat.

Yang tidak kalah malangnya sebagai perempuan adalah menjadi mangsa manusia 
pedofil seperti Shek Puji yang menikahi gadis berusia 12 tahun atau Kiai 
Masyhurat yang menikahi 5 gadis di bawah umur. Para sampah bagi dunia, sang 
pedofil yang doyan mengucup buah dada anak perempuan bawah umur ini, punya 
perasaan yang sudah lumpuh karena memagut snobisme (orang yang senang meniru 
gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa 
perasaan malu-malu) dari Nabi Muhammad.

Keegoisan mau mengeloni anak sendiri dan bukannya menyelamatkan anak yang sudah 
terlahir malang mestinya dianggap sebagai kebahagiaan yang menyimpang. Memungut 
bocah-bocah yang bergentayangan tak terurus merupakan suatu sikap hidup yang 
mulia. Pengalihan biaya melahirkan dan membesarkan anak sendiri ke anak pungut 
atau anak asuh akan memberi nilai tambah bagi manusia yang berperikemanusiaan.

Jadi, yang diperlukan sekarang ini bukanlah menciptakan anak dari adonan sperma 
dan sel telur tersebut melainkan menyelamatkan anak-anak yang telah dilahirkan 
malang oleh Tuhan ke atas bumi ini. Tindakan perorangan amat diperlukan untuk 
menyelamatkan Indonesia dan sekaligus dunia dari sampah buangan Tuhan yang 
berwujud manusia ini. Jangan biarkan diri sendiri hangus terpanggang oleh api 
egois mau punya anak sendiri.

Edizal


      

Kirim email ke