Jawa Pos

 Jum'at, 19 Desember 2008 ] 

Pengalaman Religi Dr Ir Muhammad Taufik, Uji Keimanan di Negara Mode 

 

Pernah menimba ilmu di luar negeri memberikan pengalaman spiritual tersendiri 
bagi Dr Ir Muhammad Taufik. Pada 1987-1994, pengajar program studi teknik 
Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS itu berkesempatan menempuh 
pendidikan S2 sekaligus S3 di Universit? de Nice Sophia Antipolis, Prancis. 

Banyak godaan yang dirasakan Taufik saat itu. Mulai berangkat, di dalam pesawat 
dia dengan mudah melihat banyaknya pasangan berciuman. "Saya sampai sempat ragu 
tetap melanjutkan pendidikan ini atau tidak ya," tutur ayah lima anak tersebut 
mengenang. 

Taufik mengaku belum siap menghadapi perbedaan budaya yang begitu terasa. 
Terlebih, begitu sampai di negeri mode, pemandangan serupa itu malah berada di 
mana-mana. Seorang teman sempat bertanya, apakah dia sudah berkeluarga atau 
belum. "Begitu tahu saya sudah menikah, teman itu malah bilang, sayang sudah 
nikah. Kalau belum, kan lebih enak," kata Taufik menirukan ucapan temannya. 
Taufik tahu ke mana arah pembicaraan tersebut. Kegundahannya untuk terus 
melanjutkan studi lagi atau tidak tumbuh lagi. 

Namun, taufik, mengaku banyak mendapatkan pertolongan. Di tengah perasaan 
bingung, seorang profesor pembimbingnya mengenalkan dia dengan salah seorang 
mahasiswa muslim. "Profesor saya bilang, itu dia lakukan supaya saya betah di 
sini," kenang pria kelahiran Bangkalan, 19 September 1955 tersebut. 

Dari situlah awal mula Taufik mulai mengenal mahasiswa muslim di Prancis. 
Lambat laun, Taufik mulai bergabung dengan perkumpulan mahasiswa muslim. Mulai 
jadwal salat hingga tempat-tempat makan yang bisa didatangi dia dapatkan dari 
teman-temannya di sana. 

Ada pengalaman yang tidak bisa Taufik lupakan mengenai beribadah di Prancis. Di 
negara romantis itu, amat jarang terdapat masjid. Kalaupun ada, jaraknya agak 
jauh dari kampus. Bersama temannya, Taufik salat di dalam kelas atau 
laboratorium. "Ya dengan agak sembunyi-sembunyi," ujarnya. 

Suatu saat, profesor pembimbing Taufik melihatnya salat. Karena tidak tahu itu 
gerakan apa, dia memanggil-manggil dan mencolek Taufik. "Waktu saya sujud, dia 
kira saya nangis dan sedang home sick," tutur wakil ketua Majelis Pendidikan 
Dasar Menengah Muhammadiyah 2 wilayah Jawa Timur itu. 

Taufik tidak menghiraukan panggilan profesor tersebut. "Dia sempat tersinggung. 
Tetapi, setelah saya jelaskan bahwa tadi sedang beribadah, profesor saya 
mengerti dan justru meminta maaf," tuturnya. 

Di lain acara, karena tahu Taufik muslim, profesor tersebut khusus menyediakan 
jus jeruk dan minuman bersoda. Bahkan, saat istri Taufik menjenguknya ke Paris 
dan bertamu ke rumah pembimbingnya, sudah tersedia jus jeruk. "Istri pembimbing 
itu sampai bilang, Anda tamu istimewa karena suami saya sampai khusus 
menyediakan ini untuk Anda," tirunya. 

Istri Taufik berkunjung untuk meyakinkan diri bahwa suaminya tidak berbuat 
macam-macam di sana. "Setelah beberapa lama istri saya tinggal dan mengetahui 
kegiatan saya di Prancis, dia semakin percaya dan tidak takut lagi suaminya 
sendirian di sini," ujarnya lantas tertawa kecil. 

Pengalaman yang juga teringat adalah saat dia menunaikan ibadah puasa di Nice. 
Kalau tiba musim panas, jarak waktu imsak dengan buka sangat lama. "Bukanya 
bisa jam sebelas malam, Mbak," kenangnya. Sebaliknya, saat musim dingin justru 
waktu puasanya sebentar. "Imsak jam delapan pagi, buka jam lima sore," 
imbuhnya. 

Semua pengalaman selama di Nice sangat melekat di ingatannya. Taufik mengakui 
bahwa pengalaman religiusnya di negara dengan luas terluas di Eropa tersebut 
merupakan ujian keimanan untuknya. Karena itu, dia mensyukuri bahwa perjalanan 
studi tersebut. Dia mengganggap, perjalanan itu merupakan salah satu hal yang 
sudah diatur oleh Tuhan. "Saat saya pulang, seperti ada yang hilang," ucapnya. 
(war/ayi)

<<41702large.jpg>>

Kirim email ke