http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=120326

Bahan Bakar Minyak
Premium Turun, Nggak Ngaruh Lageee...

Setelah berangsur turun dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak mentah 
dunia naik tipis, Senin lalu. Pukul 09.30 waktu Jakarta, New York Mercantile 
Exchange (NYMEX) mengumumkan, harga minyak untuk pengiriman Desember naik US$ 
3,26 per barel. Harga baru pada saat itu menjadi US$ 64,30 per barel.

Terkereknya kembali harga minyak mentah dunia itu salah satunya karena Cina 
mengumumkan paket stimulus sebesar 4 trilyun yuan atau setara dengan US$ 589 
milyar guna menggenjot pertumbuhan ekonominya. "Langkah Cina ini akan 
menggiring permintaan minyak sehingga harganya naik," kata Victor Shum, senior 
principal di lembaga konsultan Purvin & Gertz Inc, Singapura.

Alhasil, melihat perkembangan terbaru itu, gejala turun harga yang terjadi 
beberapa bulan terakhir sebetulnya belum stabil. Apalagi, salah satu raksasa 
minyak dunia, Saudi Aramco, mengumumkan bahwa kilang Korea Selatan dan Jepang 
akan memangkas suplainya, Desember nanti.

Harga minyak boleh saja diprediksi belum stabil, tapi angin segar sudah 
diembuskan Pemerintah Indonesia. Kamis lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya 
Mineral, Purnomo Yusgiantoro, menginformasikan bahwa harga premium bersubdisi 
akan turun dari Rp 6.000 per liter menjadi Rp 5.500. Harga baru ini 
diberlakukan mulai 1 Desember 2008. Hanya saja, pemerintah tidak yakin harga 
ini akan stabil. ''Evaluasi akan dilakukan tiap bulan, melihat harga Indonesia 
crude price,'' ungkapnya.

Pemerintah berharap, penurunan harga premium itu bisa dinikmati rakyat. Antara 
lain, dapat meningkatkan daya beli. Benarkah? Direktur Pelaksana Econit, Hendri 
Saparini, meragukan hal itu. Sebab penurunan harga premium sebesar Rp 500 
terlalu kecil. Dengan demikian, efeknya juga kecil atau bahkan tidak akan 
terasa. Yang terjadi justru terganggunya ekuilibrium yang sudah terbentuk 
karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per Mei lalu.

"Harusnya pemerintah mengembalikan semua harga BBM, bukan hanya premium, ke 
harga Mei 2008. Itu baru akan membawa efek positif dan akan menjadi stimulus 
bagi pertumbuhan ekonomi di tengah gejolak keuangan dunia seperti sekarang ini. 
Secara teknis, itu bisa dilakukan, kok," kata Hendri.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, Thomas 
Dharmawan, sependapat dengan Hendri. Menurut dia, harga baru bensin itu 
mustahil mempengaruhi harga jual komoditas lainnya, terutama makanan dan 
minuman. ''Hal itu memang akan berpengaruh pada pengurangan ongkos transportasi 
industri, tapi besarannya tidak signifikan,'' ujar lelaki asal Solo, Jawa 
Tengah, itu. Ia berpendapat, yang bisa merasakan efek langsung turunnya harga 
premium itu hanyalah pengguna mobil dan kendaraan bensin. Itu saja.

Kalangan industri, katanya, tak akan kebagian berkah karena mayoritas mesin 
pabrik menggunakan solar. ''Kecuali kalau yang turun solar, komoditas lain 
mungkin terpengaruh langsung,'' tuturnya.

Pemerintah mestinya menilik kembali harga solar, batu bara, dan gas. Kini 
jumlah industri yang beralih ke bahan bakar batu bara atau gas mencapai 30% 
sampai 40% dari total 12 juta unit industri makanan dan minuman di Indonesia.

Bagi kalangan transportasi, perubahan ini juga dinilai belum signifikan. Harga 
premium yang baru itu tidak mungkin ditindaklanjuti dengan perubahan tarif 
angkutan. Menurut hitung-hitungan Kepala Bidang Penelitian DPP Organisasi 
Angkutan Darat, Tejokusumo, sebagian besar angkutan umum, yakni 70%, berbahan 
bakar solar, terutama untuk angkutan barang.

Bagi angkutan berbahan bakar bensin, katanya, penurunan harga premium Rp 500 
itu hanya akan mengoreksi tarif angkutan Rp 170. ''Angka ini terlalu kecil 
untuk diterapkan,'' ujarnya.

Kalau bicara tentang manfaat, yang bisa memetik langsung adalah pengguna mesin 
bensin. Mayoritas masyarakat pekerja di negeri ini menggunakan alat 
transportasi sepeda motor. Jika harga premium turun Rp 500 per liter, mereka 
bisa berhemat sekitar Rp 25.000 per bulan. Pada 2007, jumlah motor di Indonesia 
39,3 juta unit. Namun penghematan sejumlah itu tidak banyak mengatrol daya beli 
masyarakat.

Bagi sektor riil, koreksi harga premium itu tidak setimpal dengan sakitnya 
pukulan gejolak krisis di Amerika Serikat. Permintaan barang ekspor yang makin 
merosot dan pembayaran yang seret membuat para pelaku usaha membutuhkan lebih 
dari sekadar penurunan harga premium.

Anggota Komisi XI DPR-RI, Dradjad H. Wibowo, menilai bahwa pemerintah 
sebetulnya bisa memberi lebih dari itu. ''Ini seperti setetes air di samudra,'' 
katanya. Langkah itu, menurut politisi dari Partai Amanat Nasional ini, lebih 
tampak sebagai bahasa politik untuk memberi kepuasan kepada masyarakat. 
Selebihnya tidak ada.

Nizar Dahlan, politikus Partai Bulan Bintang yang juga anggota Komisi VII 
DPR-RI, punya pandangan serupa. Menurut dia, mestinya yang diturunkan adalah 
harga solar yang menjadi kebutuhan utama moda angkutan massal dan angkutan 
barang. Jika yang diturunkan hanya BBM jenis premium, yang menikmatinya adalah 
pemilik mobil pribadi. ''Seharusnya pemerintah juga menurunkan semua jenis BBM, 
termasuk bahan bakar gas jika diperlukan,'' ia menegaskan.

Dalam hitungan Dradjad Wibowo, pemerintah sebenarnya punya kesanggupan 
menurunkan harga premium lebih besar, yakni 20% sampai 25% menjadi Rp 4.500 
atau Rp 5.000 per liter. Ini masuk akal karena waktu untuk penggunaan APBN 2008 
hanya tersisa satu setengah bulan, sedangkan realisasi konsumsi BBM bersubsidi 
hingga September 2008 hanya sekitar 29,7 kiloliter dari alokasi sekitar 40 
kiloliter lebih.

Dengan konsumsi seperti itu dan melihat harga minyak dunia yang cenderung 
turun, maka tambahan beban subsidi pada 2008 hanya sekitar Rp 5 trilyun. 
Pemerintah bisa menutupinya dengan melakukan realokasi belanja. Apalagi jika 
harga pokok BBM bisa ditekan melalui efisiensi sistem migas. Dradjad 
membisikkan bocoran bahwa anggaran subsidi BBM tahun 2008 tidak habis seperti 
diungkapkan seorang menteri. Menurut informasi yang dia terima dari seorang 
pejabat di departemen, uang subsidi BBM hingga akhir Oktober baru keluar 93% 
atau Rp 118,6 trilyun.

Karena penurunan harga premium itu tidak signifikan, pemerintah bisa saja tidak 
menurunkan harga premium sama sekali. Bila langkah ini diambil, pemerintah akan 
bisa menabung sekitar Rp 10 trilyun. Uang ini justru signifikan untuk membuka 
lapangan kerja baru atau membangun infrastruktur.

Soal opsi tidak menurunkan harga sehingga pemerintah bisa menabung itu, Dradjad 
menyatakan keberatan. ''Bila tidak diawasi, risikonya, mereka malah bagi-bagi 
proyek di antara para elite. Kalau begitu, lebih baik menurunkan harga bensin 
agar dirasakan masyarakat luas,'' katanya.

Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat, penurunan harga premium itu akan lebih 
dinikmati kelas menengah yang memiliki kendaraan bermotor dengan konsumsi 
bensin yang banyak. ''Efek terhadap masyarakat miskin yang seharusnya mendapat 
manfaat dari subsidi BBM tidak terlalu signifikan," ujarnya. Aviliani tidak 
melihat pengaruh yang baik, karena langkah itu tidak membuat industri 
menurunkan harga barang-barang.

Dengan harga minyak dunia yang belum stabil, langkah itu juga tidak bebas 
risiko. Bila nanti pemerintah harus kembali menaikkan harga premium setelah 
menurunkannya, Aviliani mengkhawatirkan ongkos sosial yang harus ditanggung 
masyarakat. ''Harga minyak kan tergantung harga minyak dunia. Pemerintah harus 
siap dengan itu," katanya.

Mujib Rahman dan Arif Sujatmiko
[Ekonomi, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 13 November 2008]

Kirim email ke