Dalam sistem perpajakan, yang namanya "setan" tidak hanya dapat berwujud 
petugas pajak yang bernama Gayus, tapi dapat juga berwujud pengusaha 
berpenampilan necis.

Memang sistem yang sangat baik sekalipun tidak akan pernah dapat menjamin tidak 
adanya "setan" di dalam sistem tersebut. Namun sistem yang baik harus dapat 
menjamin bila ada "setan" maka ia akan segera dilempar ke "neraka".


========
Merampok Ribuan Triliun Melalui Transfer Pricing Pajak (I)
 
Seksi Transfer Pricing di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), baru dibentuk pada 
2007. Cikal bakalnya, pada 2005 ditemukan 750 PMA, mengaku merugi hari-hari. Di 
negeri jiran Singapura, ada aturan PMA setelah 5 tahun kudu untung. Boleh jadi 
pemerintah telmi. Pengadilan Pajak, di lantai 9 , Dhanapala, Depkeu, sepi 
jurnalis. Pada 2009 saja, Rp 1.300 triliun indikasi transfer pricing, para 
pelaku perusahaan besar. Ironisnya, negara bangga peroleh Rp 59,5 triliun dari 
TKI, sebagian besar dari TKW bercitra babu mudah digauli, sebagaimana Sketsa 
Persatuan Emirat Arab (PEA). Pun, negara berela hati mengisap candu rokok, 
menargetkan cukai Rp 59 triliun pada 2010 ini. Nun, di balik lain beribu-ribu 
triliun dana terhormat rakyat lenyap? Gayus, sih, urusan kecap.

HARI-HARI ini, urusan pajak berkibar-kibar. Gayus Tambunan, karyawan golongan 
IIIA di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bisa membeli rumah miliaran, memiliki 
rekening bank berisi miliaran. Khalayak mafhum, orang pajak demikian, banyak. 
Adalah Susno Duadji, polisi bintang tiga, mantan Kabareskrim, Polri, mengungkap 
masalah ini. Berita mencuat hangat. DJP dan polisi dihujat.

Sebelum kasus pajak Gayus membuncah, dua kali sudah, saya hadir di Pengadilan 
Pajak, di Gedung Dhanapala, Depkeu Latai 9, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, 
pada penghujung Februari dan awal Maret 2010. 

Keluar dari lift di lantai pengadilan pajak itu, 30-an kursi biru berjejer 
tersedia di kanan kiri. Di dua kali ke sana, tampak selalu disesaki tamu. 
Beberapa orang berdasi, satu dua berjas, membawa koper beroda. Tas besar berisi 
dokumen keuangan perusahaan itu, tampaknya diperlukan nanti di dalam ruang 
persidangan.

Saya bertanya ke seorang di seksi transfer pricing DJP, mengapa pengadilan 
pajak itu seakan sepi jurnalis, sepi liputan media?

“Media mungkin lebih tertarik dengan kasus di KPK, juga di pengadilan Tipikor 
yang meriah itu.”

Tipikor adalah tindak pidana korupsi.

Bukankah di pengadilan tindak pidana korupsi yang diadili urusan ratusan 
miliar, di sini kasus ribuan triliun?

“Itulah makanya, kami ajak Anda dari media alternatif ke sini,” tutur 
Simarmata, sebut saja demikian nama staf DJP itu.

Saya melongok ke bagian tengah ruangan di lantai itu. Ada seonggok pedagang 
koran dan majalah menepi ke dinding bagaikan tukang koran mojok di pinggir 
jalanan. Di sebelahnya penjual makanan ringan lengkap dengan aneka minuman. 
Pemandangan ini bagaikan sebuah warung kecil macam di kantin di belakang sebuah 
perkantoran. Bukan macam di lantai sembilan sebuah gedung. Agak tidak percaya, 
bahwa di gedung mentereng, berwibawa, berona kaki lima.

Di pojok lain sebuah lemari es berpendingin sesak dengan aneka minuman, mulai 
Pocari, Coca Cola hingga Teh botol, di jual di sana. Ada juga di meja pedagang 
beberapa biscuit dan kue kecil. Salah satu merek biskuit dijual di lantai 
sembilan di pengadilan pajak itu, produsennya, sedang disidang hari itu, entah 
untuk yang ke berapa kali.

Aneh memang kelakuan produsen makanan terkenal itu. Pendapatan ekspor mereka 
tak sampai netto 6%. Akan tetapi penjualan lokalnya memberikan keuntungan lebih 
dari 40%. Kendati pendapatan lokal 40%, ke segenap income itu menggelayut beban 
biaya seluruh opersional: termasuk biaya selisih kurs, bunga pinjaman di luar 
negeri, ekspatriat di luar negeri dan komponen lainnya. Judul PMA, mereka 
membawa uang sebagai modal investasi, lazim dari mereka menempatkan investasi 
itu sebagai modal pinjaman. Langgam beginilah yang kebanyakan yang disebut 
investor ke negeri ini.

Tak terkecuali produsen makan tadi. Di sisi lain, mereka jor-joran juga 
berpromosi di televisi. Dalam sehari di rentang mempromosikan produknya 
mencapai 20 spot iklan teve sehari, masing-masing satu spot 30 detik sekitar Rp 
17 juta, kalikan 6 jika promosi itu cumja di 6 teve nasional?

Sejenak seakan terjawab pertanyaan di dalam benak saya, mengapa media 
mainstream enggan menuliskan ini?

“Mereka takut tak kebagian iklan dari produsen makanan ini. Iklan tevenya 
banyak”

Maka ketika pukul 11.00, di penghujung Februari 2010 itu, saya terkesima di 
ruang sidang pengadilan, yang mengadili perusahaan KI, sebut saja begitu. Di 
ruang persidangan, direktur keuangan dan konsultan keuangan terkenal dari 
perusahaan itu hadir. Mereka duduk di sebelah kiri. Di bagian kanan para 
pejabat dan staf dari seksi transfer pricing DJP. Kursi di ruangan tersedia 
untuk sekitar 20 orang, tampak kurang. Saya duduk di bagian kelompok DJP. Hakim 
di depan bertiga.

Ruangan pengadilan pajak itu, tak sampai seluas lapangan basket. Wakil KI 
menjabarkan beragam teori bagaimana bisa urusan pembebanan biaya itu terjadi. 
Mereka berteori ini dan itu, kiri-kanan, mengacu ke adab perdagangan global 
dengan kalimat ilmiah sulit dicerna.

Padahal secara logika awami saya, segenap makanan yang diekspor KI, dipikul 
bebannya oleh bangsa Indonesia, oleh belulang konsumen Indonesia. Bisa Anda 
bayangkan dengan logika ini, makanan yang dilahap konsumen mereka di Eropa, 
atau bangsa lainnya, yang menjadi tujuan negara produknya, disubsidi biaya 
pembuatannya oleh orang Indonesia?

“Ini dilakukan sebagai akal-akalan membuat berimbangnya neraca, muaranya 
mengecilkan pajak, jika perlu minus, tidak bayar pajak,” ujar Simarmata.

Dan anehnya produk makanan KI dijual juga kepada pengunjung pengadilan pajak 
nan sesak. Tentulah sang pedagang di lantai sembilan gedung Depkeu itu tak 
paham, toh cuma berdagang memanfaatkan peluang, persis macam industri besar 
yang memanfaatkan peluang mengakali pajak seumur bangsa ini.

“Itu belum begitu kontras, ada minuman yang dipajang dijual di pojok sana, juga 
terindikasi perusahaannya melakukan praktek transfer pricing.”

Maksudnya minuman yang dijual oleh pedagang bagaikan warung kaki lima di lantai 
sembilan di pengadilan pajak itu. Saya terkesima. Ingin lebih jauh mengerti 
soal transfer pricing.

Mekanisme transfer pricing melalui pembentukan badan hukum Special Purpose 
Company (SPC) yg didirikan di tax heaven country atau negara bebas pajak. SPC 
berguna untuk memiliki dan atau menguasai saham badan hukum yang melakukan 
usaha di Indonesia.

Salah satu modus operandi transfer pricing menjual ke perusahaan afiliasi di 
luar negeri di negara bebas pajak tadi dengan harga di bawah harga pasar dalam 
negeri. Nah kelakuan menjual murah ke perusahaan afiliasi itu, sebagai contoh 
produk batubara. Batubara kalori 6000, satu ton di pasaran Rp 500 ribu, tetapi 
dijual ke perusahaan afiliasi Rp 200 ribu. 

Perusahaan afiliasi itu tentu masih satu pemiliknya. Otomatis perusahaan 
mendapatkan titipan uang atau untung bersembunyi Rp 300 ribu. Secara faktual 
dagangan mereka merambah ke pasar bebas, dengan harga pasar. Belum pula 
pembebanan gaji ekspatriat yang ditempatkan di luar negeri sebagai biaya dalam 
negeri Indonesia. 

Sakti bukan?

“Adakalanya melalui perusahaan afiliasi di luar negeri, menagih ke perusahaan 
induk di dalam negeri Indonesia, melalui invoice untuk sebuah transaksi yg tak 
pernah ada. Namun dilakukan pembayaran oleh perusahaan dari Indonesia,” ujar 
Simarmata.

Masih terkait ke dalam kelompok laku membuat neraca keuangan berimbang antara 
debet dan kredit itu, maka ada pula kelakuan perusahaan multinasional di sini 
yang untuk sebuah merek susu saja, harus mengeluarkan royalti lebih Rp 100 
miliar setahun. 

“Bagi kami ini juga sebuah temuan yang dibuat-buat angkanya. Ngono ya ngono, 
sing ngono ya ojo ngono,” ujar Simarmata.

Hari itu, menjadi pengalaman luar biasa bagi saya: membuka mata, betapa selama 
ini bangsa ini telah ditipu oleh Perusahaan Modal Asing (PMA), perusahaan 
multinasional, dan banyak lainnya, mengangkangi hak-hak publik di mana bangsa 
memiliki darah pembangunan untuk publik mendapatkan pelayanan lebih baik. Laku 
menghisap darah pembangunan melalui transfer pricing sudah macam air bah nan 
digerus dari sumber Indonesia, untuk dihisap hingga kering kerontang.

“Bisa Anda bayangkan pada 2009 saja indikasi praktek transfer pricing mencapai 
seribu tiga ratus triliun rupiah,” tutur Simarmata.

Maka melihat angka setahun demikian, tidak berlebihan bila saya menulis lema 
bahwa perampokan akan bangsa ini memang terjadi hingga sumsum dan belulang 
rakyat, melalui praktek penggelapan pajak.

Maka ketika saya mengetahui di undang-undang pajak, ada pasal yang mengatur 
bahwa penggelapan pajak bisa diselesaikan di luar pengadilan dengan denda 
maksimal 400% dari pajak yang digelapkan, maka saya menuliskan: inilah lagi 
produk melukai belulang rakyat, yang pernah dihasilkan anggota DPR dan 
pemerintah, sejak reformasi ini. UU yang menjadi satu-satunya di dunia 
menempatkan bahwa penggelapan pajak bukan kejahatan besar. 

Secara terang-terangan, ketika memandu topik transfer pricing di Presstalk QTV, 
saya tanyakan kepada Achsanul Kosasi, anggota Komisi XI DPR RI, apakah pembuat 
UU di DPR punya nurani?

“Memang undang-undang soal penyelesain penggelapan pajak itu melukai rasa 
keadilan. Kita akan coba merevisi undang-undang itu. Namun mungkin baru masuk 
dalam agenda di 2011,” jawab Achsanul Kosasi.

Bagaimana permainan pajak, terutama transfer pricing tak kian menggila. 

Kalaupun ada yang diliput media, hingga terbukti praktek transfer pricing macam 
yang dilakukan PT Asian Agri mencapai lebih Rp 1,3 triliun, sebagaimana pernah 
dimuat di laporan utama Tempo, hingga kini proses penyelesaian pengadilannya 
adem ayem. Wartawan yang menuliskan seperti Metta Dhamasaputra, sempat 
berurusan dengan aparat kepolisian. Ketika saya menjabat Ketua Umum 
PWI-Reformasi, kami memberikan perhargaan bagi Metta sebagai journalist of the 
year pada 2007.

Karenanya bagi saya, urusan transfer pricing dan undang-undang pajak, macam 
satu kesatuan paket. Ada indikasi kuat bahwa undang-undang itu dibuat karena 
intervensi tangan-tangan tambun yang selalu berbisnis bermodal minim, jika 
perlu modal nol bebek dibukukan, tetapi mengeruk laba tambun-menambun dari 
bangsa ini..

Urusan keuntungan sebesar-besarnya itu, secara massif dapat pula ditemui di 
pengadilan pajak terhadap sebuah perusahaan otomotif mapan. Pada kasusnya di 
2005, misalnya. Selama ini mereka selalu membuai bertameng menampung ribuan 
bahkan puluhan ribu karyawan. Tetapi tameng kemuliaan itu antara bumi dan 
langit jika Anda simak di pengadilan pajaknya. 

HARI ITU, saya datang ke Depkeu untuk melihat pengadilan pajak sebuah 
perusahaan otomotif itu. Sembari menunggu waktu, saya bertemu dengan beberapa 
orang dari seksi transfer pricing DJP, di kantin di bawah gedung. Secangkir 
kopi pahit menemani.

“Sebagaimana hari-hari lalu, sidang jarang ontime,” ujar Simarmata.

“Lebih parah, bukan saja tidak tepat waktu, wajib pajak kini seakan mengatur 
jadwal.”

“Kami ini padahal bagian dari Depkeu, tetapi kini sejak reformasi sudah macam 
tamu di Departemen sendiri.”

Maka ketika saya masuk ke ruangan sidang, seperti biasa, ruangan tak sampai 
seukuran lapangan basket itu, sesak. Kursi untuk tim DJP pun kurang. Harus ada 
tiga kursi tambahan dari luar, termasuk satu untuk saya.

Perusahaan otomotif itu pada 2005 laba kotor untuk salah satu produk 
terkenalnya sebut saja mobil V untuk lokal 2, 91 % saja. Sementara laba kotor 
penjualan ekspor – 7,98%. Untuk produk mobil Z, laba kotor lokal, 2, 58%, 
ekspor -14,36%. Melihat angka ini, agaknya timbul pertanyaan di benak Anda?

Pertama, jika ekspor hanya untuk mendapatkan laba bruto minus, dan minusnya tak 
berkira, untuk apa melakukan ekspor?

Kedua, jika memproduksi mobil hanya untuk untung bruto di 2% lebih, buat apa 
memproduksi dan menjual mobil di negeri ini, toh nanti jika di-netto-kan, 
pastilah minus juga keuntungannya. Padahal entah karena lobby produsen otomotif 
di negeri ini, sejak era 80-an hingga saya mengetikkan tulisan ini, program 
utama Departemen Perindustrian, menjual mobil dan motor sebanyak-banyak, tanpa 
peduli partumbuhan sarana jalan stagnan.

Dan hari itu, bagi saya membuncah lagi pertanyaan aneh lainnya. Bagaimana bisa 
kelompok usaha perusahaan otomotif itu, sebagaimana berita di koran, bahwa 
untung mereka pada 2009 mencapai Rp 20 triliun lebih, tetapi unit usaha 
produksi berminusan pendapatannya?

Nah, akhirnya saya menduga, bahwa jika untuk keperluan citra dan pasar di bursa 
saham, maka produsen merilis untung tentang kelompok usaha. Tetapi jika 
mengahadapi pajak, unit-unit usaha sekan tercerai berai mempermainkan angka 
pembukuan, termasuk melakukan indikasi praktek transfer pricing, macam laku 
yang sedang disidangkan untuk kelakuan mereka pada 2005 itu.

Jika seksi transfer pricing baru ada 2007 di DJP, Anda bisa bayangkan 
beribu-ribu triliun telah mengalir bagaikan bah bandang mengalir ke luar 
negeri, dilakukan banyak perusahaan di Indonesia. Di tahun 2005 juga, 
sebagaimana pernah di tulis detik.com, 750 PMA mengaku rugi berbisnis di 
Indonesia. Dan anehnya dari 750 PMA itu hingga kini masih saja bercokol di 
sini. Bukankah mereka ahirnya layak disebut penghisap belulang anak bangsa? 
Bukan guma daging yang mereka gigit, tetapi hingga sum-sum bangsa ini.

Dan jika pemimpin, opembuat undang-undang di bangsa ini, seakan ikut melegalkan 
proses penggelapan pajak tambun menambun tahun-menahun, maka saya tak punya 
lema lain selain menyebut mereka: biadab! Atau Anda punya diksi yang lebih 
halus?

Sebagai penutup tulisan pertama tentang transfer pricing ini, ketika, di 
televisi saya simak bahwa Satgas mafia peradilan meminta mengawasi pengadilan 
pajak: saya pribadi menuliskan: kudu, waqjib hukumnya! Mumpung sudah pula 
menggelinding masalahnya. Namun, urusan Gayus sih receh. Di sana lebih utama 
urusan ribuan triliun yang selama ini seakan menguap-uap, good bye dari bangsa 
ini. (bersambung)

 
Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com
 
Source: 
http://ekonomi.kompasiana.com/2010/03/29/sketsa-merampok-ribuan-triliun-melalui-transfer-pricing-pajak-i/ 
 


      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke