http://www.facebook.com/note.php?note_id=40692833713&ref=nf&;

Ulil Abshar Abdalla's Notes*Krisis ekonomi di US dan masa depan kapitalisme*
Today at 7:47am


Krisis ekonomi yang sekarang sedang menerjang AS mulai saya lihat dampaknya
secara riil dalam kehidupan sehari-hari, meskipun dampaknya tidak seburuk
pada saat depresi besar tahun 30an (sekurang-kurangnya kalau kita lihat
melalui fim "Cinderella Man"). Sejumlah toko gulung tikar di kota kecil
tempat saya tinggal saat ini. Beberapa teman merasakan betapa sulitnya
mencari pekerjaan sekarang ini. Pengalaman ini bahkan dialami oleh isteri
saya sendiri.

Harga tiket untuk menonton pertandingan "*post-season*" Red Sox di Fenway
Park merosot banyak, hampir mendekati "*face value*", artinya harga
banderol. Pada musim normal, harga tiket melambung jauh di atas harga
banderol. Walau pun harganya sudah didiskon lumayan besar mendekati harga
banderol, tetap saja tiket tak terjual habis.

Empat hari yang lalu, gubernur negara bagian Massachusetts (MA), Deval
Patrick, memutuskan untuk memotong bujet sebesar 1 milyar dolar, dan akan
memecat pegawai negeri sekitar 1000 orang. Negara bagian MA melakukan
pengetatan ikat penggang secara drastis. Salah satu pos yang mengalami
pemotongan bujet adalah program asuransi kesehatan yang dibiayai negara,
yaitu paket yang disebut MassHealth. Kedua anak saya menikmati program ini.
Saya benar-benar khawatir apakah pemotongan ini akan berdampak pada program
asuransi anak saya.

Salah satu perusahaan negara yang didirikan untuk memberi pekerjaan para
para tuna-netra akan ditutup dalam waktu tiga bulan mendatang, padahal
perusahaan ini sudah berdiri lebih dari 30 tahun. Sejumlah kaum tuna-netra
melakukan protes atas pemotongan bujet ini. Sementara itu biaya perawatan
taman kota juga mengalami pemotongan, sehingga kecantikan kota Boston
mungkin tidak bisa dirawat dengan intensitas sebagaimana berlaku selama ini.

Pasti masih banyak dampak lain yang tidak bisa saya lihat karena saya tak
langsung berkecimpung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika.
Sebagai seorang pelajar, saya hidup dalam sebuah "karantina sosial" yang
membuat saya tak bisa langsung merasakan denyut kehidupan sehari-hari
masyarakat Amerika. Saya hanya bisa memandang dari kejauhan.

Saya ingin melihat krisis ekonomi di Amerika saat ini dari sudut
non-ekonomi. Krisis ini sangat positif bagi pemerintah dan rakyat Amerika
sekaligus. Terus terang saya muak dengan pemerintahan Bush saat ini karena
alasan yang sangat sederhana: pemerintahan AS di bawah Bush saat ini tampak
sangat sombong. Calon Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Republik saat
ini, McCain dan Palin, mewarisi kesombongan yang sama. Krisis ini memberi
pelajaran kepada orang-orang Republik yang mind-set-nya saat ini cenderung
"militeristik" dan "sok jagoan" agar mereka tahu bagaimana bergaul dengan
bangsa-bangsa lain secara lebih sopan.

Yang memuakkan saya pada Partai Republik saat ini adalah kombinasi antara
"fiundamentalisme Kristen" dan cara berpikir yang "sok jagoan" di kalangan
mereka. Saya benar-benar tak betah mendengar retorika kampanye McCain-Palin
yang sombong dan sinis. Selama kampanye ini, saya baru merasakan betapa
masih mendalamnya rasisme dalam sebagian masyarakat Amerika. Yang paling
menyakitkan buat saya adalah sikap sebagian publik Amerika, terutama
kalangan Republik, yang menuduh Obama sebagai seorang Muslim. Seolah-olah
menjadi seorang Muslim adalah "cacat sosial" yang membuat seseorang tak
layak menjadi seorang presiden.

Sebagaimana diulas dengan baik oleh Fareed Zakaria dalam "*The Post-American
World*", tak bisa dipungkiri bahwa dominasi Amerika saat ini sedang
tersaingi oleh munculnya kekuatan-kekuatan lain, terutama di kawasan Asia (*the
rise of the rest*). Banyak pihak di Amerika yang tak siap menerima kenyataan
ini, terutama mereka yang memiliki mind-set sok jagoan itu. Krisis keuangan
dan pasar saham di Wall Street saat ini, di mata saya, dari satu segi sangat
baik, karena --semoga saja-- bisa menggembosi "*sense of invincibility*",
rasa tak pernah bisa dikalahkan.

Saat Roger Federer selama berbulan-bulan menjadi petenis nomor satu di dunia
yang susah dikalahkan, orang mengira bahwa Federer adalah "*invincible*".
Ketika dia kalah berturut-turut di tangan Rafael Nadal dalam dua kejuaraan
grand slam tahun ini, yaitu French Open dan Wimbledon, kita menjadi tahu
bahwa Federer ternyata bisa "dilukai", bisa dikalahkan. Ternyata dia bukan "
*invincible*". Selama ini, pemerintah AS, terutama kalangan neo-konservatif,
merasa bahwa negeri AS adalah seperti Roger Federer yang "*invincible*" itu.
Krisis ini datang untuk memberi pelajaran bahwa bahkan Federer pun mempunyai
kelemahannya sendiri, dan karena itu bisa dikalahkan.

Krisis ini, di mata saya, bukan menandakan bahwa kapitalisme akan bangkrut.
Kapitalisme mengalami krisis bukan sekali ini saja, tetapi sudah
berkali-kali. Dan selama ini kapitalisme bisa mengatasi krisis-krisis itu.
Keunggulan sistem kapitalisme dibanding dengan sistem lain adalah bahwa
sistem ini mengandung mekanisme internal untuk mengoreksi dirinya sendiri.

Krisis ini sama saja dengan sebuah "teka-teki" dalam kerangka "sains normal"
sebagaimana dipahami oleh Thomas Kuhn. Krisis ini tampaknya belum akan
sampai berujung pada "perubahan paradigma" (*paradigm shift*). Setiap sains
normal selalu akan berhadapan dengan apa yang oleh Thomas Kuhn disebut
sebagai "*contra-instances*" atau fenomena yang janggal. Biasanya sains
normal akan bisa mengatasi keadaan seperti ini, seraya melakukan penyesuaian
diri dengan data-data yang sudah berubah.

Tetapi, krisis ini, di mata saya, kian memperdalam keadaan yang sudah
berjalan saat ini, meskipun dengan sengaja hendak diabaikan oleh sebagian
orang Amerika sendiri, yaitu keadaan bahwa Amerika bukanlah negeri yang tak
bisa "terluka", bukan negeri yang tanpa "*Achilles' heel*". Kita semua tahu
bahwa tindakan Bush beberapa tahun lalu yang melakukan serangan atas Irak
secara unilateralistik telah membuat bangsa-bangsa di dunia marah bukan
main. Saat ini, reputasi "moral" negara Amerika merosot total di mata dunia
persis karena unilateralisme yang "sombong" itu. Krisis ini adalah positif
karena bisa menjadi semacam jarum yang akan menggembosi balon "*sense of
invincibility*" pemerintah Bush dan mind-set kaum Republikan dan
neo-konservatif saat ini.

Meskipun krisis ini tampaknya tak akan membawa suatu peralihan paradigma,
sebaliknya hanya merupakan teka-teki biasa dalam kerangka sains normal,
tetapi, sebagaimana ditulis dalam majalah The Economist edisi terakhir
("*Capitalism
at bay*"), memang ada suatu perkembangan baru yang memaksa banyak kalangan
untuk berpikir ulang tentang praktek kapitalisme saat ini.

Dua mazhab besar dalam kapitalisme saat ini bertengkar dalam hal bagaimana
memandang peran pemerintah dan pasar serta hubungan antara keduanya. Di satu
pihak, kita melihat mazhab yang memandang peran negara masih tetap relevan
bahkan diperlukan dalam kerangka mengoreksi pasar, sebagaimana kita lihat
dalam teori Keynes selama ini. Di pihak lain kita melihat mazhab lain yang
justru melihat peran pemerintah sebagai hal yang pada dirinya mengandung
unsur yang distortif dalam pasar dan karena itu berbahaya.

Krisis sekarang ini memperlihatkan bahwa pasar, sekurang-kurangnya pasar
keuangan sebagaimana diwakili oleh pasar saham di Wall Street, bukanlah
"sistem tertutup" yang bisa bekerja sendiri tanpa membutuhkan peran lembaga
publik di luar dirinya. Sebagaimana secara ironis ditulis oleh majalah The
Economist, "*In the short term defending capitalism means, paradoxically,
state intervention*".

Jangan salah paham: keduanya adalah mazhab dalam sistem kapitalisme, bukan
aliran di luar sistem itu. Saya kira, debat antara dua mazhab itu tak akan
pernah selesai dalam beberapa waktu mendatang, mungkin malah tak akan pernah
selesai. Krisis saat ini yang memaksa pemerintah federal AS turun tangan
untuk "menolong" bank-bank yang bangkrut selain merupakan sebuah "paradoks"
dalam kapitalisme tetapi juga pertanda bahwa peran negara tak pernah akan
bisa diabaikan.

Pasar, pada akhirnya, tidak bisa diandaikan "mengatur dirinya" sendiri
secara menyeluruh, sehingga menolak intervensi dari pihak lain. Sementara
peran negara kita andaikan sangat penting untuk meregulasi pasar yang mulai
mengandung praktek-praktek yang membahayakan publik, kita juga harus awas
terhadap peran negara itu sendiri. Peran negara tak bisa kita andaikan
sebagai sesuatu yang dengan sendirinya "baik" karena sudah pasti mewakili
kepentingan publik. Sebab apa yang disebut "kepentingan publik" yang
ditegakkan melalui lembaga negara itu bisa pelan-pelan menjadi selubung
untuk kepentingan sebuah "kroni" yang menyelundup sebagai "pembela
kepentingan publik" tetapi sejatinya melayani dirinya sendiri.

Ini semua menyadarkan kita semua pada kompleksitas sebuah anyaman yang
disebut sebagai masyarakat. Karena itulah dalam sosiologi, masyarakat biasa
disebut sebagai "fabric" atau tenunan, sebab tersusun dari sebuah anyaman
yang kompleks. Di masa mendatang, kita harus mulai membiasakan diri berpikir
dalam kerangka kompleksitas semacam ini.

*Ulil Abshar Abdalla*
 --

-----
save a tree.. please don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke