Heran...masih ada yang beranggapan bahwa dengan memborong habis edisi cetak
sebuah majalah maka akan dapat menghentikan peredaran sebuah berita. Padahal
isi beritanya sebetulnya bukan hal baru, hanya konfirmasi apa yang selama
ini sudah menjadi rahasia umum.


=============
Aliran Janggal Rekening Jenderal

MEMEGANG saku kemeja lengan panjang batiknya, Komisaris Jenderal Ito Sumardi
bertanya, "Berapa gaji jenderal bintang tiga seperti saya?" Sambil
tersenyum, Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia itu menjawab sendiri pertanyaannya, "Hanya sembilan juta rupiah,
sudah termasuk berbagai tunjangan."

Ito menambahkan, Kepala Kepolisian RI, pejabat tertinggi di institusi itu,
bergaji hanya sekitar Rp 23 juta, sudah termasuk aneka tunjangan. Buat biaya
penanganan kasus, ia melanjutkan, polisi hanya memperoleh anggaran Rp 20
juta per perkara. Setiap kepolisian sektor-unit kepolisian di tingkat
kecamatan-hanya diberi anggaran dua perkara per tahun. "Selebihnya harus
cari anggaran sendiri," kata Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana, Wakil Kepala
Badan Reserse Kriminal, yang mendampingi Ito ketika wawancara dengan Tempo,
Jumat pekan lalu.

Bukan sedang mengeluh, Ito menyampaikan "urusan dapur" pejabat kepolisian
itu buat menangkis tudingan terhadap sejumlah perwira yang diduga memiliki
rekening mencurigakan. Dokumen yang memuat lalu lintas keuangan petinggi
Polri itu beredar di tangan para perwira polisi dan jadi bahan gunjingan di
Trunojoyo-Markas Besar Kepolisian. Disebut-sebut dokumen itu adalah
ringkasan atas laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Soal ini, juru bicara Pusat Pelaporan, Natsir Kongah, tak
mau berkomentar. "Saya tidak bisa memberikan konfirmasi karena itu
kewenangan penyidik," katanya, Kamis pekan lalu.

Menurut salinan dokumen itu, enam perwira tinggi serta sejumlah perwira
menengah melakukan "transaksi yang tidak sesuai profil" alias melampaui gaji
bulanan mereka. Transaksi paling besar dilakukan pada rekening milik
Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Pada 2006, melalui rekening pribadi dan rekening anaknya, mantan ajudan
Presiden Megawati Soekarnoputri itu mendapatkan setoran Rp 54 miliar, antara
lain, dari sebuah perusahaan properti.

Daftar yang sama memuat, antara lain, nama Komisaris Jenderal Susno Duadji,
mantan Kepala Badan Reserse Kriminal yang kini ditahan sebagai tersangka
kasus korupsi. Ada pula Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur
Jenderal Mathius Salempang, mantan Kepala Korps Brigade Mobil Inspektur
Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Inspektur Jenderal Bambang Suparno,
Komisaris Besar Edward Syah Pernong, juga Komisaris Umar Leha.

Dimintai konfirmasi soal nama-nama jenderal polisi pemilik rekening itu, Ito
Sumardi secara tidak langsung membenarkan. Menurut dia, perwira-perwira itu
termasuk dalam daftar 21 perwira pemilik rekening mencurigakan. Ia
mengatakan telah menerima perintah Kepala Kepolisian Jenderal Bambang
Hendarso Danuri buat melakukan klarifikasi terhadap para perwira tersebut.
"Ini pembuktian terbalik, jadi menjadi beban mereka untuk menjelaskan
asal-usul transaksinya," katanya.

Cerita soal rekening janggal milik jenderal kepolisian juga pernah muncul
pada akhir Juli 2005. Ketika itu, 15 petinggi kepolisian diduga memiliki
rekening tak wajar. Termuat dalam dokumen yang diserahkan Kepala PPATK Yunus
Husein kepada Jenderal Sutanto, Kepala Kepolisian ketika itu, sejumlah
petinggi kepolisian diduga menerima aliran dana dalam jumlah besar dan dari
sumber yang tak wajar. Sebuah rekening bahkan dikabarkan menampung dana Rp
800 miliar. Namun kasus ini hilang dibawa angin.

***

BANGUNAN itu terlihat paling besar dibanding sekitarnya. Terletak di Jalan
M. Kahfi I, Jagakarsa, Jakarta Selatan, satu rumah utama, tiga rumah
tambahan, plus satu bangunan untuk petugas keamanan berdiri di tanah seluas
3.000 meter persegi.

Di halaman rumah terpajang ukiran berbentuk aksara "B" setinggi dua meter.
Air kolam renang yang cukup luas di halaman belakang berkilau memantulkan
sinar matahari. Para tetangga menyebut bangunan itu sebagai "rumah Pak
Kapolda". Inilah rumah Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, yang pernah
menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Badrodin, yang kini menjabat Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian,
adalah satu di antara sejumlah perwira yang melakukan transaksi
mencurigakan. Menurut sumber Tempo, Badrodin membeli polis asuransi PT
Prudential Life Assurance dengan premi Rp 1,1 miliar. Disebutkan dana tunai
pembayaran premi berasal dari pihak ketiga.

Menjadi Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Medan pada 2000 hingga 2003,
Badrodin juga menarik tunai Rp 700 juta di Bank Central Asia Kantor Cabang
Utama Bukit Barisan, Medan, pada Mei 2006. Transaksi ini, kata sumber tadi,
dinilai "tidak sesuai profilnya". Sebab, penghasilan Badrodin setiap bulan
berkisar Rp 22 juta, terdiri atas Rp 6 juta gaji, Rp 6 juta penghasilan dari
bisnis, dan Rp 10 juta dari kegiatan investasi.

Hasil analisis rekening Badrodin juga memuat adanya setoran dana rutin Rp 50
juta setiap bulan pada periode Januari 2004-Juli 2005. Ada pula setoran dana
Rp 120-343 juta. Dalam laporan itu disebutkan setoran-setoran tidak memiliki
underlying transaction yang jelas.

Dimintai konfirmasi, Badrodin Haiti mengaku tidak berwenang menjawab. "Itu
sepenuhnya kewenangan Kepala Badan Reserse Kriminal," katanya. Komisaris
Jenderal Ito Sumardi menyatakan timnya masih menunggu sejumlah dokumen
pelengkap dari Badrodin.

Keanehan juga terdapat pada rekening Wenas, Bambang Suparno, Mathius
Salempang, dan Susno Duadji serta sejumlah perwira menengah. Indikasi di
rekening Wenas muncul pada 2005, ketika ia menjabat Kepala Kepolisian Daerah
Kalimantan Timur. Pada 9 Agustus, isi rekening Wenas mengalir berpindah Rp
10,007 miliar ke rekening seseorang yang mengaku sebagai Direktur PT
Hinroyal Golden Wing. Sejak pertama kali membuka rekening, transaksi
perbankan Wenas hanya berupa transfer masuk dari pihak lain tanpa ada
transaksi usaha (lihat "Rekening dalam Sorotan").

"Profil" Wenas cukup mentereng. Rumahnya di Perumahan Areman Baru, Tugu,
mewah, di atas tanah seribu meter persegi. Sejak tiga tahun lalu, keluarga
Wenas pindah ke sebuah rumah di Perumahan Pesona Khayangan, Depok. Tempo,
yang menyambangi rumah Wenas di perumahan elite di Depok, Kamis pekan lalu,
melihat dua Toyota Alphard dan satu sedan Toyota Camry terparkir di halaman
rumah.

Kepada Tempo yang mewawancarainya, Wenas menolak tuduhan melakukan transaksi
ilegal melalui rekeningnya. "Semua itu tidak benar," katanya. "Dana itu
bukan milik saya."

Susno Duadji, yang getol membongkar praktek mafia hukum di institusinya,
ternyata juga memiliki transaksi mencurigakan. Mantan Kepala Badan Reserse
Kriminal Polri ini disebutkan menerima kiriman dana dari seorang pengacara
berinisial JS Rp 2,62 miliar. Ia juga menerima kiriman dana dari seorang
pengusaha berinisial AS dan IZM (Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bengkulu).
Selama periode 2007-2009, Susno telah menerima kiriman fulus dari tiga orang
itu Rp 3,97 miliar. Terkait dengan aliran dana ini, Markas Besar Polri telah
menetapkan JS sebagai tersangka.

Muhammad Assegaf, kuasa hukum Susno, menyatakan tidak pernah membahas soal
transaksi mencurigakan punya kliennya. Di berbagai kesempatan sebelum
ditahan, Susno berkali-kali membantah melakukan transaksi yang melanggar
aturan. "Semua transaksi itu perdata," katanya.

***

TAK hanya perwira tinggi, transaksi yang membuat mata terbelalak pun
dilakukan polisi dengan pangkat di bawahnya. Contohnya Umar Leha, terakhir
berpangkat komisaris besar dan pernah 12 tahun bertugas sebagai Kepala Seksi
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor Samsat Kepolisian Daerah Sulawesi
Selatan.

Menurut sumber Tempo, Umar pada Juni 2005 memiliki dana Rp 4,5 miliar. Duit
disimpan dalam bentuk reksa dana dan deposito di Bank Mandiri. Sumber dana,
menurut analisis transaksinya, diduga berasal dari setoran-setoran terkait
dengan pengurusan STNK.

Di Makassar, Umar memiliki dua rumah besar dan empat mobil. Dua tahun lalu
perwira pertama polisi ini mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Enrekang,
Sulawesi Selatan. Untuk itu, ia mengundurkan diri dari kepolisian dengan
pangkat terakhir ajun komisaris besar polisi. Pada pemilihan kepala daerah,
ia gagal.

Soal tudingan bermain saat masih berdinas, Umar membantahnya. Dia mengaku
tidak pernah mengelola langsung uang negara dari pengurusan STNK. "Apalagi
mengambilnya," ujarnya. "Saya benar-benar tidak berani menyalahgunakan
amanah itu."

Rekening Edward Syah Pernong, Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Semarang,
pun mengundang curiga. Menurut sumber Tempo, ketika menjabat Kepala
Kepolisian Resor Jakarta Barat, ia menerima setoran Rp 470 juta dan Rp 442
juta pada Agustus dan September 2005 dari Deutsche Bank. Pada 15 September
2005, dia menutup rekening dengan saldo terakhir Rp 5,39 miliar. Edward
mempersoalkan asal-usul data itu. "Data itu bohong. Itu fitnah," katanya
kepada wartawan Tempo, Sohirin, di Semarang, Kamis pekan lalu. Ito Sumardi
menyatakan tak mempersoalkan kekayaan Edward. "Dia raja Lampung, kebun
sawitnya luas," kata Ito.

Kendati dibantah dari pelbagai penjuru, anggota Komisi Kepolisian, Adnan
Pandupradja, menilai laporan dugaan transaksi mencurigakan harus mendapat
perhatian serius dari Kepala Kepolisian. Tanpa kejelasan pengusutan
rekening-rekening itu, kata dia, citra kepolisian akan semakin terpuruk.

Neta S. Pane, Ketua Indonesia Police Watch, mendorong upaya pembuktian
terbalik dari perwira yang memiliki rekening mencurigakan. Sebab, ia
menyatakan jenderal yang memiliki kekayaan melimpah patut dipertanyakan. Ia
menambahkan, "Jika hidup hanya dari gaji, sampai kiamat mereka tidak akan
pernah bisa kaya."

Source:
http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/06/28/LU/mbm.20100628.LU133957.id.html

=============
Relasi Mantan Ajudan

BELASAN pekerja bertopi proyek kuning hilir-mudik. Matahari mulai turun di
area pembangunan Apartemen Tamansari Semanggi, tepat di belakang bioskop
Planet Hollywood, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu.
Para pekerja sibuk membenahi jalur pedestrian. "Baru sebulan terakhir aktif
dikerjakan lagi," kata seorang pekerja tersenyum lebar.

Proyek ini mangkrak lebih dari lima tahun. Bernama awal Apartemen Hollywood
Residence, proyek itu tak kunjung selesai dibangun. Mei 2007, ratusan
pembelinya melapor ke polisi. Mereka menuduh PT Masindo Lintas Pratama,
pengembang proyek itu, menggelapkan dana Rp 200 miliar lebih. Ramai
diberitakan, Kepolisian Daerah Metro Jaya berjanji menelisik pengaduan itu.

Lama tak terdengar kabar, Masindo menjadi sumber berita baru. Pada November
2006, perusahaan itu dilaporkan menggelontorkan duit Rp 1,5 miliar ke
rekening Herviano Widyatama, putra Budi Gunawan, ketika itu Kepala Biro
Pembinaan Karyawan Kepolisian. Budi kini berpangkat inspektur jenderal dan
menduduki jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia.

Dana itu merupakan bagian dari total setoran senilai sekitar Rp 54 miliar ke
rekening Budi Gunawan dan anak lelakinya itu. Indonesia Corruption Watch
pekan lalu melaporkan transaksi mencurigakan ini ke Satuan Tugas
Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Akan kami
tunggu respons mereka sampai 30 hari ke depan," kata Emerson Yuntho, wakil
koordinator organisasi antikorupsi itu.

Budi Gunawan bukan satu-satunya perwira kepolisian pemilik rekening yang
mencurigakan. Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito
Sumardi, ada 21 perwira yang melakukan transaksi mencurigakan dan dilaporkan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ke Kepolisian. "Atas
perintah Kapolri, kami sudah bentuk tim khusus untuk menyelidiki ini," kata
Ito, Jumat pekan lalu.

Ito mengakui rekening Budi menjadi prioritas tim penyelidik. Sebab, menurut
dia, jumlahnya lebih besar dibanding rekening milik perwira lain. Selain
itu, dugaan transaksi di rekening Budi sudah beredar di masyarakat. Itu
sebabnya, ia menyatakan Budi merupakan perwira pertama yang dimintai
klarifikasi.

Selain Masindo, sebuah perusahaan lain bernama PT Sumber Jaya Indah
dilaporkan menyetorkan dana ke rekening Budi Gunawan. Melalui rekening anak
Budi, perusahaan itu menggelontorkan hampir Rp 10 miliar.

Sumber Jaya adalah sebuah perusahaan penambang timah yang menguasai 75
hektare lahan tambang di Bangka Belitung. Nama perusahaan sempat jadi berita
pada Desember 2007, ketika polisi setempat menyetop 13 truk yang mengangkut
timah ilegal milik perusahaan itu. "Saya ingat kasus itu. Penyidikan polisi
tidak jelas sampai sekarang," kata Yudho Marhoed, Koordinator Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia di Bangka Belitung, yang dihubungi pekan lalu.

Dari hasil penelusuran Tempo, kedua perusahaan yang disebut-sebut dalam
laporan analisis rekening Budi ini bukan perusahaan fiktif. Sumber Jaya
Indah, misalnya, terdaftar resmi di sebuah kantor notaris di Pangkalpinang,
sebagai perusahaan pertambangan dengan setoran modal awal Rp 1,5 miliar.

Demikian juga dengan Masindo, yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia sebagai badan usaha, dengan setoran modal awal Rp 50 miliar.
Ketika Tempo mengunjungi alamat kantor Masindo di gedung Sampoerna Strategic
Square, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, perusahaan ini tampaknya sudah
berganti alamat. "Sudah lama tidak di sini," kata petugas di gedung itu.

Selain dua perusahaan tersebut, ada sejumlah individu yang terdeteksi
mentransfer dana ke rekening Budi. Ada juga setoran tunai dalam jumlah
miliaran rupiah. Sejumlah sumber Tempo menjelaskan, posisi Budi sebagai
ajudan Megawati Soekarnoputri, wakil presiden dan kemudian presiden pada
1999-2004, berperan besar dalam penumpukan harta itu. "Ada banyak pengusaha
yang, ketika mau bertemu RI-1, sukarela memberi. Duit Rp 100-200 juta itu
kecil buat mereka," katanya.

Diterpa isu tak sedap, lingkaran dalam Budi Gunawan tak mau berpangku
tangan. Mereka balik menuding ada agenda tertentu di balik isu ini. "Mengapa
Budi Gunawan saja yang dibidik?" kata salah satu orang dekat mantan Kepala
Kepolisian Daerah Jambi itu. Dia juga mengaku heran kenapa kabar ini muncul
sekarang, ketika fulus yang diributkan, menurut ia, sudah tak ada lagi di
rekening Budi.

Dari semua dokumen laporan hasil analisis dari PPATK yang beredar di publik,
memang hanya laporan transaksi mencurigakan di rekening Budi Gunawan yang
detail dan runut, lengkap dengan kronologi dan data mengenai pihak-pihak
yang diduga terlibat. Orang dekat Budi menduga bosnya diincar karena dekat
dengan Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri Komisaris Jenderal Nanan
Soekarna. Nanan santer disebut-sebut sebagai salah satu kandidat Kepala
Kepolisian, menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang akan
mengakhiri masa tugasnya, Oktober nanti.

Budi Gunawan memilih tutup mulut. Ditemui Tempo di kantornya, Jumat pekan
lalu, dia hanya tersenyum dan berkomentar pendek, "Nanti saja, ya."
Belakangan, lewat seorang bawahannya, Budi Gunawan mengaku sudah menyerahkan
masalah ini ke Kepala Badan Reserse Kriminal. "Semua berita itu tidak
benar," katanya.

Komisaris Jenderal Ito Sumardi mengakui bahwa Budi Gunawan adalah perwira
pertama yang menjelaskan ihwal rekeningnya. "Masih ada bukti-bukti formal
yang belum lengkap, karena sudah lama kejadiannya. Tapi prinsipnya, ini
sudah clear," katanya. Ditanya soal dua perusahaan penyetor dana yang punya
kasus di kepolisian, Ito angkat tangan, "Semua sudah dimintai keterangan.
Saya tidak bisa cerita detail karena ini merupakan penyidikan."

Sebagai bekas ajudan presiden, menurut Ito, Budi Gunawan memiliki hubungan
luas. Ia menduga para kolega Budi bisa saja memberikan hadiah. Karena tak
berkaitan dengan perkara, menurut dia, hal itu tidak ada masalah. Ia lalu
menyebutkan "kebaikan" Budi Gunawan. "Anda lihat, gedung Divisi Profesi kini
sangat bagus, jauh lebih bagus daripada kantor saya," kata Ito. "Anda tahu
siapa yang membangun? Pak Budi Gunawan, dengan dana pribadi."

Source:
http://majalah.tempointeraktif.com//id/arsip/2010/06/28/LU/mbm.20100628.LU133958.id.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke