tulisan bung Aco Patunru di Tempo
tapi saya ambil dari koran-digital.

maaf OOT, kalo ini film silat, judulnya keren juga nih: "dimming sun,
writhing dragon"
setidaknya begitulah menurut google translate ;p

*BR, ari.ams*


---------- Pesan terusan ----------
Tanggal: 30 Agustus 2010 09.39
Subjek: Arianto A. Patunru: Matahari Meredup, Naga Menggeliat



   - 30 Agustus 2010
    Matahari Meredup, Naga Menggeliat
   
<http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/30/KL/mbm.20100830.KL134479.id.html#>

   *Arianto A. Patunru*
   *Direktur LPEM-FEUI*

   PADA Juni lalu, sebuah stiker yang menampilkan aktris cantik Koyuki Kato
   (Taka dalam Last Samurai) terlihat di kaca belakang taksi-taksi di Tokyo. Ia
   berpromosi: "Laki-laki yang memiliki JGB disenangi para wanita." JGB adalah
   Japanese government bond alias surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah.
   Iklan seksis itu adalah bagian dari upaya pemerintah menjaring dana guna
   membiayai perekonomian yang sedang lesu.

   Jepang memang sedang sendu. Masalah utamanya saat ini adalah deflasi,
   utang, dan keuzuran. Kelebihan kapasitas (perusahaan tak berminat investasi)
   serta permintaan yang loyo (rumah tangga tak suka berbelanja) menyebabkan
   ekonomi nyaris membeku: pertumbuhan rendah, dan harga-harga jatuh. Tapi
   utang telanjur besar, hampir dua kali PDB, dan naik 80 persen dalam sepuluh
   tahun. Walau sebagian besar datang dari investor Jepang sendiri, rasio utang
   pemerintah Jepang adalah yang terbesar di antara negara-negara kaya.

   Dikhawatirkan, ketergantungan yang begitu besar pada utang akan
   memenjarakan perekonomian. Kejadian di Yunani belum lama ini ikut menambah
   mimpi buruk. Celakanya, pajak yang susah naik serta kebijakan moneter yang
   mandul memaksa Jepang terus mengandalkan utang.

   Iklan Kato adalah cermin betapa negara membutuhkan tambahan utang, bahkan
   dari penduduknya sendiri. Penduduk Jepang, sementara itu, sedang menua dan
   menciut. Jumlah penduduk usia lanjut semakin besar, kelompok usia produktif
   menyusut dengan cepat, dan pasangan muda tidak berminat mempunyai anak.
   Tiba-tiba masa depan negara ini menjadi tampak redup.

   Ketiga masalah itu saja sudah cukup memudarkan pamor Jepang. Ditambah
   lagi, pergolakan politik dalam negeri tidak membantu banyak. Dalam 20 tahun,
   rakyat Jepang mengalami 14 pergantian perdana menteri. Terakhir, harapan
   perubahan rakyat dengan pergantian dari Partai Demokrat Liberal (LDP) ke
   Partai Demokrat Jepang (DPJ) terbukti terlalu tinggi. Dua dekade "hilang",
   diganti catatan yang kurang manis: pertumbuhan yang stagnan serta
   ketimpangan yang meningkat. Supremasi Jepang di dunia berangsur pudar. Poros
   Tokyo-Washington, DC, mulai mengendur.

   Dua ribu kilometer dari Tokyo, Beijing menggeliat. Cina baru saja
   menyalip Jepang sebagai negara ekonomi terbesar setelah AS. Dalam sepuluh
   tahun, Cina mengambil alih posisi Jepang sebagai mitra dagang utama
   negara-negara Asia. Pada 1995, tujuan ekspor utama barang-barang
   intermediate Asia adalah Jepang dan AS, sedangkan pada 2005 telah berubah
   menjadi Cina dan AS, dengan porsi yang lebih besar pada Cina. Cina juga
   salah satu pengekspor utama di tingkat global. Pada 2008, 9 persen ekspor
   barang nonmigas dunia datang dari Cina, kedua setelah Jerman, dan di atas AS
   serta Jepang.

   Yang menarik, ekspor Cina mengalami perubahan komposisi yang cukup
   signifikan. Dominasi tekstil, kulit, dan sepatu 34 persen total ekspor pada
   1995 turun menjadi hanya 17 persen pada 2006. Sedangkan ekspor radio,
   televisi, serta alat telekomunikasi mereka naik dari 9 persen menjadi 19
   persen pada periode yang sama. Di lain pihak, komposisi ekspor Jepang tidak
   banyak berubah. Pada 1995, 19 persen ekspor mereka adalah radio, televisi,
   dan alat komunikasi, serta 17 persen kendaraan bermotor. Pada 2006,
   komposisinya masing-masing 15 persen dan 19 persen (Fukasaku, 2010). Ini
   menunjukkan Cina berangsur menaiki tangga teknologi produksi, sementara
   Jepang yang lebih dulu maju justru tak banyak berubah.

   Bukan itu saja. Saat ini sedang terjadi proses integrasi perdagangan yang
   dinamis di Asia Timur. Peran Cina tampak meningkat tajam: pangsanya dalam
   impor Asia Timur naik hampir tiga kali lipat dari 1985 ke 2006, yaitu 6
   persen ke 16 persen. Pangsanya sebagai tujuan ekspor Asia Timur juga naik
   dari 5 persen ke 13 persen. Sementara itu, porsi Jepang dalam impor Asia
   Timur turun dari 26 persen ke 14 persen, dan ekspor turun dari 17 persen ke
   9 persen (Fung et al. 2010).

   Tapi, apakah popularitas Cina memang sedang meningkat? Sebuah survei yang
   dirilis pada Mei lalu oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 85 persen
   orang Nigeria berpendapat positif tentang Cina pada 2009, dibanding hanya 79
   persen pada 2008. (Saat ini Cina sedang giat-giatnya berinvestasi di
   negara-negara Afrika). Pendapat orang Amerika juga membaik, dari 39 persen
   ke 50 persen, sementara opini dari Indonesia cukup stabil di sekitar 60
   persen. Pendapat orang Jepang sendiri, walaupun naik, persentasenya kecil,
   yaitu 14 persen pada 2008 dan 26 persen pada 2009.

   Dan supremasi itu bukan sekadar opini. Pada Agustus tahun lalu, majalah
   The Economist mengeluarkan daftar perusahaan terbesar dunia. Tempat teratas
   diduduki oleh perusahaan Cina, PetroChina, dengan kapitalisasi pasar
   mendekati US$ 400 miliar, lebih tinggi daripada ExxonMobil (AS, US$ 350
   miliar). Di urutan ketiga lagi-lagi ada perusahaan Cina, Industrial &
   Commercial Bank of China (sekitar US$ 250 miliar).

   Tentu, Cina pun tak bebas masalah. Hubungan benci-rindu antara dolar AS
   dan yuan Cina acap menimbulkan reaksi internasional, menempatkan Cina dalam
   posisi yang sulit. Di satu pihak, mereka dituduh bertanggung jawab atas
   ketakseimbangan global. Tapi, jika mereka melepas yuan, ada risiko kemacetan
   penciptaan lapangan kerja. Ekonom Yiping Huang mengatakan bahwa memang yuan
   tak bisa lagi dipertahankan kaku: distorsinya bisa menjadi bom waktu. Juga,
   yuan yang dipaksa lemah berarti Cina menyubsidi konsumsi negara lain. Namun
   akan sulit membuatnya fleksibel dalam waktu singkat.

   Mengikuti Jepang, Cina juga mulai mengalami penuaan penduduk (ageing).
   Saat ini Cina masih menikmati bonus demografi. Diperkirakan, pada 2015
   jumlah penduduk usia kerja di Cina mencapai 993 juta. Namun jumlah penduduk
   berusia 15-24 tahun dalam angkatan kerja menurun 30 persen. Sementara itu,
   pekerja yang berusia lebih tua enggan bermigrasi ke daerah pantai yang
   produktif. Pada 2040 diperkirakan umur median penduduk Cina adalah 44,
   sementara India, pesaing utamanya dalam demografi, 35.

   Lantas bagaimana Indonesia membaca cerita Cina-Jepang ini? Setidaknya ada
   tiga dimensi yang berkaitan: ekonomi, politik, dan demografi. Pertama, dalam
   hal ekonomi, kedua negara tersebut masih sangat penting bagi Indonesia. Dari
   ekspor Indonesia ke Asia, 19 persen ke Jepang, dan 14 persen ke Cina.
   Sementara itu, 17 persen dari total impor Indonesia berasal dari Cina, dan
   15 persen dari Jepang. Namun yang lebih penting adalah fakta bahwa Indonesia
   mau tak mau harus ikut dalam konstelasi jejaring produksi regional.
   Perdagangan intraregional di Asia saat ini sudah hampir mencapai 60 persen,
   dibanding kurang dari 50 persen dua dekade lalu.

   Jejaring yang sarat perdagangan barang antara (parts and components)
   sedang bergerak cepat, dengan Cina sebagai lokomotif. Saat ini, Indonesia
   masih tertinggal: porsi barang antara dalam perdagangan Indonesia dengan
   Asia Timur baru sekitar 11 persen, sementara Thailand, Malaysia, dan
   Filipina sudah sekitar 19 persen, 23 persen, dan 29 persen (Basri dan
   Rahardja, 2010). Penyebab utama lambannya Indonesia merespons dinamika
   perdagangan regional adalah infrastruktur yang lemah serta biaya logistik
   yang tinggi.

   Kedua, Indonesia perlu meningkatkan peran aktif dalam forum regional dan
   global. Dinamika Asia Timur telah membuat wilayah ini menjadi perhatian
   utama dunia. Maka hubungan Indonesia dengan aktor utama seperti Cina dan
   Jepang menjadi makin penting. Apalagi dengan potensi ketegangan di antara
   kedua raksasa ekonomi tersebut. Dalam sebuah forum di Beijing, Oktober 2009,
   ada debat keras antara delegasi Cina dan Jepang.

   Cina menginginkan terciptanya ASEAN+3 (ASEAN plus Cina, Jepang, dan Korea
   Selatan), sementara Jepang cenderung pada ASEAN+6 (ditambah lagi dengan
   Australia, India, dan Selandia Baru). Jepang ingin mengajak Australia,
   India, dan Selandia Baru karena merasa Cina akan terlalu dominan dalam
   ASEAN+3, sementara Cina tampak khawatir sektor pertanian mereka terancam
   Australia. Apa pun jadinya, Indonesia perlu aktif mengantisipasi. Ini
   berlaku juga untuk proposal lain seperti Free Trade Area for Asia Pacific
   (FTAAP) dan Asia Pacific Community (APC), di samping forum yang sudah
   berjalan seperti APEC dan G-20.

   Ketiga, masalah penuaan demografi di Jepang (dan berikutnya Cina)
   sebenarnya menciptakan kesempatan bagi pekerja Indonesia. Indonesia akan
   menikmati bonus demografi pada tahun 2020-30, di mana penduduk usia
   produktifnya bisa mencapai 70 persen. Jika mobilitas pekerja antarnegara
   semakin tinggi, wajar bila pekerja produktif Indonesia masuk ke
   negara-negara yang mengalami ageing problem.

   Sebagai catatan terakhir, tulisan ini bukan ajakan keberpihakan kepada
   salah satu: Cina atau Jepang. Faktanya, kedua negara tersebut penting bagi
   Indonesia, dan peran mereka tak mungkin dinafikan. Jepang adalah matahari.
   Tapi matahari itu kini sedang redup. Cina, di lain pihak, adalah naga yang
   kini menggeliat. Seperti lakon hari dan malam, matahari akan terbit lagi.
   Sangat mungkin, akan datang pertunjukan barongsai dengan terang matahari.
   Dan kita tentu tak mau hanya menjadi penonton di bangku belakang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/30/KL/mbm.20100830.KL134479.id.html

--

-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke