[BUKU INCARAN]

Kreatiflah dengan Alasan Kuat
---Anwar Holid

Oh My Goodness, Buku Pintar Seorang Creative Junkies 
Penulis: Yoris Sebastian 
Penerbit: GPU, 2010
Ukuran: 14 x 21 cm  
Harga: Rp 68.000,-  
ISBN: 978-979-22-5526-3


Yoris Sebastian menggabungkan pengetahuan dan pengalaman kreatifnya dengan 
berbagai contoh bahwa kreativitas bisa berupa apa saja yang memungkinkan; baik 
berupa pengembangan dari hal yang sudah ada maupun berawal dari sesuatu yang 
dianggap mustahil karena aneh dan menentang arus---antara lain berupa penemuan, 
buah dari penelitian. Kita bisa belajar banyak tentang berpikir dan bertindak 
kreatif maupun menemukan ide-ide segar baik untuk bekerja dan menambah wawasan 
dari buku ini. 

Landasan isi buku ialah pengalaman kerja dan kehidupan penulisnya sebagai orang 
kreatif. Yoris menerima penghargaan tahunan International Young Creative 
Entrepreneur of the Year (2006) dari British Council. Dia menjadi berita karena 
merupakan General Manager Hard Rock Cafe termuda di Asia saat berusia 26 tahun 
(GM termuda kedua di Dunia). Di sini dia sukses menyelenggarakan acara yang 
secara umum diakui sebagai mahakaryanya, yaitu I Like Monday. Yoris menerima 
berbagai penghargaan terutama di bidang advertising dan entertainment. Kini dia 
adalah CEO OMG Consulting, yang kerap mampu memaksa mulut para klien menganga 
dan berkata 'oh my goodness' atas usulan-usulan mereka.

Buku ini mula-mula menerangkan kreativitas itu apa, seperti apa, bagaimana ia 
berperan dalam kehidupan maupun karir seseorang, cara menggali dan 
memanfaatkannya, mengasah maupun menambahnya, mengadopsi kreativitas pihak lain 
dan mengolah untuk kepentingan sendiri, lantas mengambil keputusan kreatif 
secara terkontrol tanpa lupa mempertimbangkan risiko. Dia banyak mengajukan 
contoh betapa kreativitas itu sangat luas dan mengejutkan, mulai dari pesulap 
hingga pebisnis sukses kelas nasional dan dunia.

Yoris menyebut dirinya sebagai 'creative junkie' (kecanduan oleh hal kreatif). 
Dia menerapkan kreativitas dalam banyak detail kehidupan, misal sengaja 
mengenakan arloji di tangan kanan, berlawanan dengan kebiasaan umum yang 
mengenakan di tangan kiri. Buku ini pun menanggung akibat salah satu keputusan 
kreatifnya, yaitu sengaja tanpa nomor halaman. Kalau tanpa nomor halaman, 
lantas kenapa buku ini sampai perlu dibagi tiga 'part' dalam sembilan 
'chapter'? Bukankah pembaca bakal kesulitan langsung menuju masing-masing 
topik? Ini memberi peluang bahwa pembaca bisa membaca buku dari mana saja tanpa 
perlu khawatir akan kehilangan keutuhan dan kepaduan akan pemikirannya.

Yoris merupakan contoh sempurna orang Indonesia yang gemar mencampuradukkan 
bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris secara bersamaan baik lewat kosakata, 
istilah, maupun kalimat. Jangankan untuk ekspresi, dia sengaja menggunakan or 
untuk ganti atau. Isi buku ini pun sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, 
begitu juga babnya. Dia menggunakan 'chapter' alih-alih bab. Atau menulis 
begini: as easy as follow someone kreatif di twitter! Kenapa dia tidak sekalian 
menulis dengan ungkapan inggris? Oh my goodness, what a decision! Jadi jangan 
berharap banyak pada mode penyuntingan buku ini, terutama menyangkut 
copyediting. Buku ini sembarangan dan inkonsisten menggunakannya, misal 
penggunaan huruf kapital, italic, dan bold yang suka-suka. Dia menulis 
“Singapore” dan “tau” alih-alih “Singapura” dan “tahu.” Ada poin-poin yang 
ditulis italic, tapi di tempat lain normal. Di satu tempat nama majalah italic, 
di lain tempat tegak, sementara judul film
 dibiarkan tegak. Di halaman tertentu waffle ditulis tegak, di halaman lain 
italic---meski hanya penulis yang tahu apa itu artinya. Sementara sejumlah 
kosakata asing yang rasanya telah biasa kita dengar dan tahu artinya malah 
dicetak italic, seperti workshop, style, fresh, skill. Namun toh dia masih 
selip menulis "Project Manhattan" dan "Dead Poet's Society", bukan "Manhattan 
Project" atau "Dead Poets Society." Salah eja di halaman copyright buku ini 
pasti terjadi karena teledor dan tetap sulit diterima bila dinilai sebagai 
keputusan kreatif. 

Dengan tegas Yoris mengesankan bahwa kreativitas merupakan alat untuk mencapai 
keberhasilan. Kreatif idealnya berbanding lurus dengan kesuksesan dan 
kemakmuran. Semakin kreatif seseorang, akan semakin sukses dia. Anggapan ini 
jelas merupakan buah dari pandangan umum bahwa semua orang sekarang memang 
ingin tambah sukses dan makmur. Yoris mengingatkan jangan sampai kreatif 
semata-mata karena ingin beda. Kreatiflah dengan alasan kuat. Jangan sampai 
kita rugi hanya karena ingin disebut kreatif. Maka menurut Yoris kreatif yang 
gagal dijual itu sia-sia. Di sinilah pentingnya memperhatikan pemikiran dia 
mengenai thinking outside the box, execute inside the box---yakni agar orang 
tidak semata-mata aneh dan nyeleneh, tapi juga sungguh-sungguh mengantisipasi 
dan memperkirakan risiko seteliti mungkin dari kreativitasnya. Itu pentingnya 
memulai kreativitas dari hal kecil. Bila hanya bikin heboh tapi tak berdampak 
pada penjualan dan pendapatan, itu kreativitas yang
 buruk dan merugikan. Dia pernah mengalami hal semacam itu. Karena itu dia 
berprinsip execute inside the box, artinya bertindak sesuai keterbatasan di 
dalam ruang kreatif yang relevan. Intinya, bermain aman. Tapi kalau yakin 
berani ambil risiko lebih besar dengan harapan ledakan hasil yang jauh lebih 
besar lagi, dia mengajukan prinsip perbandingan 70:20:10 sebagai landasan untuk 
memaksimalkan hasil. 

Kita bisa salut dan bertanya tentang kreativitas pada Yoris. Misal apa yang 
akan terjadi bila kreativitas sama sekali tak didukung dana, perusahaan, atau 
lingkaran terdekat pencetusnya. Akan sia-siakah kreativitas itu? Kasus Vincent 
van Gogh mungkin menarik kita renungkan. Semasa hidup, dia melukis terutama 
menggunakan warna-warna cerah dan sapuan kuas yang tebal, kuat, dan kasar. Ini 
bertentangan dengan kebiasaan perupa di zamannya, meski jelas inovatif dan 
berani. Hasilnya? Karyanya gagal total menarik perhatian masyarakat umum semasa 
dirinya hidup---terutama kalangan patron seniman. Lukisannya hanya laku 1-2. 
Hidupnya hina dina, disepelekan, ricuh dengan teman, dan karyanya diabaikan. 
Karya kreatifnya gagal memberi efek positif baik pada dirinya, kesuksesan, 
maupun masyarakat di zaman itu. Kondisi itu membuatnya frustrasi. Namun 
bertahun-tahun kemudian setelah kematiannya yang tragis, karyanya baru dinilai 
hebat dan dunia mengakui dirinya sebagai
 pelopor aliran ekspresionisme. Karya-karyanya kemudian bernilai luar biasa 
mahal dan diburu banyak orang. Tapi semua sudah terlalu terlambat bermanfaat 
untuk dirinya sendiri. Ini paradoks mengerikan. 

Orang seperti van Gogh lebih mudah dianggap sebagai misfit (salah tempat) 
daripada kreatif. Ini membuktikan bahwa sebagian dari kreativitas gagal dan 
berpotensi merugi secara besar-besaran. Fakta tersingkirnya laserdisk, kamera 
Polaroid, disket, video Betamax, juga Netscape Navigator yang awalnya dinilai 
lebih inovatif dan berkualitas namun akhirnya tersingkir baik karena 
ketinggalan zaman, ribet, atau kalah oleh penemuan baru yang lebih massif dan 
diterima orang kebanyakan menunjukkan ada sejumlah faktor kenapa suatu produk 
kreativitas bisa sukses dan lainnya gagal, selain semata-mata soal persaingan 
bisnis yang kejam. Sayang aspek ini tak dibahas Yoris. 

Lepas dari itu, Oh My Goodness tetap menarik karena bisa membangkitkan saraf 
kreatif pembacanya. Penyajiannya yang informal, berbagai teknik mewujudkan 
kreativitas, juga ajakan untuk tetap semangat belajar menimba ilmu pengetahuan 
dari berbagai sumber agar lebih menyuburkan kreativitas merupakan sisi menarik 
buku ini yang pantas dihargai, apalagi Indonesia sekarang tengah menggalakkan 
jargon “industri kreatif.”[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Buku barunya ialah Keep Your 
Hand Moving (GPU, 2010). Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 
40141.


      

Kirim email ke