[BUKU INCARAN]

Menara Penopang Asa
--Anwar Holid

Negeri 5 Menara 
Penulis: A. Fuadi 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: xiii + 416 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6

        - Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di 
hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala.
        - Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung
        - Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu?
        - Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu 
enggak pantas direkomendasikan.
        - Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya 
enggak ada saja.
        - Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin 
meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau 
fiksi islam kontemporer.
        - Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara?
        - Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan 
mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus 
semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini.
        - Wah, Laskar Pelangi banget dong!
        - Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai.
        - Terus kelemahannya apa?
        - Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya 
biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel 
itu sejak masih berupa draft.
        - Apa maksud kamu dengan "kekurangan passion"?
        - Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia 
kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara 
bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan 
pada salah satu tokohnya.
        - Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama.
        - Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk 
mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. 
Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh 
drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah 
anggapnya sendiri.
        - Memang novel ini cerita soal apa?
        - Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. 
Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari 
mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi 
insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU 
negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, 
dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya 
dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti 
apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka.
        - Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya?
        - Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku 
sedikit ketus.

Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel 
ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan 
tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel 
tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan 
tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya "dalam banget." Untuk drama, 
pertanyaan utama mereka ialah "ceritanya apa?" Mungkin aku salah ketemu orang.

Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu 
rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau 
keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung 
sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak 
pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai 
novel motivasional-pendidikan yang inspiratif.

Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap "sastra 
pesantren" untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah 
satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen 
Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini 
membetot lagi genre "fiksi Islam" ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara 
ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini 
wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat 
itu ada dalam adagium "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh, akan 
berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski 
begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang 
membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati 
siapapun. 

Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan 
novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan "fiksi Islam" yang tampak 
konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap 
positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren 
sebagai tempat unggul, menghalau citra pesantren sebagai sarang terorisme; (2) 
tema pendidikan sedang laris di pasar buku.

Citra pesantren kini memang terpuruk. Ia bukan cuma dituduh sebagai sarang 
pelatihan terorisme dan akar kekerasan sekelompok umat Islam berhaluan ekstrem, 
sistem pendidikan Indonesia pun menganaktirikannya. Asrori S. Karni, seorang 
wartawan, bahkan berani menyebut bahwa perlakukan pemerintah Indonesia terhadap 
sekolah berbasis agama boleh dibilang diskriminatif dan pilih kasih. Ini 
ironik. Ketika bangsa Indonesia kerap bangga tampak sebagai bangsa religius, 
keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan agama justru amat rendah. Umat 
Islam pun sekarang posisinya terpojok. Pada Ramadhan 1430 H polisi Indonesia 
bahkan usul agar khutbah tarawih diawasi. Ini konyol sekali dibandingkan dengan 
sumbangsih umat Islam terhadap peradaban Indonesia. Rupanya polisi siap 
mencurigai bangsa sendiri. Paranoid. 

Sekarang, lihatlah Pondok Madani, pesantren tempat kisah ini berlangsung. A. 
Fuadi membuka gerbang pesantren selebar mungkin, membeberkan isinya, dan 
mengisahkan kejadian di sana dengan jujur. Tak ada pelajaran mengokang senjata 
di sini, tak ada latihan keterampilan merakit bom, juga tak ada cuci otak 
tentang jihad dalam konotasi menghancurkan lawan atau intoleran terhadap 
keyakinan lain. Jihad di sini ialah "bersungguh-sungguh dalam berusaha," 
diajarkan kepada ribuan murid berusia remaja. Santrinya bukan hanya belajar 
agama secara sempit, melainkan dinamik dan hidup, langsung berhadap-hadapan 
dengan realitas sosial. Negeri 5 Menara niscaya berhasil mengembalikan citra 
ideal pesantren, apalagi mereka mengelolanya secara swasembada dan profesional. 
Mereka melatih semua orang di dalamnya menjadi pribadi yang kuat sekaligus 
berakal sehat dalam kehidupan sosial. Pondok Madani merupakan perwujudan 
sekolah asrama yang ideal dan mentereng, kurikulumnya pun
 lengkap. Sisi fisik, mental, dan religiositas anak didiknya diperhatikan 
secara seimbang. Pondok Madani persis memenuhi syarat sebagai pesantren ideal.

Meski faktanya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan setelah 
belajar informal di surau, sebagian orang ternyata masih menganggap pesantren 
itu misterius. Ini tergambar dari pernyataan Andy F. Noya, host acara Kick Andy 
dan pemimpin perusahaan media. Komentarnya: "Jarang ada novel yang bercerita 
tentang apa yang terjadi di balik sebuah pondok yang penuh teka-teki." 
Pernyataan ini terdengar absurd bagi seorang jurnalis senior yang pernah 
mewawancarai Aa Gym dan Gus Dur. Bukankah sudah begitu banyak alumnus pesantren 
yang terkemuka dan menonjol di negeri ini? Bukankah hampir semua kiayi haji 
yang terkemuka pasti sekalian mengelola pesantren? Bisa jadi kabut yang 
menutupi citra pesantren sekarang ialah gencarnya berita buruk dari berbagai 
media informasi. Keasingan ini diperkuat oleh catatan kaki novel ini, misalnya 
dengan merasa perlu menerangkan arti kata "ustad."

Hal mencolok lain dari novel ini ialah banyaknya salah eja, sampai mudah 
menimbulkan prasangka bahwa naskah ini tidak diproof reading. Kesalahan mulai 
dari nama orang, istilah, penggunaan huruf kapital dan tanda baca, bahkan 
kata-kata itu sendiri. Contoh: Goenawan Muhammad (mestinya Goenawan Mohamad), 
Amstrong (mestinya Armstrong), tasafuw (mestinya tasawuf---sulit memaklumi 
ejaan seperti ini lolos mengingat "tasafuw" tak berarti apa-apa), kota kata 
(mestinya kosakata), yg (masih berupa singkatan).

Menurut berita, sampai November 2009 Negeri 5 Menara sudah terjual lebih dari 
15000 kopi. Ini merupakan bestseller nasional yang mengejutkan, sungguh luar 
biasa bagi seorang novelis pendatang baru. Para pembaca awal novel ini sangat 
potensial menjadi captive market sekuelnya: akan ada cerita apa pada keenam 
anggota Sahibul Menara ini? Mereka juga pantas berharap dan memberi saran agar 
jilid kedua dan ketiganya nanti hadir lebih hebat dan dalam.[]

Anwar Holid, alumnus pesantren kilat Ramadhan Daarut Tauhid, Bandung. Bekerja 
sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://negeri5menara.com

A. Fuadi ikutan Facebook dan ada halaman Negeri 5 Menara di sana. Berkawanlah 
dengan dia.
_________________________________________
Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke