MENCAPAI PELAJARAN YANG TERTINGGI

Diceritakan kembali dari cerita-cerita Sufi

Seorang pemuda yang baru menikah lalu memutuskan untuk belajar agama ke sebuah 
negeri yang jauh dan harus berpisah denga isterinya yang baru dinikahinya. 
Setelah puluhan tahun belajar agama dan tammat dengan hasil gemilang, sang 
pemuda yang telah mulai berumur itu kembali pulang ke kampung halamannya untuk 
berkumpul kembali dengan istrinya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan 
seorang Ustad dan lalu mereka bercakap-cakap dan saling menceritakan pengalaman 
masing-masing. Dengan bangga lelaki yang baru tamat belajar itu mengisahkan 
hasil-hasil belajarnya kepada sang Ustad. Ustad hanya tersenyum dan bilang: 
"Menurut saya pelajaran yang kamu tuntut belum cukup tinggi dan masih harus 
belajar lagi". Lelaki itu merasa heran dan lalu bertanya: " Apa gerangan yang 
saya harus pelajari  agar mencapai tingkat tertinggi dalam agama?".  Sang Ustad 
menjawab: "KESABARAN". Dengan rasa kecewa mendengar jawaban Ustad yang 
dianggapnya sangatlah biasa dan tidak ada apa-apanya itu,  lalu berkata:"Kata 
itu hampir setiap hari saya dengar dalam pelajaran maupun dalam kehidupan 
sehari-hari". Sang Ustad menjawab: "Tapi kamu belum teruji dalam kehidupan dan 
hanya apabila kau lulus dalam ujian kesabaran itu, barulah bisa dikatakan kamu 
sudah menuntut pelajaran tertinggi dalam agama". Lelaki itu lalu bertanya: 
"Lalu apa yang mesti saya lakukan agar lulus dari pelajaran yang tertinggi itu?"
Sang Ustad menjawab: "Saya kirim kamu ke sahabat saya yang mengerjakan tanah di 
sebuah desa yang  jauh dari sini dan kamu harus bekerja di sana selama dua 
tahun dan bila lulus barulah kamu bisa dikatakan telah menuntut pelajaraan yang 
teringgi dalam agama". Sang lelaki berpikir sebentar dan merasa tantangan itu 
harus dilakukannya juga dan iapun setuju dan berangkat ke desa yang ditunjukkan 
sang Ustad. Di desa itu dia bekerja yang semakin hari semakin berat saja dengan 
upah yang tiada seberapa meskipun dapat makan minum dari sahabat sang Ustad. 
Lama kelamaan sang lelaki menjadi bosan karna kerja-kerja yang itu-itu saja dan 
dia tidak merasa mendadapatkan sesuatu dari pekerjaan yang semakin berat dan 
menjemukan dan pengetahuan agamanyapun tidak lebih bertambah. Lalu ia 
meninggalakan pekerjaannya dan menuju ke jalan pulang menjelang beberapa minggu 
sebelum masa cobaan itu berahir karena dia telah sangat begitu rindu dengan 
istrinya yang ditinggalkannya selama puluhan tahun. Ia tidak lagi mementingkan 
pelajaran tertinggi yang dianjurkan oleh Ustad  yang mengirimnya untuk bekerja 
di ladang dan tiba pada kesimpulan bahwa kalau cuma harus bersabar , orang 
tidak perlu menyiksa diri dengan ujian=ujian yang tak terasa manfaatnya.

Perjalanan jauh dan rasa rindu membuat lelaki itu merasa lelah dan ingin 
cepat-cepat sampai di rumah. Dan ketika tiba di ambang pintu rumah istrinya, 
lelaki itu tiba-tiba mengurungkan maksudnya untuk segera masuk. Tiba-tiba 
timbul keraguan dan kecurigaannya terhadap istrinya yang dia tinggalkan puluhan 
tahun. Dia mulai mengintip- intip sekeliling rumah dan dari jendela istrinya ia 
melihat seorang pemuda tampan  sedang duduk  di ranjang istrinya. Darahnya 
tersiraap karena cemburu dan ia cepat mencabut pistolnya untuk membunuh dua 
mahluk itu. Tapi juga segera dia teringat kembali akan nasihat sang Ustad agar 
bersabar sebelum bertindak yang  mungkin akan mengakibatkan penyesalan di 
kemudian hari dan ia tiba-tiba mendengar pemuda tampan itu bilang pada 
istrinya: "Ibu, saya harus pulang sekarang, lain kali ibu teruskan  cerita  
tentang ayah saya yang sedang menuntut pelajaran itu". Lelaki itu cepat masuk 
ke dalam rumah dan memeluk anak lelakinya yang semula disangkanya seorang 
lelaki lain telah berselingkuh dengan istrinya. Sejak itu dia mengerti apa yang 
dimaksudkan pelajaran tertinggi seperti yang  dibilang Ustad yang ditemuinya 
dalam perjalanan pulang: "KESABARAN ADALAH PELAJARAN YANG TERTINGGI".

Dikisahkan kembali dari cerita-cerita Sufi
oleh Asahan.


  ----- Original Message -----
  From: ChanCT
  To: HKSIS
  Sent: Saturday, November 21, 2009 1:08 PM
  Subject: #sastra-pembebasan# Fw: 3 x 8 = 23 (?)




  ----- Original Message -----
  From: Hendra Iskandar Lim
  To: Hendra Iskandar Lim
  Sent: Saturday, November 21, 2009 2:22 PM
  Subject: FW: 3 x 8 = 23 (?)

  Yan Hui adalah murid kesayangan Confucius yang suka belajar, sifatnya baik.
  Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain
  sedang dikerumuni banyak orang.
  Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

  Pembeli berteriak: "3 X 8 = 23, kenapa kamu bilang 24?"

  Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: "Sobat, 3 X 8 = 24, tidak usah
  diperdebatkan lagi."

  Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: "Siapa
  minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius.
  Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan."

  Yan Hui: "Baik, jika Confucius bilang kamu salah, bagaimana?"

  Pembeli kain: "Kalau Confucius bilang saya salah, kepalaku aku potong
  untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

  Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu."

  Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confucius. Setelah
  Confucius tahu duduk persoalannya, Confucius berkata kepada Yan Hui sambil
  tertawa: "3×8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Berikan jabatanmu kepada dia."

  Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya.
  Ketika mendengar Confucius berkata dia salah, diturunkannya topinya lalu dia
  berikan kepada pembeli kain.
  Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas.

  Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confucius tapi hatinya tidak sependapat.

  Dia merasa Confucius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar
  darinya. Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga.
  Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.
  Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confucius memintanya cepat kembali
  setelah urusannya selesai, dan memberi Yan Hui dua nasihat : "Bila hujan
  lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

  Yan Hui menjawab, "Baiklah," lalu berangkat pulang.

  Di dalam perjalanan tiba-tiba angin kencang disertai petir, kelihatannya
  sudah mau turun hujan lebat.
  Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba-tiba ingat nasihat
  Confucius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi.
  Dia meninggalkan pohon itu.
  Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur.
  Yan Hui terkejut, nasihat gurunya yang pertama sudah terbukti.
  Apakah saya akan membunuh orang?
  Yan Hui tiba di rumahnya saat malam sudah larut dan tidak ingin mengganggu
  tidur istrinya.
  Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya.
  Sesampai di depan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri
  ranjang dan seorang lagi di sisi kanan.
  Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya.
  Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasihat Confucius,
  jangan membunuh.
  Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah
  adik istrinya.

  Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confucius, berlutut dan berkata:
  "Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?"

  Confucius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun
  hujan petir, makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah
  pohon.
  Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru
  mengingatkanmu agar jangan membunuh".

  Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum."

  Jawab Confucius : "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga.

  Kamu tidak ingin belajar lagi dariku.
  Cobalah kamu pikir.
  Kemarin guru bilang 3×8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan
  jabatanmu.
  Tapi jikalau guru bilang 3×8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah
  dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.
  Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih
  penting?"

  Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih
  utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun. Murid benar2 malu."

  Sejak itu, kemanapun Confucius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.


  Cerita ini mengingatkan kita:
  Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan
  kamu, apalah artinya.
  Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah
  kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.
  Banyak hal ada kadar kepentingannya.
  Janganlah gara-gara bertaruh mati-matian untuk prinsip kebenaran itu, tapi
  akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.
  Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan.
  Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

  __________________________________________________________
  Weight Loss Program
  Best Weight Loss Program - Click Here!

  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG - www.avg.com
  Version: 9.0.707 / Virus Database: 270.14.75/2516 - Release Date: 11/21/09 
03:43:00

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

Kirim email ke